Newest Post


Wings Light 1
~Prince Cerberus~
Ilustration and story : Hime Bin-tan (Marsya Bintang P)
I
Pemuda itu menggerakkan jari jemarinya kemudian perlahan dia membuka matanya, didepannya terlihat seorang gadis yang sedang memandanginya dengan wajah cemas.
“Hei, kamu baik-baik saja?” Tanyanya kepada pemuda itu. Dengan wajah bingung pemuda itu melihat sekeliling ruangan tempatnya berada. Ruangan ini sedikit sempit, dindingnya terbuat dari bambu sedangkan lantainya terbuat dari kayu, hanya ada 2 pintu dan 2 jendela disini. Pemuda itu kembali melihat gadis yang disebelahnya dengan heran.
“Ini dimana?” Tanya sang pemuda.
“Di rumahku, aku menemukanmu terluka tak jauh dari sini,” kata gadis berkucir kuda itu sambil tersenyum. Pemuda itu terlihat sedikit bingung, kemudian dia melihat kedua lengannya yang diperban begitu juga dengan badannya. Saat dia beringsut untuk duduk, dia merasa badannya begitu nyeri, dengan sedikit panik gadis itu membantu pemuda untuk duduk.
“Seharusnya tiduran saja, lukamu cukup parah.” Katanya cemas.
“Apa yang aku lakukan sehingga aku menjadi begini?” Tanya pemuda heran.
“Mana aku tahu. Aku menemukanmu sudah babak belur seperti itu,”
“Tapi aku tidak ingat…”
“Tidak perlu memaksakan diri, nanti juga kamu pasti ingat. Oh iya, namaku Zane, senang berkenalan denganmu. Lalu, siapa namamu?” Tanya Zane sambil tersenyum. Pemuda itu melirik kekanan dan kekiri dengan wajah bingung. Zane memasukkan kain kecil kedalam baskom yang berisi air, kemudian diperasnya kain itu hingga kainnya tidak terlalu basah. Tanpa memandang sang pemuda dia memegang lengan pemuda itu sambil membersihkan tanah yang menempel dikulit pemuda, kemudian Zane pun bertanya lagi, “siapa namamu?”
“Nama… Namaku?” kata Pemuda sedikit bingung.
“Iya nama,”
“Namaku… Siapa ya?” Terlepaslah kain yang dipegang Zane. Buru-buru dia mengambilnya kembali dari lantai.
“Apa maksudmu?” Tanya Zane bingung.
“Aku tidak tahu namaku.” Kata pemuda itu lalu tertawa kecil.
“Heeee… Bagaimana bisa? Kamu amnesia?!” Teriak Zane panik. Tapi didetik lain Zane terdiam sambil memandang pemuda itu dengan cermat. “Tunggu dulu, sepertinya sebelumnya aku pernah melihatmu… Tapi dimana ya…”
“Apakah namaku amnesia? Jelek sekali…”
“Hah? B-Bukan! Amnesia itu hilang ingatan. Ya kamu pasti hilang ingatan karena namamu saja kamu lupa!” Kemudian dia melihat pemuda itu lebih dekat. Pemuda itu sedikit terpesona melihat kecantikan Zane dari dekat.
“Dimana ya kita pernah bertemu…” kata Zane berpikir keras, kemudian dia pun tersadar bahwa dia dan pemuda itu duduk dengan jarak yang begitu dekat ditambah pula pemuda itu memandang Zane dengan terpesona. Zane pun terkejut dan mundur agak jauh darinya, “Um… Sebaiknya aku cari makan dulu ya… mungkin nanti aku bisa ingat siapa kamu… Kamu bisa kan membersihkan badanmu sendiri? Maaf ya… Aku pergi dulu…” Kata Zane lalu cepat-cepat  keluar dari rumahnya meninggalkan pemuda itu. Zane berjalan menuju kebunnya dengan bingung, lalu seekor burung kecil hinggap dibahunya.
“Oh… Light,” sapa Zane dengan gembira karena burung peliharaanya yang bertubuh kuning dan sayap warna-warni yang bernama Light datang pada saat yang tepat, “bisakah kamu membantuku untuk membeli 3 potong roti, obat dan baju untuk laki-laki?”Tanya Zane kepada Light, Light pun mengangguk. Zane pun tersenyum lalu diberikannya beberapa lembar uang gold kepadanya.
“Krkrrrrkr(Jadi hari ini kita tidak jadi makan ikan?)” Tanya Light.
“Maaf… Besok ya? Aku harus merawat pemuda itu dulu…Jika besok pemuda itu sudah sembuh kita bisa menangkap ikan bersama-sama!”
“Kr…(Ya sudah…)”Kata Light agak ketus, Light pun segera terbang dan pergi. Zane pun menghela nafas kemudian dia melihat apel merah menggiurkan yang berada diatas pohon, perlahan akar-akar pohon yang ada diatas mendekat menuju Zane, dengan mudah Zane pun memetik apel yang ranum itu.
“Terima kasih,” Kata Zane, dengan malu-malu akar pohon itu pun naik kembali ke atas. Buah sudah, roti, obat dan baju tinggal tunggu Light, pikir Zane. Dan sekarang adalah tinggal mengingat siapa nama pemuda itu. Tidak ada clue lain selain wajah pemuda itu karena sewaktu Zane menemukannya pemuda itu hanya mengenakan celana panjangnya. Zane menghela nafas panjang, sebenarnya dia malas untuk mengingat kejadian masa lalu namun Zane yakin bahwa pemuda itu bukan warga biasa. Zane duduk dibawah pohon dan menyenderkan kepalanya ke batang pohon dengan lesu, kemudian daun pohon itu melambai membentuk seperti kipas dan dengan lembut mulai mengipasi Zane. Zane merasa mengantuk dibuatnya tapi suara Light membuatnya terjaga lagi. “Wah… Kamu cepat sekali,” Zane mengambil kantong plastik yang berada dikaki Light.
“KrKrkrrr…(Lihat koran yang tadi aku dapatkan)” Zane pun melihat isi dari kantong plastik yang ada didalamnya. Isinya ada baju, roti, obat, uang kembalian dan koran. Zane melihat isi koran itu dan dia pun terkejut.
Braak!! Pintu terbuka dengan keras dan itu membuat pemuda yang sedang tertidur pun terbangun.
“A-Apa? Ada kebakaran?” Tanya pemuda panik sedikit linglung maklum baru bangun tidur.
“Maaf…” Kata Zane, “Tapi akhirnya aku tahu namamu!” Zane duduk disebelah dan melihat pemuda itu dengan seksama. “Aku ingat wajahmu tapi karena melihat pengumuman yang ada dikoran sekarang aku tahu namamu, namamu adalah Dylan Akira Koraru!” kata Zane bersemangat.
“Dylan… apa?”
“Dylan Akira Koraru!”
“Panjang sekali namaku…”
“Krkr! (Hei apa kamu yakin? Bukankah dikoran tertulis Dylan sudah mati?)”
“He… Burung apa ini? Kenapa aku bisa mengerti perkataanya?”
“Dia temanku namanya Light, dia memang unik.”
“Krrrr… (Kamu belum jawab pertanyaanku)”
“Oh maaf… Mungkin memang dikoran ini bertulis begitu, tapi belum tentu berita itu benar! Aku juga yakin dia bernama Dylan karena dulu aku pernah bertemu dengannya di ra...”cepat-cepat  Zane menutup mulutnya, dia hampir kelepasan bicara sesuatu yang tidak boleh dia katakana pada orang lain. “Um… Intinya aku pernah bertemu denganmu dulu jadi salam kenal ya Dylan,” kata Zane tersenyum.
“Senang bertemu denganmu Zane,” Kata Dylan sambil menarik tangannya dan menjabat tangannya. Wajah Zane pun memerah, cepat-cepat Light mematok tangan Dylan dengan keras.
“Hei!” pekik Dylan kesakitan.
“Maafkan Light dia memang awalnya tidak suka dengan orang baru, tapi aku yakin lama-lama kalian akan akrab. Nah Dylan, pakailah baju yang ada didalam plastik itu supaya kamu tidak masuk angin. Aku akan siapkan makan malam”
***
Selang beberapa menit kemudian, Dylan memanggil Zane yang sedang memasak air.
“Hei Zane, bagaimana bajuku?” Tanya Dylan sambil memperlihatkan baju yang ia kenakan.

“Uwah… cocok sekali, Light memang pintar memilihkan baju ya!” Kata Zane senang, Light pun terbang dan bertengger dikepala Zane.
“Krkr…Kr.(Soalnya itu adalah baju yang paling murah ditoko baju, sepertinya barang murahan memang cocok untukmu)” Kata Light meledek, Dylan pun merasa sedikit kesal dan dia balas meledek.
“Bukan seperti itu, tapi semua baju baik murah maupun mahal itu cocok untukku tahu!”
“Hei sudah kalian berdua! Cepat duduk karena makan malam sudah siap!”
Mereka bertiga pun makan dengan lahap, mereka saling bercanda dan tertawa bersama walaupun Dylan dan Light masih terlihat belum akur,
“Kenapa gadis cantik sepertimu tinggal dihutan sendirian? Apakah kamu seorang tarzan?” Tanya Dylan sambil mengunyah apel.
“Tentu saja aku bukan tarzan, aku disini karena aku kabur dari rumah. Sekitar 2 tahun lalu… Aku kabur karena setelah ibu meninggal ayahku menikah lagi dan dia menikahi wanita yang salah. Aku memutuskan untuk kabur, kekanak-kanakan kan menurutmu? Tapi itulah pilihanku, aku juga lebih suka tinggal dihutan ini dan aku tidak mau kembali kerumah.” 
“Ayahmu pasti mencarimu…”
“Aku tidak tahu dan aku tidak peduli, karena selama 2 tahun ini aku belum pernah kekota lagi, biasanya untuk kekota aku menyuruh Light.” Zane terdiam sesaat begitu juga dengan Dylan dan Light sehingga suasana menjadi dingin.
“Omong-omong apa kamu tahu sesuatu tentang diriku?” Kata Dylan akhirnya memulai lagi pembicaraan.
“Aku tidak begitu tahu tentang kamu, yang aku tahu pasti kamu adalah pangeran dari Kerajaan Aquamarine. Karena itu… Jika lukamu sudah sembuh, aku akan membawamu pulang…” Kata Zane lalu tersenyum sedih, entah mengapa dia tersenyum seperti itu Dylan sendiri tidak begitu mengerti.
“Tapi untuk apa aku kembali jika aku tidak ingat apa-apa…”
“Aku yakin ingatanmu pasti kembali,” kata Zane meyakinkan.
“Hm... Hei Ceritakan lagi tentang dirimu,” Kata Dylan bersemangat.
“C-Cerita apa?” Kata Zane sedikit gugup.
“Misalnya umurmu…”
“Umurku 17 tahun,” Kata Zane cepat-cepat.
“Mungkin umurku juga 17 juga ya…”Kata Dylan berharap.
“Aku pikir juga begitu, sebaiknya kita tidur dulu, lanjutkan besok ya. Lihat Light sudah tidur.” Kata Zane sambil membelai kepala Light yang tertidur dipangkuan Zane.
“Jadi… Apakah aku akan tidur dipangkuanmu juga?” Tanya Dylan sambil tersenum jahil.
“Tentu saja tidak,” Zane pun cemberut dengan wajah yang sedikit memerah. Diturunkannya Light diatas lantai lalu dia berjalan mendekati jendela kemudian mengulurkan tangannya. Tiba-tiba daun yang cukup besar keluar dari jendela itu dan Zane memberikannya kepada Dylan.
“Ini adalah selimut daun, kamu akan merasa nyaman dan hangat. Kamu juga tidak perlu khawatir masuk angin karena tidur dilantai karena lantai ini pun hangat.” Zane mengambil dua selimut daun lagi yang satu sebesar yang diberikan Dylan dan yang satunya lagi kecil kemudian Zane tidur disebelah Light.
“Kamu hebat, Zane! Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua?” Tanya Dylan takjub.
“Dengan sihir kamu bisa melakukan apa saja, tapi kamu harus mempelajari tata tertib menggunakan sihir agar tidak merusak lingkungan juga.”
“Kalau begitu ajari aku ya besok!”
“Kalau kamu sudah sembuh…”
***
Langit yang cerah menyapa keesokan harinya, dengan penuh semangat Light terbang dan mengitari keliling depan rumah Zane.
“Nah ayo kita cari ikan!” Kata Zane bersemangat disambut penuh semngat juga oleh Light. Dylan pun tersenyum melihat mereka berdua. Hari ini Dylan boleh ikut dengan mereka walaupun tidak boleh terlalu banyak bergerak. Mereka pun berjalan menuju sungai didekat rumah Zane. Sungainya sangat bening dan banyak ikan didalamnya, beberapa ikan pun ada yang bisa melompat.
“Wow! Ikannya montok-montok. Hei mana alat pancingnya?” Dylan menjadi semangat karena melihat ikan yang besar.

“Kita tidak perlu pancingan, soalnya…” Zane mengulurkan tangan kirinya lalu air dari sungai mengalir dan menjalar ke tangan kiri Zane. Lama kelamaan tangan kiri Zane mulai membeku dan membentuk sebuah pedang. “Dengan pedang ini aku bisa lebih cepat menangkap ikan” sambung Zane lagi.
“Wow! Hebat!” Puji Dylan. Zane pun berancang-ancang menunggu ikan yang sedang melompat. Tak lama kemudian ada satu ikan yang cukup besar melompat dari sungai, Dengan cepat Zane menancapkan pedangnya tepat dibelahan leher ikan namun tidak sampai membelah dan melemparkannya ke tanah.
“Nah kamu harus cepat melemparkan ke tanah agar darahnya tidak bercecer ke sungai. Ini salah satu cara agar tidak merusak lingkungan.” Kata Zane yang tampak seperti seorang guru yang sedang mengajar muridnya yaitu Dylan, Dylan manggut-manggut.
“Bolehkah aku mencoba?” Tanya Dylan dengan mata penuh harap.
“Tidak boleh. Lukamu belum sembuh,” kata Zane tegas. Dylan hanya cemberut. Zane pun kembali mengambil beberapa ikan lagi, sedangkan Dylan mulai dihinggap rasa bosan dan keingintahuan. Dylan ingin mencoba menangkap ikan juga, kemudian Dylan melihat kesekeliling hutan ini. Hanya ada pohon dan  sungai disekitar sini, namun mata Dylan tertuju pada ranting pohon yang cukup panjang dibawahnya. Tanpa berpikir panjang Dylan pun mengambilnya dan pikiran jahil mulai menghinggapnya. Didekatinya Zane yang masih sedang menunggu ikan yang berloncatan kemudian dia pun melihat kebawah sungai. Ikannya banyak hanya saja Zane hanya mau menangkap ikan yang loncat.
“Zane, aku akan membantumu,”Dylan berkata sambil mengacungkan jempolnya dan tersenyum nakal.
“Hei, sudah kubilang kamu-” Tanpa mempedulikan kata-kata Zane, Dylan pun mengayunkan ranting didekat air sehingga air yang disungai pun muncrat dan salah satu ikan terbawa air itu. Refleks Zane langsung menancapkan pedangnya ke ikan dan melemparkannya ketanah. “Itu mendadak sekali, Dylan…” Zane sedikit kesal, tapi ketika melihat Dylan yang sedang merintih memegang lengannya, kekesalan Zane langsung surut.
***
Ketika luka Dylan yang terbuka sudah disembuhkan oleh Zane, kekesalan Zane pun membludak lagi. Dylan hanya tertunduk lesu dan mendengar nasehat-nasehat Zane yang panjang.
“Bukankah kamu tadi bisa menyembuhkanku dengan sihirmu? Aku luka beberapa kali pun tak masalah kan?”Gurau Dylan berusaha untuk mencairkan suasana.
“Menggunakan sihir penyembuhan itu melelahkan! Apalagi kamu terluka karena hal sepele seperti itu, sangat mengesalkan!”
“Maaf…” Dylan tertunduk lesu sambil memainkan jemarinya. Zane menghela nafas panjang. Dia pun berjalan kedapur dan mengambil segelas air mineral dan meneguknya sampai habis. Dia merasa perasaanya sedikit lebih tenang. Seharusnya Zane tidak perlu semarah itu, bukankah karena Dylan kini hidupnya jadi tidak membosankan. Bergaul dengan hewan dan tumbuhan memang menyenangkan tapi bergaul dengan manusia tetntu saja beda rasanya. Sudah lama memang dia tidak bercakap dengan sesama manusia. Dan manusia memiliki akal yang tentu saja berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Dylan memang tidak penurut tapi bagaimana dia mau menurut dengan Zane. Ibu bukan, saudara bukan. Jadi mau tidak mau Zane harus kembali beradaptasi dengan manusia kembali. Zane menatap Dylan dan pada saat yang sama Dylan pun juga sedang menatapnya. Cepat-cepat Dylan menundukkan kepalanya dengan takut, takut dimarahi Zane lagi. Kemudian Zane berjalan dan duduk disebelah Dylan,
“Hei, apa benar kamu seorang pangeran? Saat aku pertama kali melihatmu disuatu tempat kupikir kamu orang yang cool, ternyata kamu sangat kekanakan. Atau sifatmu berubah karena terkena amnesia?” Gurau Zane sambil tertawa kecil,
“Sayangnya aku tidak ingat,” kata Dylan, sebenarnya dia ingin membalas kelakar Zane tapi Dylan masih takut jika kelakarnya malah akan membuat Zane marah.
 “Maaf tadi aku terlalu keras denganmu. Sebaiknya kita makan malam dulu yuk, kupikir Light sudah selesai membakar ikan.” Beberapa detik kemudian, bau ikan bakar pun mulai menyeruak. Dylan pun langsung lari kegirangan ketempat bakaran ikan seperti sudah lupa jika tadi baru saja dimarahi. Zane pun hanya terseyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
Dalam seminggu luka Dylan sudah sembuh dengan sempurna dan sesuai janji, Zane pun mengajarkan Dylan untuk menagkap ikan, ditambah mengajarkan cara menggunakan pedang dan cara mengeluarkan sihir. Zane memberikan Phoenix Sword kepada Dylan, pedang itu sebenarnya untuk jaga-jaga kalau sihir Zane habis. Tapi Zane tak sungkan memberikan itu ke Dylan. Apalagi melihat kemajuan pesat teknik berpedang Dylan, Zane pun yakin walaupun Dylan amnesia tapi tubuhnya masih mengingat teknik pedang milik keluarga Aquamarine. Hubungan mereka pun juga semakin dekat, sempat terbesit dipikiran Zane untuk memulangkan Dylan tapi ketika melihat betapa tekunnya Dylan belajar menggunakan sihir padahal dia tidak memiliki darah mage, Zane merasa tidak tega memulangkan Dylan dan juga jika Zane memulangkannya Zane pasti merasa kesepian. Sebulan berlalu, Dylan sudah sangat pandai menggunakan pedang bagaikan ahli, walaupun sihirnya dia masih tidak begitu bisa menggunakannya. Bukan hanya itu, Dylan juga mulai menanyakan asal-usul Zane, awalnya Zane masih bisa untuk menyembunyikan namun Dylan semakin agresif untuk menanyakan. Akhirnya Zane pun mau menceritakan asal-usulnya kepada Dylan dengan satu syarat,
“Aku akan menceritakan asal-usulku, selesai aku bercerita kamu harus menuruti apa pun yang aku minta.” Kata Zane dengan nada serius.
“Ok!” Kata Dylan dengan nada serius juga namun sedikit dibuat-buat. Kemudian Zane menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
“Namaku Zane Cecilia Tetra, ayahku bernama Kio Tetra dan ibuku bernama Kate Rachelia. Aku tinggal di… Kerajaan Ruby…”
“Jadi kamu seorang putri?” Tanya Dylan dijawab Zane dengan anggukan.
“Karena itu aku tahu kamu karena kita pernah bertemu di rapat antar kerajaan…  Lalu… awalnya aku hidup bahagia menjadi putri sampai ketika ibuku sakit kemudian meninggal… Aku tidak tahu kenapa ibuku meninggal, padahal aku selalu merawatnya dengan baik ketika dia sakit… Lalu ayahku pun menikah lagi dengan pembantu kerajaan… Ah aku tidak mau menyebutkan namanya, pokonya setelah dia menjadi ibu baruku dia sangat boros dan terkadang akan meningkatkan pajak untungnya aku berhasil membujuk ayah untuk tidak menaikkan pajak agar rakyat tidak sengsara, kemudian dia mulai berlaku jahat padaku. Dari mengambil semua tanbunganku sampai terkadang mengambil barang yang ada dikamarku… Terkadang aku berpikit, apakah dia yang membunuh ibu? Tapi aku tidak pernah tahu karena aku tidak punya bukti. Lalu sampai suatu saat dia mempermalukanku didepan keluarga kerajaan Ruby. Aku pun kabur hanya dengan membawa baju seadanya dan pedang yang kuberikan padamu. Aku memutuskan untuk pergi kehutan ini, hutan Lost. Katanya jika kamu kehutan ini kamu tidak akan bisa kembali. Karena itu aku kesini, mungkin aku bisa mati jika aku pergi kesini tapi ternyata tidak karena aku bertemu dengan Light… Pertama kali bertemu justru aku yang kasar dengannya, tapi dia tetap baik kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal dihutan ini dan hingga 2 tahun pun berlalu.” Mata Zane berkaca-kaca, namun dia tersenyum dan menatap Dylan. “Aku memang tidak berguna ya…”
“Tidak, kamu sudah membantuku sejauh ini. Kamu sangat berguna untukku, kudenngar dari Light kamu pernah membantu seseorang yang tersesat dihutan ini untuk keluar dari hutan. Begitu juga dengan hewan dan tumbuhan yang ada disini, kamu rawat mereka dengan sepenuh hati. Kamu itu sangat berguna hidup didunia ini!” Kata Dylan meyakinkan dengan tegas, wajah Zane merona dan air mata Zane pun menitik,
“Terima kasih…”  Dylan memeluk Zane dengan lembut, dan tangis Zane pun pecah. Setelah tangis Zane reda, dia melepas pelukan Dylan kemudian menatap Dylan dalam-dalam. “Sekarang kamu harus menuruti permintaanku,” Kata Zane.
“Tentu,” Kata Dylan tersenyum sambil membersihkan air mata Zane.
“Dylan, pulanglah…”
“Apa maksudmu? Disini rumahku, rumah kita juga.”
“Disini bukan rumahmu, rumahmu dikerajaan Aquamarine.”
“Jadi aku disini masih kamu anggap sebagai penumpang?” Tanya Dylan sedikit kesal.
“Bukan itu maksudku…” Kata Zane merasa bersalah, “Aku yakin Keluargamu akan senang kamu kembali…”
“Mereka sudah menganggapku mati, bukankah mereka akan takut dikira aku bangkit dari kubur?”
“Tapi mereka pasti mengerti jika kamu kembali dan menjelaskan, aku juga akan membantumu kesana.”
“Baik!” Kata Dylan dengan tegas dan sedikit keras, Zane pun kaget karena Dylan sangat berbeda dengan Dylan yang biasanya suka bercanda. “Kalau kamu menyuruhku pulang, maka kamu harus pulang juga…” Dylan merasa hatinya sangat sakit, ditatapnya Zane seksama dan dipeluknya lagi gadis itu. “Sudah cukup kita berada disini. Kita harus kembali menerima kenyataan. Dan ketika aku sudah disana, aku akan selalu mengingat kebersamaan kita disini.” Kata Dylan matanya pun berkaca-kaca, begitu juga dengan Zane.
bersambung...




Sabtu, 18 Mei 2013
Posted by Hime Bin-tan

Wings Light 2
Story n ilusstration : Hime Bin-tan (Marsya Bintang P)


Cerita ini fiktif, tak ada sangkut pautnya dengan siapapun serta kejadian manapun. Bila ada kesamaan nama orang, tempat maupun penggalan cerita, itu Cuma kebetulan belaka.

Illustration art
I
Udara semilir berhembus lembut, matahari bersinar malu-malu. Sungguh cuaca ini sangat pas untuk orang yang bermalas-malasan. Namun tidak untukku, Aku adalah anak buah dari seorang Ketua yang sangat menginginkan  kekuasaan dan kekayaan. Walaupun begitu, aku sangat patuh padanya dan dia pun sangat baik padaku. Memberiku makanan,pakaian, dan tempat tinggal. Kuanggap ini sebagai balas jasa karena aku selalu menuruti perintahnya.Mungkin karena kepatuhanku ini aku diangkat menjadi Pemimpin anak buah atau bisa dibilang aku adalah orang yang paling dipercayai oleh Ketua Senu. Ini adalah suatu kebanggaan untukku. Tempat tinggal… hanya Ketua  yang sudi menerima orang-orang  yang  tidak diketahui asal-usulnya. Aku jadi teringat dengan perang yang menyebabkan ibuku meninggal... Aku selalu sedih mengingatnya, namun aku takkan lupa dengan pesan terakhir ibu yang selalu kuingat,
“Jadilah kuat nak… Tapi gunakan kekuatan itu untuk kebaikan… Jangan seperti ayahmu…” Aku tidak yahu seperti apa ayahku, kata ibu, ayah sedang pergi jauh dan tidak bisa kembali, tapi kata orang-orang yang kudengar, ayah meninggalkan kami karena aku anak haram. Dua-duanya sama saja bagiku, toh aku bahagia hidup dengan ibu, walaupun setiap hari cacian adalah makanan yang paling sering kumakan saat aku bermain di luar rumah. Setelah kejadian itu aku jadi sebatang kara, lalu ada Ketua Senu yang mengangkatku sebagai anak buahnya. Entah kenapa aku tidak suka dibilang anak buah, aku lebih suka dipanggil “Prajurit”Ketua. Aku diajari banyak hal oleh Ketua, mulai dari. Aku diajari hal-hal sederhana seperti cara berbicara dan makan dengan sopan. Aku selalu dimarahi ketika aku tidak bisa makan dengan menggunakan pisau dan garpu dan aku pun akan diejek,
“Kamu harus bisa makan dengan benar! Bagaimana jika jodohmu adalah bangsawan?  Kamu  pasti langsung ditendang dari rumahnya…! Ha… Ha… Ha…”  Selain itu, aku pun diajari cara belajar bela diri, dan cara menggunakan senjata perang seperti pedang, panah, tombak dll pokoknya  hampir semua peralatan itu aku bisa menggunakannya dengan baik. Namun diantara semua peralatan itu, aku sangat menyukai menggunakan Pedang Besar sebagai senjataku, banyak yang terheran-heran termasuk Ketua kalau aku bisa menggunakan pedang besar itu dengan gesit dan cepat bagai angin. Mungkin ibu sudah tahu bakatku  karena itu aku diberi nama Kaze.
Beberapa hari ini aku ditugaskan untuk mengambil sebuah benda yang sangat diinginkan Ketua, aku tidak tahu benda apa itu, aku hanya diberi foto benda itu oleh Ketua. Lagipula aku tidak perlu tahu benda apa itu, tugasku hanya mengambil benda tersebut kan. Walaupun aku sekarang adalah pemimpin prajurit, seharusnya aku bisa menyuruh bawahanku untuk mengerjakan ini. Namun, Ketua mengatakan padaku ,
“ Kuberikan tugas ini padamu karena kamu adalah satu-satunya Prajuritku yang paling kupercaya.” Aku pun patuh dan  melaksanakan tugas ini sendirian. Aku diberi bekal yang cukup oleh Ketua, salah satunya baju ini. Aku tidak diperbolehkan memakai armor yang biasanya aku pakai sehari-hari, alasanya adalah terlalu mencolok.  Tapi aku tetap diperbolehkan membawa pedang kesayanganku. Baju yang diberi Ketua sebenarnya terlalu ringan untukku, mungkin karena aku selalu menggunakan  armor. Selain baju, aku juga diberi kuda untuk mempercepat perjalananku. Dan kini sampailah aku di Goa yang didalamnya terdapat benda yang Ketua inginkan.
* **
Tetes air menitik menimbulkan suara yang mampu menambah ketegangan dalam goa yang gelap gulita ini. Untungnya aku tadi diluar goa membuat obor api dulu. Dengan perlahan aku  jalan menelusuri goa tersebut, goa ini hanya ada 1 jalan, namun dalamnya sangatlah luas. Setelah berjalan sekitar 5 menit sampailah aku di ruangan yang tidak terlalu besar namun didalamnya terdapat cahaya yang cukup terang. Aku melihat cahaya itu berasal dari Kristal  Diamond Putih kebiru-biruan. Kristal itu jangan-jangan… Cepat-cepat kubuka foto yang ada di dalam sakuku. Kulihat dengan cermat foto yang ada di tanganku, tidak salah  lagi! Kutaruh kembali foto Kristal itu dalam saku celanaku, aku pun masuk ke dalam ruangan itu. Betapa kagetnya aku ketika kulihat ruangan itu tidak kosong, didalamnya terdapat seorang gadis  yang menggunakan baju terusan putih dengan pink di tengahnya yang panjang hingga menutup mata kakinya , dia juga menggunakan penutup rambut namun penutupnya itu hanya menutupi setengah dari rambutnya yang sangat panjang. Dan gadis ini sangat cantik… Kuakui dia lebih cantik daripada putri-putri kerajaan yang biasa aku lihat terlihat menor-menor . Tapi entah mengapa gadis itu tampak melamun, aku pen mencoba memanggil,
“Permisi… Nona…” Tak ada jawaban, aku mecoba memanggil lagi,
“ Halo…” Tak ada jawaban lagi, aku menghela nafas, ya sudah lah toh tugasku sebentar lagi selesai, tinggal mengambil Kristal ini dan… Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa. Aku terkejut bukan main, aku sama sekali tidak memikirkan Kristal itu lagi, dengan cepat aku  lari keluar dari goa ini, namun ditengah jalan, aku terhenyak, Bagaimana dengan gadis itu? Tanpa pikir dua kali, aku lari dengan cepat seperti angin kembali lagi ke ruangan tadi. Sampainya diruangan itu kulihat gadis itu masih diam saja seperti pertama kali kulihat, dia sama sekali tidak bergerak walaupun batu-batu kecil dari langit-langit mulai berjatuhan, Kuangkat badannya yang mungil lalu kugendong dia. Aku pun segera lari kencang keluar dari goa ini.
Terengah-engah aku menurunkan gadis itu pelan-pelan ke rumput. Sepertinya aku sudah lama tidak latihan lari membawa benda berat. Kulihat gadis itu, mata gadis itu terpejam. Berbeda dengan tadi sewaktu pertama kali kulihat mata gadis itu masih terbuka dengan tatapan kosong. Tidak lama kemudian, gadis itu menggerakkan jari jemarinya yang lentik, dan dia pun mulai membuka matanya.
“Hai nona, sudah bangun?”  Kulihat gadis itu sangat amat terkejut, dia langsung meloncat berdiri dan tergopoh-gopoh menjauh dari ku.
“Aku bukan orang jahat…” Kataku lirih, sayangnya gadis itu malah tambah menjauh dariku dan kini dia bersembunyi di belakang batu besar. Kulihat dia mengintaiku dengan tatapan penuh ketakutan. Aku benar-benar tidak mengerti, apakah wajahku menyeramkan?
“Namaku Kaze, siapa namamu?” Tak ada jawaban dari gadis itu, dia masih menatapku dengan ketakutan. Aku hanya tersenyum sambil menggaruk kepalaku walaupun kepalaku tidak gatal, aku hanya bingung untuk berkata apa lagi.


 “A-apa yang k-kamu  lakukan… di goa itu?” kata gadis itu lirih. Aku senang akhirnya dia mau bicara, Tapi aku juga bingung harus menjawab apa.
“ Um… Saya sedang melakukan tugas---”
“ Untuk mengambil Kristal itu?’ Aku terheran mendengar gadis itu bertanya seperti itu. Dan aku pun bingung menjawab pertanyaanya. Aku terdiam beberapa saat.
“ Sudah kuduga… Kamu bukan orang baik, kamu orang jahat! Kuperingatkan kamu jangan berani-berani mengambil Kristal itu lagi!” Kata gadis itu dengan nada cukup tinggi. Gadis itu pun langsung berlari meninggalkanku yabg sedang bertanya-tanya dalam hati. Kulihat gadis itu berlari tapi… Sungguh pelan. Aku pun mendekati gadis itu dan menarik tangannya.
“Tunggu…!” Dan PLAK! Tamparan keras tertuju pada pipiku, dengan mata berkaca-kaca gadis itu berkata
“J-Jangan …”  Kulepas tangannya, dan dengan tergesa-gesa dia berlari lagi. Aku tidak berani mengejarnya lagi. Kuusap pipiku yang sakit ini sambil melihat kemana gadis itu pergi. Kulihat gadis itu masuk kedalam rumah kecil yang tak jauh dari sini. Aku hanya menghela nafas dalam-dalam.

***
         Langit mulai gelap, tak lama kemudian turunlah gerimis kecil yang disusul hujan lebat. 3 jam aku menunggu di dekat goa itu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin kalau ada ketua di sini pasti dia akan menyuruhku mengerjakan 

tugas lain. Dan dengan datangnya hujan ini membuat aku menjadi tambah bingung. Kutaruh kuda ku di suatu pohon yang cukup lebat, sayangnya hanya kuda itu yang bisa berteduh. Karena tak ada pilihan lain, aku pun menuju ke rumah gadis tadi. Sesampainya aku di depan pintu rumah gadis itu, aku mengetuk pintu.
“P-Permisi… N-Nona” kataku dengan sedikit menggigil karena kedinginan sambil kuketuk kembali pintu itu. Tak ada jawaban dari gadis itu. Tapi aku tetap bertahan, di depan pintu, semoga dia masih punya hati. Tiba-tiba  pintu di depanku pun  terbuka, gadis itu melongok sedikit dari dalam  pintu, 
“ Masuklah…” kata gadis itu malu-malu, tanpa sungkan lagi aku pun masuk ke dalam rumah gadis itu. Setelah aku masuk, gadis itu menutup pintu, kulihat dia memasukkan kayu bakar  ke dalam  perapian, kemudian dia masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian dia keluar dari kamarnya sambil membawa handuk. Dia pun memberikan handuk yang di tangannya kepadaku.
“ Maaf aku tidak punya baju cowo… Tapi kamu bisa memakai ini untuk mengeringkan badanmu…” 
“Terima kasih” Kataku sambil tersenyum, ada rona merah di pipi gadis itu, aku jadi sedikit salah tingkah.
“Um… S-sebaiknya ku panaskan teh hangat dulu untukmu…” Gadis itu terlihat gugup dan malu-malu. Dia langsung berlari menuju dapur dan lama tidak keluar lagi. Kulepas pakaianku  dan kukeringkan badan dan  rambutku menggunakan handuk. Sambil mengeringkan badanku, aku  melihat-lihat barang-barang yang ada di ruangan ini, Ruangan ini tidak begitu besar, tapi sangat rapi dan bersih. Di dalam ruangan ini terdapat kasur dan lemari kecil, sepertinya itu adalah kotak obat karena dari tempat aku duduk sudah tercium bau obat. Di ruangan ini ada 3 pintu, kupikir yang satu adalah kamar gadis itu, lalu kamar mandi dan satunya lagi adalah dapur. Gadis itu keluar dari  dapur  sambil membawa nampan yang berisi 2 gelas dengan asap yang mengepul. Gadis itu melihat ke arahku. Mata kami saling bertemu dan gadis itu dengan gugup memalingkan wajahnya.
“Maaf ya handukmu jadi kotor karena terkena badanku” Gadis itu melihatku dengan tatapan kaget, dengan cepat dia menggeleng.
“Itu hanya handuk… Kamu tidak perlu berkata seperti itu… Lagipula… Badanmu bagus kok…” Aku sedikit malu dengan perkataanya, dan gadis itu juga tak kalah malu dengan apa yang dia ucapkan tadi. Dengan gugup dan wajah menunduk dia menaruh satu gelas agak jauh dariku, mungkin niatnya gelas itu untukku tapi dia sudah tak berani dekat-dekat denganku. Lihat saja sekarang dia duduk 1 meter dariku.
“ha.. ha… Kamu tidak perlu gugup seperti itu. Hei… Boleh aku tau namamu?” Kataku memulai pembicaraan
.“… Nama?... um… N-namaku… Kana…”
“Nama yang bagus hehe…” Suasana menjadi sunyi. Hanya ada suara rintik-rintik hujan yang terdengar. Kuputar otakku untuk mencari bahan perbincangan supaya suasana tidak sunyi.
“Kamu  tinggal dengan siapa?”
“Sendiri…”
 “Tidak takut?”
“… Tidak…”
“Wah kamu hebat” Suasana kembali hening, mungkin seharusnya sekarang ada bunyi jangkrik Kriik… Kriiik…
“Oh iya… Apakah kamu seorang dokter?” Kataku akhirnya, untungnya aku mendapat ide pertanyaan. Kana sedikit kaget dengan pertanyaanku.
“… Mungkin… Bisa dibilang begitu… Kenapa kamu tahu?”
“Aku hanya mencium bau obat di sini. Hehehe… “
“Kamu bisa menciumnya? Dari mana?”
“Ya… Di dalam kotak itu kan?” Aku menunjuk kotak obat yang tadi kulihat di ruangan ini. Tanpa ku sadari gadis itu tersenyum!
“Hebat… Kamu pasti bukan orang biasa…”
“Ha? Apa maksudmu?”
“Obat-obat yang aku buat ini bukan obat biasa. Obat ini bukan hanya manjur, tetapi juga tidak berbau dan tidak berasa. Obat-obat milikku sangat cocok untuk orang yang tidak suka minum obat terutama anak-anak… um… Bagi orang biasa mungkin tidak akan bisa mencium bau obat yang aku buat…” Aku melongo mendengarnya, sebenarnya aku melonggo bukan karena isi perkataanya, tapi karena dia berkata dengan cukup panjang.
“K-kenapa? Apa perkataanku salah?” kata Kana lagi, kututup mulutku agar aku tidak melongo terus.
“Ah… Tidak ada apa-apa… Hehehehehe…. Jadi kamu buka klinik?”
“Iya…” Kata Kana sambil tersenyum manis sekali.
“Jadi… Aku akan mengganggu ya kalau  aku tinggal di sini?”
“Tentu saja tidak… Lagipula di desa ini tidak ada penginapan, dan… mungkin kamu bisa membantuku mencari tanaman untuk obat… hehe” Kata Kana sambil tertawa kecil, aku jadi ikut-ikutan tertawa melihat Kana.
Bintang – bintang  berkelap kelip di malam yang dingin ini, mereka seperti ingin memberi tahu bahwa cuaca dingin tidak akan menganggu kelap kelip cahayanya. Aku belum terlelap juga walaupun aku tidur di kasur yang cukup empuk ini. Entah sudah berapa tahun aku tidak tidur kasur, dulu karena tugasku menjaga  warga aku hampir setiap hari tidur dalam posisi duduk atau berdiri, itu pun hanya beberapa menit. Aku sudah biasa, mungkin karena sekarang aku tidur di kasur aku jadi tidak bisa terlelap? Hehe…  Aku melihat kasur yang ada di atasku, sepertinya Kana sudah terlelap, aku tersenyum mengingat kejadian beberapa jam yang lalu ketika sudah waktunyta jam tidur Kana.
“Kaze biasa tidur jam berapa?” Tanya Kana dengan nada mengantuk
“um… Tidak tentu. Kadang aku seharian tidak tidur, Kenapa? Kana ngantuk?”
“Heee… Tidak tidur? Kamu bisa sakit kalau begitu terus…” Kata Kana dengan wajah cemberut.
“Ya… Mau bagaimana lagi, kalo aku tidur terus nanti aku tidak bisa bangun lagi” Kataku dengan nada bergurau.  “ Tapi tenang saja, aku tidak akan mati hanya karena tidak tidur” kataku lagi sambil mengedipkan sebelah mata. Kana hanya menghela nafas.
“Ternyata pekerjaanmu sangat berat… Tapi… Karena kamu sedang di sini  kamu bisa tidur gasik”
“Lalu… Aku tidur dimana?”
“Tentu saja di sini”
“S-Sekamar?!” Mataku terbelalak saking kagetnya, Kana hanya menghela nafas.
“Tenang saja aku tidak akan mengganggumu” Kata Kana dengan nada bergurau, aku hanya tersenyum masam mendengarnya. “Lagipula kamu bisa liat kan kalau di sini ada tempat tidur tingkat.”
“Bukan itu maksutku… Kenapa kamu tidak menyuruhku tidur di kasur luar saja?”
“Itu kasur pasien, aku belum sempat menjemurnya, tadi kan hujan. Aku takut kamu tertular karena tidur di sana. Sudahlah  manut aku saja…”
“Tapi…” Kana yang awalnya ada di depanku tiba-tiba saja menghilang. Dan sekarang… Kana sudah ada di belakangku!
“Aku tidak selemah yang kamu kira… “ senyum Kana mengembang ketika melihatku masih terbengong-bengong.
“Tadi itu…”
“Hanya tipuan kecil, aku yakin prajurit sepertimu bisa melakukan lebih hebat dari ini… Apalagi  namamu Kaze (Angin)” Kana tertawa kecil, aku tersenyum mendengar celotehannya. “ Jadi kamu mau kasur atas atau bawah?”
“ Untuk keamananmu sebaiknya aku kasur bawah saja “
“keamanan?”
“Ya kalau aku tidur di kasur atas lalu tiangnya roboh, kamu pasti tidak kuat menahanku dan kamu akan tertindih. Jika kamu diatas, lalu tiangnya roboh, aku pasti kuat  untuk menahanmu” Aku tertawa setelah berkata ini, Kana pun juga tertawa. Dan setelah beberapa jam aku mengingatnya kembali tetap saja percakapanku dengan Kana masih saja menarik untuk aku ingat kembali. Aku tidak menyangka kalau Kana ternyata enak untuk diajak bicara walau terkadang gugup dan pemalunya sering “kambuh”. Dipikir-pikir aku tidak pernah punya teman wanita selama hidupku, bukan berarti aku belum pernah ngobrol dengan wanita. Aku kan pernah ngobrol dengan ibuku, hehe. Ketua juga pernah mengenalku dengan putri dari kerajaan, tapi entah kenapa mereka sangat manja dan dandanannya aduhai menornya. Sangat berbeda dengan Kana yang mandiri dan tanpa make up pun dia terlihat cantik, ah… aku berani mengatakan kalau Kana sangat cantik. Entah kenapa wajahku jadi panas memikirkan apa yang kupikirkan. Dasar aku ini memikirkan apa sih.
***
Burung-burung bertengger di pepohonan dan menyanyi dengan semangatnya, sayangnya matahari belum sempurna menampakkan tubuhnya. Aku terbangun karena mencuim aroma yang membuatku perutku jadi keroncongan. Kubereskan tempat tidur yang nyaman ini dan aku segera keluar dari kamar. Aroma ini berasal dari dapur. Aku berjalan menuju dapur.
“Pagi Kana! Wah  aromanya enak sekali”
“Pagi… Tidurmu nyenyak?”
“Aku tidak pernah tidur selama ini!”
“Baguslah… Sebaiknya kamu mandi dulu karena makanan akan segera siap”
“Uh… Malas…” Jawabku, Kana mengernyitkan dahinya.
“Kalau begitu aku takkan memberimu makan”
“He… Jangan begitu dong… Iya-iya aku mandi deh” Aku pun langsung lari ke kamar mandi.
Setelah aku mandi dan sarapan, aku dan Kana pergi ke hutan yang tak jauh dari sini, aku sudah janji dengan Kana karena aku menginap dirumahnya maka aku harus membantu  mencari bahan-bahan untuk obat. Karena aku baru pertama  kali, Kana mengajariku apa saja tumbuhan yang dibutuhkan, letak tumbuhan, cara mengambil tumbuhan dan  menanam bibit baru. Aku belajar banyak tentang tumbuhan.
“Jadi besok aku harus melakukannya sendiri?” tanyaku kepada Kana setelah kita mendapat tumbuhan yang kita butuhkan.“Tentu saja, untuk apa aku mengajarimu? Kalau kamu tidak mau, kamu boleh angkat kaki dari rumahku.” Jawab Kana dengan nada bergurau dan sambil tertawa kecil. Aku hanya menghela nafas. Kana menatapku dengan wajah cemberut.
“ Kamu keberatan?” Tanya Kana
“Tidak… Tapi aku akan kesepian sendirian di hutan” mendengar kataku wajah Kana memerah, Manisnya…
“Dasar prajurit manja” kata Kana sambil membuang muka dariku. Aku jadi tertawa melihatnya. Setelah lama kita berjalan, akhirnya kita sampai lagi di desa ini, suasana sedang cukup ramai di sini, mereka semua sedang bekerja. Tak jauh dari kami berjalan aku melihat ada 3 gadis yang entah kenapa sedang bisik-bisik melihat aku dan Kana. Lalu mereka semua pun melambaikan tangannya kearah Kana dan aku.
“Hei! Kana!” Kata gadis berbaju merah. Aku dan Kana berhenti berjalan, aku melihat mereka berlari mendekati kami berdua.
“Iya?” Jawab Kana.
“Kamu  pasti cowo yang kemarin nginap di rumah Kana kan?” Kata gadis berbaju kuning sambil tersenyum kearahku.
“Haha… Kalian cepat tahu ya…” Kataku sambil tersenyum masam.
“Jadi… Sejak kapan kalian pacaran? Kana ga pernah ngasih tahu nih kalo sudah punya pacar… Hmmm… Cowo mu ganteng juga ya…” Kali ini gadis berbaju hijau yang bicara, dia menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk. Sedang apa sih mereka? Aku melirik kearah Kana yang wajahnya sudah sangat merah.
“B-Bu…bukan b-begitu… k-kita ga p-pacaran…” Kana mulai gugup dan panik dengan wajahnya yang merah. Kana melihat kearahku dan ketika mata kami bertemu, wajah Kana semakin memerah.
“A…u…m… Maaf!” dengan kencangnya Kana berlari masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya menggaruk kepalaku. Aku melihat kearah gadis-gadis yang ada di depanku yang sedang terbengong-bengong. Seperti sudah mendapat nyawa baru, gadis-gadis itu kembali melihat kearahku.
“Ya… Begitulah Kana, tapi kami tidak pernah lihat dia seperti tadi…” Kata gadis berbaju merah. Aku hanya tertawa kecil.
“Ha…ha… Aku sudah tahu itu, kalau begitu… Aku permisi dulu…” Aku sedikit membungkukkan badanku, lalu aku berjalan kearah rumah Kana, saat aku membuka pintunnya, ternyata pintunya tidak bisa dibuka… Aku mengetuknya
“Kana… Kamu masih marah ya?” Kataku sambil mengetuk pintu.
“A-aku tidak marah… S-sungguh… Tapi bisakah  kamu meninggalkan ku sendiri sebentar? M-Maaf… “ jawab Kana dari balik pintu. Aku meghela nafas
panjang, aku memutar tubuhku dan aku melihat ke sekeliling rumah Kana, kemana dulu ya? Pikirku. Lalu mataku tertuju pada sebuah rumah yang bertuliskan “Perpustakaan Light”, aku berjalan menuju  rumah tersebut, pintunya terbuka, aku masuk ke dalamnya. Di dalamnya terdapat sekitar 20an rak buku dengan berisi berbagai macam  buku tentunya,
“Hai.... Pelanggan baru rupanya. Kalau tidak salah kamu adalah pemuda yang menginap di rumah Kana, betul?” Aku mengangguk, suara itu berasal dari seorang pemuda berkacamata yang berdiri di dekat sebuah meja.
“ Namaku adalah  Sony, siapa nama anda?”
“ Kaze… Senang berkenalan dengan anda” kataku sambil membungkukan badanku.
“Hm… Kamu… Apa hubunganmu dengan Kana?” Sony menatapku dengan tajam kurasa tatapannya lebih tajam daripada gadis-gadis itu .
“Apa maksutmu?”
“Kamu  tahu bahwa Kana adalah gadis yang sangat cantik dan dia merupakan “kembang desa” di sini. Tidak ada pria yang tidak suka dengannya. Sayangnya dia sangat pemalu dan tertutup dan… aku heran denganmu karena bisa akrab dengan Kana yang cantik jelita” Dia mengatakan itu sambil seperti membaca puisi, dia orang yang sangat aneh…
“Maaf… Tapi bisakah aku membaca di sini tanpa diintrograsi?”
“Ehem…” Sony membetulkan letak kacamatanya.” Kau benar, aku terlalu bersemangat membahas Kana yang cantik jelita. Ini adalah perpustakaan turun temurun dari keluargaku, buku di sini sangat lengkap, silahkan  kamu bisa membaca disini dengan Gratis, tapi kalau mau meminjam kamu harus membayar. Batas pengembaliannya 3 hari,  Kalau melebihi hari itu kamu harus denda. Harga peminjaman buku  sudah tercantum di halaman depan buku”
        “Terima kasih” Aku menghela nafas lega. Aku mulai menelusuri buku apa yang harus kulihat. Aku melihat sebuah buku besar dan tua tapi ku justru merasa tertarik untuk melihatnya. Kuambil buku itu dari rak, lalu aku memulai untuk membaca buku itu. Sepertinya buku ini berisi tentang sihir-sihir. Disini tertulis bahwa yang bisa memakai ilmu sihir hanya orang tertentu saja. Ya… Aku tahu itu, aku  membaca kembali, Sihir dibagi menjadi dua yaitu sihir cahaya dan sihir kegelapan. Sihir cahaya biasanya digunakan untuk membantu orang lain dan melindungi. Sedangkan sihir kegelapan digunakan untuk menghilangkan dan merusak. Orang yang bisa menggunakan sihir cahaya penyembuh disebut healer dan bal bla bla. Aku mulai malas membacanya, aku pun membuka buku itu dengan cepat. Lalu maraku tertuju pada sebuah gambar yang sudah tidak asing lagi bagiku. Gambar Kristal diamond! Aku mulai membaca buku ini dengan perlahan-lahan, Kristal diamond merupakan Kristal milik para pengguna sihir cahaya. Kristal ini dijaga ketat oleh para pengguna sihir tersebut karena banyak orang-orang yang memilki kekuasaan menginginkan Kristal ini untuk memperpanjang hidupnya, menyembuhkan dan menghidupkan orang mati. Bukan hanya itu, Kristal ini juga dapat membunuh orang, hanya saja Kristal ini lebih gampang digunakan untuk memperpanjang hidup dan meyembuhkan orang. Aku menelan ludah, apakah penjaga itu berarti Kana? Sejak aku menginap dengan Kana, aku benar-benar sudah lupa akan  tugasku sebenarnya. Entah kenapa aku ingin hidupku seperti ini terus…  Tapi ini tugas dari ketua, aku harus melaksanakannya, tapi Kana… Dia pasti marah kalau aku mencari Kristal itu lagi. Kemudian ingatan tentang ketua dan Kana terus datang silih berganti, kupejamkan mataku., sejenak sampai akhirnya aku memutuskannya. Kututup buku ini, lalu aku berjalan kearah Sony. Kutaruh uang di atas mejanya.
“Aku pinjam buku ini” kataku sambil menunjukkan buku yang kubawa.
“Ternyata kamu kuno juga ya” Kata Sony sambil tersenyum dan menaruh uang ke dalam laci.
“Perpus ini buka jam berapa besok?”
“Jam 9, lihatlah di pintu sudah ada tulisannya!”
“Aku akan datang besok, sekitar jam 5 pagi”
“Apaaa….! Aku belum bangun jam segitu!”
“Akan kutaruh didepan pintu,” aku segera pergi dari perpus ini tanpa menghiraukan omelan-omelan Sony lagi, Aku berlari kerumah Kana yang pintunya sudah dibuka, saat aku masuk kedalam rumah Kana, aku melihat ada anak kecil perepuan  menangis dengan  lututnya yang berdarah di samping Kana, lalu dengan cekatan Kana membersihkan lutut anak itu, memberinya obat dan memperban lutut anak itu. Ajaibnya anak itu langsung berhenti menangis.
“Terima kasih kak Kana, lututku sudah tidak sakit lagi” Kata anak itu dengan riang seperti sudah lupa akan tangisnya yang tadi.
“Lainkali hati-hati ya” Kata Kana sambil tersenyum. Aku termangu melihat mereka berdua, lalu aku tersadar anak itu sudah keluar dari rumah Kana, lalu aku melihat Kana yang sedang memandangku dengan wajah khawatir.
“Kamu kemana saja? Kamu ga marah kan sama aku?” kta Kana dengan raut khawatir sambil mendekatiku. 

“Tentu saja tidak” kataku sambil tersenyum, “Aku baru saja dari perpustakaan” aku tidak memperlihatkan buku yang aku pinjam dari perpustakaan ke Kana, tapi mungkin hanya melihat sampul luarnya, Kana sudah tahu apa yang aku baca. Sekarang Kana memandangku dengan raut yang sedih,
“Kalau kamu masih menginginkan Kristal itu, jangan dekati aku lagi…” kata Kana dengan nada yang hampir menangis.Aku tidak tahan melihat wajah Kana sesedih itu.
“Kana… Aku hanya tidak mengerti… Ketua sangat baik padaku, dialah yang sudi memungutku, mengajariku dan menolongku, tapi… sejak aku bertemu denganmu, walaupun baru sebentar, aku… aku tidak ingin berpisah denganmu… A-Aku bingung…” Kana diam saja, dia tidak menjawab. Kami sama-sama menunduk. “Kana… Bisakah kamu menjelaskan tentang Kristal itu padaku?” kataku lagi, Kana menatapku dengan heran.
“Apa… Kamu tidak tahu?”  aku menggeleng pelan.
Selesai makan malam, Kana menceritakanku tentang Kristal itu dengan lebih merinci dan yang pasti lebih dapat kupahami daripada harus membaca buku tersebut, aku jadi bimbang ketika mengetahui lebih dalam tentang Kristal itu, kenapa Ketua menginginkannya? Apakah Ketua akan menggunakannya untuk hal yang positif , atau…
“ Hampir semua orang yang menginginkan Kristal itu adalah orang jahat” kata-kata Kana itu terngiang di kepalaku.
“Bagaimana kalau tidak jahat?” tanyaku kepada Kana.
“Pasti jahat! Kamu tahu pada hakekatnya manusia itu pasti mati. Tidak ada yang abadi kecuali Yang Menciptakan kita… Aku sendiri tidak tahu kenapa Kristal itu ada. Aku malah berharap Kristal itu tidak ada…” Kana menundukan kepalanya, dia meremas-remas tangannya.“Kana… Apakah kamu penjaga Kristal itu? Kamu Healer?” Kana menatapku dengan terkejut. Perlahan tetes-tetes air keluar dari matanya.
“Apakah kamu mengerti artinya?” kata Kana sendu. Aku hanya menggeleng. “Jika aku menceritakan siapa aku, apakah kamu akan menjauhiku atau membunuhku?” Aku terhenyak dengan kata-kata Kana, aku menggeser kursiku mendekati Kana, lalu kupegang tangannya.
“Apa maksutmu? Aku tidak akan membunuhmu!”
“Sungguh?”
“Aku bersumpah” jawabku dengan bersungguh-sungguh. Kana tersenyum melihatku, lalu dia pun memberanikan diri menceritakan tentang dirinya.
“ Healer sebenarnya adalah seorang yang memiliki kekuatan sihir cahaya, sehingga kekuatanya biasa digunakan untuk menyembuhkan orang lain, bagi healer pemula, dia hanya akan bisa menyembuhkan luka luar saja. Setingkat lebih tinggi akan bisa menyembuhkan luka dalam...”
“Kalau Kana?” kataku memotong pembicaraan.”
“... aku lebih suka memakai sihir yang menyembuhkan luka dalam, untuk luka luar aku menggunakan ramuan... Aku juga tidak sering menggunakan sihir, kalau terlalu banyak menggunakan sihir , aku akan  dicurigai...”


“ Lanjutkan tentang tingkatan, Kana” Kataku bersemangat.
“Iya... Lalu untuk yang ahli, healer bisa menghidupkan orang mati... Walaupun membutuhkan kekuatan yang sangat besar dan nyawa juga dapat dipertaruhkan... Lalu ... Bagi yang sudah menguasai semua tingkat, biasanya seorang healer tidak cukup puas dengan tingkatan itu, maka kebanyakan dari mereka akan belajar sihir kegelapan... Tidak perlu belajar dari awal, mereka yang sudah ahli bisa langsung menguasai sihir Pembunuh...” Aku menelan ludahku sedikit ngeri mendengar cerita Kana, “Karena itu, Para healer tidak bisa hidup tenang dan selalu hidup berpindah-pindah... Banyak yang membenci kami, ingin membunuh kami... tapi bagi orang yang memiliki kekuasaan, kami sangat diburu karena bisa melakukan itu...”
“ Tidak semua healer mencapai kekuatan tertinggi bukan?”
“Iya... Tapi mereka biasanya tidak bisa melawan karena kekuatan mereka hanya untuk menyembuhkan, kalau tidak bunuh diri, mereka dibunuh...”
“Kalau pengguna sihir hitam, apakah mereka juga dibunuh?’
“Mereka tinggal disuatu tempat dimana hanya mereka yang bisa melewatinya.”
“Mengapa healer tidak begitu?”
“ Biasanya orang yang memakai sihir kegelapan akan dikucilkan karena biasanya mereka memiliki emosi dan kekuatan yang tidak terkendali, berbeda dengan healer yang masih bisa hidup dalam lingkungan normal. Dan banyak healer yang hidup seperti aku, walaupun mereka tidak tahu bahaya apa yang akan menanti... Ya... Walaupun ada beberapa healer yang tinggal di sana”
“ Kenapa kamu tidak tinggal di sana?”
“Di sana sangat jauh... walaupun aku healer, aku belum tentu bisa kesana  karena aku bukan pengguna sihir kegelapan... Dan aku sudah 2 tahun tinggal di sini, di sini juga dekat dengan gua itu.”
“Kamu juga merasa nyaman dengan warga-warga di sini?”
“Tentu, mereka sangat baik, walaupun aku tidak tahu harus membohongi mereka sampai kapan...”
“Boleh aku bertanya satu lagi?”
“Iya...”
“Apakah kamu bisa menggunakan... Sihir pembunuh? “ Kana kaget mendengar pertanyaanku, dia sedikit gelagapan untuk menjawabnya, kupegang tangannya dengan lembut. Kana menatapku dengan sedih, tetes air keluar dari matanya. Tanpa kata-kata dia pun mengangguk. Aku hanya terdiam tak tahu harus mengatakan apa. Lalu dengan lirih mengatakannya.

“A...ku pernah menggunakannya... Saat... N-nenekku dibunuh... Waktu itu... Aku takut sekali... Aku tidak bisa berbuat apa-apa... Saat tentara-tentara itu mendekatiku... A-aku menggunakan sihir itu... Bukan hanya satu orang yang kubunuh...Aku membunuh semua tentara itu...” Kana terisak-isak, aku mendekapnya untuk menenangkannya. Kutepuk punggungnya dengan lembut.

Malam semakin larut, aku dan Kana sedang duduk bersantai di luar rumah Kana, kali ini Kana lebih tegar untuk menceritakan semua kepadaku. Tentang keluarganya, ternyata ibu Kana adalah Healer dan Ayahnya seorang Mage pengguna sihir kegelapan. Mungkin karena itu tanpa disadari Kana sudah bisa menguasai sihir Pembunuh. Karena peperangan, ibu dan ayah Kana meninggal, lalu Kana tinggal bersama Neneknya. Mereka hidup berpindah-pindah karena sering diusir, sampai akhirnya nenek Kana memutuskan tinggal di rumah ini yang ternyata adalah bekas rumah kakek Kana. Ternyata mereka bisa tinggal lama disini karena orang-orang di sini tidak mengerti tentang sihir-sihir, maklum karena ini adalah desa terpencil.Lalu saat Kana dan neneknya pergi ke Kota untuk mencari bahan untuk obat, ternyata di sana sedang terjadi perang dan mengakibatkan nenek Kana meninggal. Bukan hanya Kana yang bercerita, aku pun menceritakan kisah hidupku yang penuh liku juga. Setelah aku menceritakan kisahku, kami pun segera tidur.

***
II

Sekitar Jam 4.30 aku keluar dari rumah Kana dengan diam-diam dan menuju perpustakaan. Aku tidak ingin Kana mengetahui rencanaku hari ini. Sebenarnya dari Jam 2 pagi aku sudah bangun dan membaca buku itu sampai tuntas. Hari ini waktu tidurku hanya 3 jam, bagi prajurit sepertiku tidur 3 jam sehari adalah suatu hal yang lebih dari cukup.Aku berjalan menuju perpustakaan, kutaruh buku ini didepan pintu sesuai janjiku. Lalu aku berjalan menuju gua yang terdapat Kristal. Kulihat pohon-pohon yang ada diluar gua, sepertinya kudaku sudah tidak ada lagi disini, mungkin diambil orang. Kulihat pintu masuk gua ini, padahal waktu itu ada gempa, tapi sepertinya gua ini masih baik-baik saja. Aku berjalan pelan memasuki gua tersebut sambil memikirkan Ketua dan Kana. Aku sebenarnya masih bingung memilih yang mana, mungkin dengan melihat Kristal itu lagi aku bisa menemukan jawabannya... mungkin. Sesampainya aku diruangan yang terdapat Kristal, betapa terkejutnya aku ketika melihat ada seorang pria dengan jubahnya yang bewarna biru hampir hitam dan membawa sabit besar sedang didekat Kristal itu. Aku lebih terkejut ketika ada orang lain dibelakangku menarik bajuku. Aku menengok ke belakang, aku lebih kaget karena yang dibelakangku....

“Ka-Kana?”
“Hati-hati, dia sedang terhipnotis” Jawab Kana seperti tidak mempedulikan kegugupanku. Lelaki itu menengok ke arah kami dengan matanya yang putih semua. Aku membentangkan lengan kananku untuk menjaga Kana yang dibelakangku. Dalam situasi begini aku tidak boleh gugup dan takut. Ini saatnya melindungi Kana dan menjauhkan lelaki itu dari kristal. Tiba-tiba ruangan semakin gelap, dengan kecepatan yang biasa saja dia menghempaskan satu serangan kearahku. Aku menghindar dengan mudah sambil menggendong Kana, walaupun aku sendiri sedikit kaget. 




“Kana, sembunyilah dekat batu di sana, jangan keluar sampai aku selesai menyadarkannya.” Kana mengangguk perlahan dengan wajah cemas. Tiba-tiba wajah Kana berubah pucat, dia pun berteriak.
“Kaze awas!” Aku memutar badanku dengan kecepatan penuh sambil menarik pedangku dari sarung pedang dipunggungku. Kutangkis serangan lelaki itu, aku sedikit terdesak, ternyata dia cukup kuat. Kuserang dia dengan cepat, walaupun aku menyerang, aku hanya menyerang bagian pedangnya saja. Tiba-tiba aku merasa ada yang menarik kakiku. Kucoba untuk maju tapi kakiku tak bisa bergerak. A-Ada apa ini? Aku melihat kearah kakiku, ternyata dibawah kakiku terdapat bayangan hitam yang mengikat kakiku. Lelaki itu melompat dan bersia menyerangku dari atas, Karena aku tidak bisa menghindar, aku hanya bersiap menahan serangannya. Lalu dari belakang Kana mengucapkan sesuat dengan lantang.
 Shine!” Muncul cahaya putih mengelilingiku, lelaki itu terpental, senjatanya jatuh cukup jauh lalu bayangan dibawah kakiku menghilang sehingga aku bisa berjalan kembali. Kepalaku menengok menghadap Kana yang sedang tersenyum kearahku. Aku tersenyum juga, setelah ini selesai aku akan bilang terima kasih padanya. Kulihat kembali lelaki itu, lelaki itu sedikit sempoyongan. Senjatanya jauh terpental darinya, mungkin dia akan menyerah?
 Setelah beberapa detik terdiam, lelaki itu membuka sarung tangan sebelah kiri. Kami terkejut ketika melihat tangan kiri lelaki itu memilki tangan seperti monster dengan cakarnya yang mengerikan. Kana memekik ngeri sambil berkata
“Kaze awas!” Dengan kecepatan melebihi tadi, lelaki itu menyerangku dengan tangan monsternya. Aku menangkisnya dengan tanganku.
“Kaze, gunakan pedangmu!”  Kana meneriakku dengan panic, tapi aku tetap tidak menggunakan pedangku.
“Dia tidak menggunakan senjatanya, aku pun juga tidak” jawabku sambil berusaha menghentikan serangannya.
“Tapi… dia memakai tangan itu…” Kata Kana cemas. Kana memejamkan matanya sesaat, “Aku akan membantumu” Kana berlari mendekati ku dan lelaki itu. Dengan tongkat yang Kana bawa, dia berusaha mencoba menahan serangannya.
“Cepat serang dia!” Kata Kana sambil menahan serangan lelaki itu. Aku sedikit mendapat kesempatan untuk menyerangnya, tapi ketika aku melihat lelaki itu ternyata tidak mengincarku! Gawat… Aku memekik dalam hati, dengan kesempatan yang seperkian detik, aku peluk badan Kana lalu kudorong badanku kedepan agar tidak mengenai serangan lelaki itu. Ternyata kesempatanku habis, aku terkena serangannya sedikit. Bajuku sobek dan darah segar keluar dari punggungku. Aku terjatuh menindih badan Kana, aku sedikit kesakitan menahan sakitnya punggungku yang terkena serangan tadi.
 “B-Bertahanlah Kaze…” Kana memegang pipiku, lalu tangan Kana mulai bercahaya. Entah kenapa lukaku terasa hangat dan sakitnya tidak separah tadi.
“Kana… kamu…”
“Aku sudah mengobati lukamu sedikit, walaupun belum sempurna karena waktunya akan lama” Aku memandang Kana dengan cemas, kutatap matanya dalam-dalam. Sesaat pipi Kana sedikit merona, itu membuatnya tambah manis. “Kenapa?” Tanya Kana.
“Kana… Kamu sangat manis… Eh… duh… Maksutku… Apa kamu baik-baik saja?” Aku jadi malu dan gugup dengan apa yang kukatakan. Dan ketika aku menyadari bahwa aku masih di atas Kana, dengan panic aku menjauh darinya. “M-Maafkan aku…”  Kana tersenyum malu-malu melihatku.
“Aku baik-baik saja, cepat kalahkan dia” mendengar jawaban Kana, aku merasa mendapat semangat baru. Aku pun berlari kearah lelaki itu lalu kami pun bertarung dengan sengit menggunakan tangan. Dengan kecepatan yang aku punya, aku berhasil mendesak lelaki itu. Dan dengan tinjuku yang kuat, aku berhasil mendorong lelaki itu hingga… Aku tersentak kaget ketika melihat lelaki itu jatuh dan mengenai Kristal Diamond hingga jatuh dan pecah! Aku dan Kana saling berpandangan. Tiba-tiba Gua bergemuruh dan disusul dengan gempa. Langt-langit Gua mulai runtuh.
“Kana cepat lari! Aku akan membawa lelaki itu dulu”. Kugendong dia yang sepertinya pingsan, lalu aku berlari keluar dari Gua
***
Kami berhasil keluar dari gua, kutaruh lelaki itu di rumput persisi seperti saat aku pertama kali bertemu Kana. Aku memandang Kana yang sedang melihat lelaki itu sambil menyembuhkannya dengan kekuatan Kana. Kulihat gua yang tadi kami masuki kini benar-benar sudah runtuh.
“Apakah gua ini akan hancur ketika kristalnya juga hancur?” tanyaku kepada Kana.
“Sepertinya begitu…” Kana menghela nafas panjang.
“Kana,Terima kasih sudah menolongku…Dan…Maafkan aku…”
“Maaf? Kenapa?”
“Karena aku menghancurkan Kristal itu…”
“Itu kecelakaan, tidak perlu minta maaf” Kata Kana sambil tersenyum tipis, tapi dibalik senyumnya ada guratan kekhawatiran. Kemudian kami melihat lelaki itu menggerak-gerakkan jemarinya dan membuka matanya, dia melihat kami dengan terkejut.
“Siapa kalian? Dimana aku?”
“Kami menolongmu dari goa itu,” sahutku. Dia melihat kami dengan bingung, “Sebaiknya kamu cepat pergi dari sini sebelum masalah lain datang,” lanjutku.
“Apakah aku membuat masalah disini?” Jawabnya dengan gusar.
“Tentu saja” kali ini Kana yang angkat bicara. “Orang asing sepertimu pasti mengincar kristal itu!” Lelaki itu memandang Kana dengan takjub, mereka berdua saling berpandangan. Seperti mengetahui arti tatapan itu, Kana segera bangkit dari duduknya lalu menarik tanganku dan berlari meninggalkan lelaki itu sendiri.
“K-Kenapa Kana?” Tanyaku yang masih tidak mengerti kenapa kami harus meninggalkan lelaki itu.
“Akan aku ceritakan kalau kita sudah sampai rumah.” Kami pun sampai rumah. Dengan ahlinya Kana menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Kulihat nafas Kana masih tidak teratur, dengan wajah pucat Kana merosot duduk dibawah lantai dengan lemas.
“Kamu tak apa-apa?”  tanyaku agak khawatir, aku duduk didepan Kana.
“Dia… tahu kalau aku adalah healer,” kata Kana menggigil. Kupegang tangannya dengan lembut.
“Aku akan melindungimu” kataku sambil tersenyum, ada rona merah dipipi Kana, dia pun tersenyum simpul walaupun masih ada guratan kekhawatiran di raut wajahnya. Aku mengintip keluar dari balik korden, seperti yang aku duga lelaki itu sudah berada didepan pintu.
Langit semakin gelap dan tak lama kemudian hujan mulai mengguyur desa ini. Satu jam berlalu dan lelaki itu masih pada posisi lamanya yaitu berdiri mematung didepan pintu. Dia tidak mengetuk pintu, bergerak saja tidak. Aku dan Kana akhirnya merasa kasihan, aku menyuruh Kana untuk bersembunyi dikamarnya dulu. Akupun membuka pintu.
 “Sedang apa kamu disini terus?” tanyaku berusaha tidak ramah walaupun sebenarnya itu sangat susah bagiku.
“Kalau aku mengatakan aku adalah pengguna sihir kegelapan, apakah aku diperbolehkan masuk?” Dia mengatakan dengan perlahan namun aku tetap saja terkejut.
“Mm… Mungkin sebaiknya aku tanyakan dulu.” Kututup pintunya dan aku segera mengatakan pada Kana, sama sepertiku Kana pun terkejut.
Dengan sabar lelaki itu berdiri didepan pintu, dan kesabarannya pun akhirnya terbalas karena pintu yang berada didepannya terbuka. Dengan gontai lelaki itu masuk kedalamnya. Dia melihat aku dan Kana yang sedang duduk menikmati teh panas yang mengepul-ngepul, ketika melihat ada satu teh panas yang tersisa, dia merasa ingin menikmatinya juga. Aku melemparkan handuk ke arah lelaki itu, dengan sigap dia menangkapnya, dia langsung tahu apa maksudku. Dia melepaskan jubahnya dan menaruhnya di lantai, kami pun melihat dengan jelas wajah lelaki itu tanpa jubahnya. Rambutnya pirang lurus cukup panjang namun tidak teratur dan diikat seadanya. Dari wajahnya mungkin dia seumuran aku. Lalu dia mengeringkan badannya dengan handuk yang aku berikan. Kemudian lelaki itu melihat kami seperti menunggu perintah selanjutnya.
“Taruh saja jubahmu disitu, besok akan kukeringkan jika cerah. Silahkan diminum tehnya.” Kata Kana. Ada senyum tipis bergerak dari bibir lelaki itu. Dengan malu-malu namun tetap santun, dia mendekati kami dan duduk dilantai seperti yang kami lakukan lalu dengan sopan dia menyeduh tehnya.
“Terima kasih banyak, nama saya Riku. Umur saya 25 tahun. Kalau boleh saya ingin berkenalan dengan kalian.”
“Haah…! Umurmu 25? Kukira umurmu sama denganku. Namaku Kaze, 19 tahun. Lalu dia Kana, hei umurmu berapa?”
“…17 “ jawab Kana malu-malu mungkin karena dia merasa paling kecil.
“Wah saya paling tua ya” sahut Riku sambil tersenyum lalu menyeduh tehnya.
“Lalu… Untuk apa kamu ke gua itu” kata Kana.
“Sebenarnya aku hanya ingin menggunakan magic dari Kristal itu, aku tidak akan membawanya. Namun, aku malah terkena efek itu.”
“Ada seseorang yang ingin kamu hidupkan? Atau …”
“Iya… Aku ingin hidupkan seseorang,dia sama sepertimu seorang healer. Dia dibunuh oleh suaminya sendiri…” Riku menggenggam tangannya dengan erat menahan amarah yang berkecambuk dihatinya.
“Hei Riku, kamu tidak akan mengamuk dan merusak rumah Kana kan?” Riku terkejut mendengar perkataanku. Riku menutup matanya, menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
“Aku baik-baik saja”
“Kenapa kamu tidak menggunakan Kristal Ruby?” Tanya Kana lagi.
“Aku sudah melakukannya setahun yang lalu. Tapi aku tidak menemukan jejak kehidupannya juga. Untuk itu aku datang kemari untuk menggunakan Kristal diamond” 
“Kristal Ruby?” Tanyaku  polos.
“Itu bukan berarti dia masih meninggal kan? Kamu hanya perlu mencarinya dulu”
“Aku tidak tahu dimana dia!”
“Seharusnya kamu mencari jasadnya dulu! Baru menghidupkannya!”
“Jasadnya sudah dibuang ke jurang oleh suaminya!”
“Kalau tidak ada kamu Kristal Diamond pasti masih ada!”
“Kalian berdua hentikaaaan!!” Mereka berdua memandangiku dengan sinis. Tapi aku tetap melanjutkan perkataanku, “kenapa kalian jadi bertengkar? Ayolah jangan kekanak-kanakan seperti itu” mereka berdua terdiam,  Kana menunduk sedangkan Riku menghela nafas.  “Kalau aku boleh Tanya, Kristal ruby itu apa sih? Hehe…” Lagi-lagi mereka memandangiku dengan sinis, aku hanya bisa tertawa polos.
“Kristal Ruby itu kristal milik pengguna sihir hitam, bentuknya bulat dan bewarna merah tidak seperti diamond. Kegunaannya hampir sama dengan Diamond, namun Ruby diperuntukkan untuk merusak dan membunuh, bisa saja untuk menyembuhkan dan menghidupkan tapi memiliki persentase kegagalan yang cukup besar.” Kata Kana menjelaskan, aku dan Riku mengangguk. Aku menggangguk tanda mengerti, sedangkan Riku menganguk tanda setuju.
“Jadi kamu gagal menghidupkan temanmu?” tanyaku
“Aku juga tidak tahu pasti, karena aku melakukannya tanpa mengetahui dimana jasadnya.”
“Lalu, apa yang harus kamu lakukan disini?” Tanya Kana.
“Menunggu jubahku kering” jawab Riku sambil tersenyum masam. Kana menoleh memandangiku dengan wajah cemberut.
“Sepertinya kita akan punya penumpang baru” kata Kana, aku hanya tertawa mendengarnya.
“Kana, kenapa kamu cemberut terus?” tanyaku saat kami sudah di kamar tidur, Riku tidur diruang utama dikasur pasien, hanya itu kasur yang tersisa. Seperti biasa Kana tidur di kasur atas dan aku dikasur bawah.
“Aku tidak suka dengan orang itu, “
“Kukira kamu sebal karena biaya hidup bertambah”
“Ya itu juga sih…”
“Kamu tidak menyuruhku untuk pulang kan?” Kataku dengan agak gusar. Kana tertawa, dia melongokkan kepalanya kebawah melihatku, rambutnya yang panjang dan indah tergerai berayun-ayun mengikuti gerak kepalanya.
“Tentu saja tidak, bodoh! Takkan kubiarkan kamu pulang” Aku tersenyum mendengarnya.
“Sebenarnya aku sedikit khawatir”
“Kenapa?”
“Karena sekarang aku akan punya rival…”
“Rival apa maksutmu? Aku akan berusaha adil membuat makan untuk kalian dan mencuci pakaian kalian”
“Nah  itu, seharusnya kamu memberiku lebih karena aku tinggal bersamamu lebih lama”
“Sebaiknya kamu cepat tidur deh!”
                                                                 ***

III
Hari ini cuaca cerah dan Kana pun senang karena beberapa hal. Pertama Kana senang karena cuaca cerah dan dia bisa menjemur pakaian dan yang kedua adalah dia tidak perlu mencari tanaman karena dia bisa menyuruh aku dan Riku. Dengan sedikit mengantuk Riku mengikutiku menuju hutan. Jalanan masih becek karena hujan semalam, apalagi dihutan jalanannya berbatu dan licin namun Riku seperti sudah biasa menghadapi jalanan yang licin walaupun sedang mengantuk. Akhirnya aku menemukan tanaman herb yang biasa digunakan Kana untuk membuat obat.
“Kenapa dia repot-repot membuat obat? Bukankah dia healer?” Kata Riku sambil menguap.
“Bego, tentu saja agar identitasnya terjaga,” kataku sambil memetik tanaman herb
“Oh iya benar juga.”
“Bagaimana denganmu? Apa kamu sering dicurigai?” 
“Tidak kok. Aku tidak pernah menggunakan kekuatanku kalau tidak sedang bertarung.” Kata Riku sambil menggaruk kepalanya, mungkin gatal karena sudah lama tidak keramas dan tadi pagi dia belum mandi. “Oh iya, sudah berapa lama kamu kenal Kana?” Tanya Riku.
“Baru seminggu ini, kenapa?” tanyaku sambil menggali tanah lalu didalamnya kutaruh biji.
“Kalian berdua mengingatkanku pada masa laluku, seorang prajurit suka dengan helaer” kata Riku, aku terkejut mendengarnya dan tanpa kusadari wajahku sedikit memerah.
“Apa sekarang sedang pelajaran cinta?” kataku agak gusar, kusebarkan beberapa pupuk agar gerogiku sedikit berkurang.
“Aku hanya memberimu nasehat, wajahku memang masih terlihat muda karena aku pengguna sihir, namun pengalaman hidupku sudah penuh liku, terutama soal cinta. Dengar Kaze, sebaiknya kamu segera memberi tahu perasaanmu pada Kana, seorang healer itu memiliki persentase hidup yang sangat dikit dibanding pengguna sihir lain, aku juga tidak tahu mengapa dan aku tidak sedang menakut-nakutimu loh.” Aku terdiam mendengar perkataannya, ada rasa takut yang menyelimuti hatiku.
“Tapi… aku, Kana baru seminggu bertemu”
“Aku sudah dua tahun bersamanya, ketika aku akan mengatakannya aku benar-benar sudah terlambat…” Riku berucap sambil memandang langit biru, aku  “Aku sudah dua tahun bersamanya, ketika aku akan mengatakannya aku benar-benar sudah terlambat…” Riku berucap sambil memandang langit biru, aku termenung sesaat, apakah ini berarti aku dan Kana tidak mungkin bisa bersama selamanya?
“Apakah kamu mau bercerita tentang masa lalumu?” tanyaku kepadanya, Riku tertegun, dia menghela nafas panjang lalu kemudian dia duduk di rumput disebelahku.
“7 tahun yang lalu,dulu aku bukanlah Mage, aku sama sepertimu seorang prajurit yang selalu setia pada Kerajaan. Aku memiliki teman sepermainan bernama Catherine, dia seorang healer. Dulu healer masih agak banyak dan hampir disetiap kota masih ada healer. Aku mulai menyukainya sewaktu umurku 18 tahun, dan aku baru berani mengatakannya 2 tahun kemudian. Tapi… “
“Dia mati?”
“Bukan”
“Dia menolakmu?”
“Bukan”
“Lalu?” kataku sedikit kesal sambil mencabut tanaman herb agak keras.
“Dia sudah dilamar oleh seseorang, dia menangis saat aku mengatakannya… Andai saja waktu itu aku lebih cepat… Sebenarnya aku yakin 100% Kana tidak menyukai lelaki itu, dia dipaksa nikah. Tapi aku tidak bisa apa-apa, lalu 2 tahun kemudian lelaki itu membunuh Catherine entah apa alasannya. Dan lelaki itu tak pernah dihukukm sampai sekarang karena dia memiliki kekuasaan… Karena dendam ini aku menjadi mage, agar aku bisa membunuhnya… dan menghidupkan Catherine…”
“Apakah kamu berhasil membunuh?”
“Itu hal yang sangat mudah,aku membunuhnya saat kekuatan mageku masih kecil. Karena kejadian itu aku dikeluarkan dari pekerjaanku dan aku memutuskan memperdalam ilmuku sampai sekarang”
“Aku mengerti perasaanmu tapi sebaiknya kamu jangan mencampuri urusanku dengan Kana” kataku setelah berpikir agak lama kata-kata apa yang harus kukomentari setelah mendengar ceritanya yang cukup panjang.
“Tentu saja tidak, namun sayangnya Kana cukup manis” Aku pun menonjok perut Riku dengan cepat.
***
“Selamat datang! Kalian lama sekali ya, loh Riku kenapa perutmu?” Kata Kana menyambut kedatangan kami dengan ceria, dia sedang menaruh jemuran di atas tali.
“Dia hanya kebelet buang air,” kataku dengan cepet sebelum Riku menjawabnya, “Ini tanamannya Kana, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Aku memberikan tas jerami ke tangan Kana, lalu Kana tersenyum.
“Kalian istirahat saja dulu”
“Kana, jubahku mana?”Tanya Riku sambil melihat-lihat di ember dan ditali.
“Oh iya, jubahmu sudah aku buang” Kata Kana polos sambil memeras bajunya yang sudah dicuci.
“AAAPPPPAAAAAAAA!!!”
“Soalnya jubahmu bau sekali seperti sudah bertahun-tahun tidak pernah dicuci lalu kotor dan sudah sobek-sobek pula, makanya aku buang.” Kata Kana sambil cemberut, ”Tenang saja, aku akan memberimu uang pengganti, tak jauh dari sini ada toko baju kok”
“Jubah kesayanganku…” Kata Riku sambil terunduk lesu. Aku tertawa melihatnya,
“Aku saja yang membelikanmu jubah baru, uang Kana disimpan saja untuk membeli bahan makanan” Kataku sambil tersenyum pada Kana, kulihat Kana tersenyum malu-malu melihatku.
“Jangan mengira aku Kere tak punya uang hanya untuk membeli jubah ya, gini-gini aku sering mendapat uang untuk menjadi mata-mata, prajurit lepas dan pembunuh bayaran tahu!” Kata Riku menggerutu, Aku dan Kana tertawa mendengarnya. “ Sebaiknya aku beli dulu” Riku melihatku lalu mengedipkan sebelah matanya sambil mengacungkan jempol yang diarahkan ke Kana, Aku sedikit gugup melihat kode tersebut. Riku pun meninggalkan kami berdua, apa yang harus aku lakukan? Pikirku agak keringat dingin. Apakah setelah aku mendengar cerita Riku, aku harus melakuakan apa yang Riku suruh? Kalau dipikir lagi aku juga takut akan masa depan Kana tapi aku juga bingung apakah aku harus percaya pada cerita Riku? Setelah 5 menit berpikir, akhirnya aku memutuskan. Aku berjalan mendekati Kana, kupegang bahunya, lalu kuputar badannya sehingga kami saling berhadapan, tentu saja Kana kaget dan dari mimiknya dia hampir mau mengomeliku namun ketika melihat wajahku yang sedang serius menatap wajahnya, berlahan ketegangannya mulai mengendur.

“Ada apa Kaze?”
“Kana… Aku… Aku…” Aku mendekatkan wajahku ke wajah Kana, kulihat wajahnya begitu merah, aku tidak menghiraukan itu walaupun dia terlihat sangat manis, yang penting bagiku adalah dia tidak menolak saat bibirku hampir menyentuh bibirnya dan…
“Omong-omong toko bajunya dimana ya?” mengetahui Riku berdiri di sebelah kami sambil menggaruk kepalanya dengan bingung aku hanya tertunduk lemas.
***
2 minggu berlalu, aku merasa hari-hariku diisi dengan kegiatan yang menyenangkan. Membantu Kana dalam hal rumah tangga, menanam tanaman herb, mencari tanaman dan berlatih pedang bersama Riku. Namun hari ini aku tidak sempat melakukan semua itu karena tetangga kami mengalami kecelakaan dalam bekerja. Ada beberapa orang pria yang mengalami luka cukup serius. Dan kami bertiga dibantu tetangga menjadi cukup sibuk.
“Sepertinya stok perban hampir habis, kalian berdua tolong belikan perban di kota sebelah ya. Jalan terus ke utara kalian akan sampai dalam waktu 30 menit kalau jalan. Kuharap kalian lebih cepat dari itu. Terima kasih banyak ya, uangnya akan aku ganti.” Kata Kana dengan tegas kepada aku dan Riku, kuakui dia  sangat berbeda ketika dalam situasi yang seperti ini, kami mengangguk dan segera pergi.
“Hei Kaze, mau memakai sihir agar kita cepat sampai sana?” Tanya Riku kepadaku.
“Boleh saja” jawabku. Riku tersenyum, dia pun melafalkan mantra pendek dan dia berkata, “Haste” seketika itu juga kakiku mengeluarkan cahaya bewarna biru muda.
“Nah coba kamu lari,” saat aku lari aku merasa lariku sangat cepat!
“Wow, hebat sekali!” kataku memuji. Riku hanya tertawa bangga.
Dalam perjalanan aku dan Riku berbincang mengenai sihir, Riku berkata bahwa dia sebenarnya sudah mencapai sihir kegelapan yang tertinggi. Dia bisa menggunakan sihir cahaya juga walaupun tidak semua sihir cahaya bisa dia lakukan. Seperti halnya menyembuhkan dan menghidupkan orang mati dia masih belum bisa.
“Apakah kamu bahagia menjadi Mage?” tanyaku kepada Riku. Riku diam beberapa saat.
“Tentu saja. Ini jalan hidup yang aku pilih, Bagaimanapun aku harus bahagia“ kata Riku sambil melihat langit.
“Kalo lari lihat jalan” Kataku membuyarkan lamunan Riku, Riku yang awalnya terlihat kaget kemudian dia tersenyum. 


IV
Kota Xenia adalah kota besar yang terdapat berbagai gedung yang cukup besar. Sungguh berkebalikan dengan tempat tinggal Kana. Aku dan Riku mengelilingi kota ini sambil melihat-lihat kota ini dan tentu saja mencari toko obat. Tak lama berselang akhirnya kami menemukan rumah toko yang bertulisan “Medication” yang cukup besar. Tanpa ragu aku dan Riku memasuki rumah toko tersebut. Sesampainya didalam ternyata toko ini cukup sepi hanya ada dua orang yang berpakaian… Prajurit Gegana? Ya ini adalah Prajurit dibawah naungan Ketua Senu. Mungkin mereka mengenaliku karena aku adalah atasan mereka., tapi jujur saja aku berharap mereka tidak mengenaliku sekarang. 
“Hei itu bukankah Kaze?” Salah satu dari prajurit yang sedang membeli obat juga menunjuk kearahku sambil berkata pada prajurit yang disebelahnya.
“Wah benar!” Mereka berdua berjalan mendekatiku. Aku sedikit tegang bertemu mereka. Bukan karena aku tidak hapal nama mereka, namun…
“Sudah lama tidak melihatmu. Apa dia teman barumu?” Kata salah satu prajurit sambil melihat kearah Riku. Riku hanya diam saja.
“Kamu terluka dalam melaksanakan tugasmu? Kalau susah sebaiknya kamu minta bantuan saja pada Ketua Senu, dia sedang ada di penginapan dekat sini kok.” Deg! Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya dan aku tidak ingin bertemu dulu. Sebenarnya aku masih belum siap untuk mengatakan tugasku yang tidak akan selesai padanya.
“Ketua… Sedang apa disini? Tumben dia tidak di markas“ tanyaku.
“Kita mendapat job untuk melindungi kota ini. Kudengar ada artis cantik yang bernama Sena akan datang ke kota ini, Mungin Ketua Senu dan Sena bersaudara?”
“Masa? Ga mungkin lah hanya ada artis seperempat dari prajurit kita dan Ketua harus melindungi kota ini. Yang aku dengar akan ada perang tahu!” Aku hanya tersenyum melihat mereka. Lalu aku mulai angkat bicara.
“Bisa kalian antar aku kekamarnya?” tanyaku kepda mereka, Riku pun terkejut.
“Tentu saja” Kata salah satu dari mereka.
“Kalau begitu aku bilang dulu ke temanku sebentar, kalian duluan saja.” Aku melihat kedua prajurit itu keluar dari toko. Kemudian aku melihat kea rah Riku yang masih terbengong-bengong.
“Riku, maaf… Aku akan ada urusan disini, aku akan secepatnya pulang. Sebaiknya kamu cepat beli perban dan pulang. Tolong jangan beritahu Kana dulu tentang ini.”
“Jangan membuat Kana khawatir” kata Riku sambil menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum.
Setelah mengucapkan terima kasih pada 2 prajurit yang mengantarku dan 2 prajurit penjaga pintu aku pun berjalan memasuki kamar Ketua Senu. Aku melihat pria setengah baya yang rambutnya hampir memutih semua sedang duduk dilantai
Setelah mengucapkan terima kasih pada 2 prajurit yang mengantarku dan 2 prajurit penjaga pintu aku pun berjalan memasuki kamar Ketua Senu. Aku melihat pria setengah baya yang rambutnya hampir memutih semua sedang duduk dilantai menghadap meja yang penuh dengan buku dan kertas.  Ketua melihatku, seketika itu juga membuat kaki dan tanganku mendingin.
“Sudah lama sekali ya, Kaze. Silahkan duduk” Kata Ketua dengan lembut sambil tersenyum penuh wibawa. Aku pun duduk dengan hati-hati didepan mejanya.
“Maafkan saya, Ketua…” kataku sambil menunduk.
“Jadi…” Ketua melihatku seperti sedang mencari benda yang dia inginkan. “Kau sudah membawa itu?”
“Maafkan saya… S-Saya tidak bisa melaksanakan tugas” kataku sedikit gugup. Ketua melihatku dengan heran dan sedikit kecewa.
“Ternyata prajurit terbaikku tidak bisa melaksanakan tugas. Memang ini salahku memilihmu dalam tugas yang amat sangat berat ini.” Aku menahan nafas, wajah Kana muncul dibenakku dan membuatku memberanikan diri untuk segera mengatakannya pada Ketua. “Oh ya Kaze kau tahu, aku mendengar kabar bahwa ada seseorang yang bergelar healer merupakan penjaga  kristal itu dan dia memiliki kekuatan sama kuatnya dengan Kristal itu” Deg! Jantungku seperti berhenti mendadak. “ Mungkin kamu bisa menemukannya, menangkap orang untukmu tidak sulit kan. Dia memiliki tanda + di dahinya” Ketua terus berbicara, sedangkan aku terus memikirkan Kana sampai suatu pikiran menyadarkan ku. Aku harus menyelesaikan ini!
“Ketua… Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Ya?”
“Saya akan mengundurkan diri dari Prajurit Gegana” Ketua terdiam, kami sama-sama terdiam. Aku jadi semakin tegang.
“Kamu sudah melakuakan yang terbaik, aku tidak akan mengeluarkanmu…”
“Bukan, bukan itu” Baru kali ini aku berbicara keras pada Ketua, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus berjuang untuk keluar dari ini.
“Kamu adalah prajurit terbaikku, aku tidak akan mengeluarkanmu tanpa alas an yang jelas.” Kata Ketua dengan tegas.
“Saya… Bertemu dengan seseorang, saya harus melindunginya. Jadi… jika saya masih menjadi prajurit… Saya takut… Tidak bisa melindunginya…” Kataku sedikit gugup.
“Banyak prajurit yang sudah menikah dan tetap bisa menjaga istrinya,”
“… Tapi…”
“Aku tidak akan mengeluarkanmu, tapi aku memperbolehkanmu untuk cuti.” Aku merasa mungkin hanya itu jalan keluarnya. Walaupun aku merasa lega tapi tidak sepenuhnya lega karena yang aku dapat hanya cuti. Kemudian aku menunduk.
“Cuti saya terima, terima kasih banyak”
***
Riku berjalan seorang diri di hutan. Setelah memberikan perban ke Kana, Kana masih sibuk merawat orang yang terluka walaupun dia sempat bertanya, “Kaze mana?” dan Riku hanya menjawab, “Sepertinya kami terpisah dijalan, aku kira Kaze sudah pulang duluan.” tentu saja Riku berdusta namun Kana sepertinya percaya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Riku pun segera pergi supaya Kana tidak bertanya lagi dan Riku juga merasa dirinya tidak begitu berguna jika ikut membantu orang-orang itu. Dan hanya hutan inilah tempat yang paling nyaman untuk kabur. Tiba-tiba Riku mendengar bunyi Kresek-kresek… Suara itu terdengar dari semak-semak dekat dengan tempat Riku berjalan.  Awalnya Riku membiarkannya, tapi ketika bunyi itu diikuti dengan suara anak kecil menangis, Riku mulai mendekati semak-semak itu, dan betapa terkejutnya ketika didalam semak-semak itu terdapat 2 anak kecil, dan mereka kembar. Yang satu perempuan sedang menangis sambil menatap Riku dengan iba dan yang satunya lagi laki-laki sedang memeluk yang perempuan seperti sedang menenangkannya dan sambil menatap Riku dengan sangar. Mereka berdua sama-sama kumal dengan luka disana-sini, jubahnya pun nsudah sobek-sobek sehingga sudah tidak pantas lagi untuk melindungi badan. 
“Mau apa kamu?” kata anak laki-laki sambil terus memandang Riku dengan garang. Tadinya Riku merasa iba melihat mereka dan ingin menolongnya, tapi ketika mendengar perkataanya, Riku merasa tidak perlu menolong mereka, Dasar congkak! Pikir Riku. Riku pun segera berdiri dan ketika dia mau membalikkan badan, dia melihat yang perempuan matanya mulai berkaca-kaca.
“Ken, kamu tidak boleh seperti itu… Mungkin saja dia benar-benar ingin menolong kita… “ kata anak perempuan sambil terisak-isak.
“Yang benar saja! Kita tidak boleh tertipu untuk kedua kalinya! Kalau dia mau menolong kita, seharusnya dia seperti tante Phelia yang walaupun pertama kalinya aku kasar dia tetap memungut kita kan?”
“Tante Phelia sudah mati, Ken! Kita tidak bisa bertemu dengannya lagi!” Riku hanya menggerutu dalam hati, dasar bocah! Kalian tidak akan menyuruhku mejadi tante mu itu kan. Tiba-tiba anak perempuan itu menjadi kejang-kejang. Yang laki-laki mejadi panik.
“Kei, bertahanlah!” Lalu mereka berdua sama-sama pingsan. Riku jadi ikutan panik. Riku sedikit menggoyang-goyangkan tubuh mereka berharap mereka bangun.
“Hei, kenapa? “ Mereka tidak bangun juga. Riku menepuk dahi, seharusnya dia tadi langsung bawa saja ketempat Kana daripada dikira membunuh bocah, pikir Riku. Ketika Riku merasa tubuh mereka semakin dingin, dia pun tidak punya pilihan lain. Sebenarnya dia malas menggunakan sihir healingnya karena dia yakin Kana lebih ahli dan dia tidak perlu membuang-buang tenaganya. Tapi karena kepepet, akhirnya Riku pun melakukan itu. Riku membaca mantra pendek “Heal” dan cahaya hijau muncul ditangan Riku kemudian berjalan ke tubuh 2 anak tersebut. Sayangnya sihir itu tidak menunjukan tanda-tanda bahwa 2 anak tersebut menjadi lebih baik. Riku menghela nafas kesal. Riku kembali membaca mantra kali ini lebih panjang kemudian “Heal”. Dan tubuh 2 anak itu menjadi hangat, walaupun masih pingsan mereka sempat menggerakan jarinya yang mungil. Riku menghela nafas lega. Digendongnya 2 anak itu menuju rumah Kana. Riku melihat kedua anak itu, mereka berdua sebenarnya mirip, hanya saja yang laki-laki walaupun pingsan tetap  terlihat menjengkelkan dan yang perempuan… Entah kenapa Riku merasa tidak asing dengan wajah yang perempuan, seperti pernah melihat tapi dimana?



***
Kana melihat sekeliling rumah dengan cemas, malam sudah menjelang pasiennya sudah diperbolehkan pulang dan dirumah hanya tinggal Kana namun Riku dan Kaze belum pulang juga. Tapi ketika dia melihat aku berlari menuju rumahnya raut wajahnya terlihat senang  tapi sedetik kemudian dia langsung cemberut.
“Apa yang kamu lakukan? Aku mengkhawatirkanmu, kamu tidak tersesat kan?” kata Kana sambil memanyunkan mulutnya, aku hanya tersenyum letih.
“Maaf “ Kataku sambil membersihkan keringat yang mengucur didahiku. “Sebenarnya…” Ketika aku mau melanjutkan kata-kataku, dari arah hutan aku melihat Riku berlari sambil membawa 2 anak kecil.
“Woi! Ada pasien!”
Riku menaruh kedua anak itu dikasur pasien dibantu olehku. Saat Kana mau mengambil obat, Riku mencegahnya,
“Hanya ada aku dan Kaze mereka berdua juga pingsan, jangan sungkan menggunakan kekuatanmu.” Aku segera menutup pintu dan menguncinya, begitu juga dengan jendela yang kemudian kututup dengan gorden. Kana melihat-lihat lagi rumahnya untuk memastikan tidak ada tempat untuk mengintip lagi. 
“Kamu yakin?” Tanya Kana ke Riku.
“Kamu tidak ingin kekuatanmu hilang karena jarang memakainya?” Tanya Riku sedikit galak, “Kalau ada yang melihat aku akan membunuhnya.”
“Aku melihat,” kataku sambil tersenyum jahil.
“Dan aku akan membunuhmu,” aku dan Riku pun tertawa. Kana tertawa kecil. Kemudian dia melihat kedua anak itu dengan iba, dan dia mengucapkan mantra “Cure”.  Tangannya dikelilingi cahaya pink kemudian cahaya itu berjalan menuju kedua anak itu. Cahaya itu terus keluar dari tangan Kana, cukup lama dia melakukakannya. Tak aku sangka Riku pun mengeluarkan mantra “Heal” untuk membantu Kana mengobati kedua anak tersebut. Mereka berdua melempar senyum. Aku melihat cahaya pink dan hijau menyelimuti kedua anak tersebut. Luka luarnya sudah banyak yang tidak terlihat, kemudian aku melihat Kana dan Riku yang entah kenapa dari raut wajahnya sedang kesusahan untuk menyembuhkan kedua anak kecil tersebut. Aku berpindah duduk dibelakang Kana kemudian kupegang pundaknya, Kana menoleh kearahku.
“ Berusahalah” kataku sambil tersenyum, Kana pun tersenyum. Entah kenapa aku,Kana dan Riku merasa semakin terdorong mundur. Sampai akhirnya Kana dan Riku sudah tidak kuat menhannya dan mereka berdua pun terdorong mundur. Aku terdorong mundur oleh badan Kana dan Riku pun terdorong sampai tertabrak dinding. 
“Ada apa?” kataku heran, kupikir dulu saat Kana menyembuhkanku, Kana tidak terdorong seperti ini.
“Mereka… mungkin healer,” kata Riku sambil memegang kepalanya yang sakit karena terbentur tembok juga. Riku mendekat kearah kedua anak kecil tersebut yang masih belum bangun. Kemudian Riku menyingkirkan poni yang ada didahi anak kecil perempuan itu dan melihatnya.
“Tapi kenapa tidak ada tandanya?” Tanya Riku. Lalu Kana melihatnya dan dia pun terkejut.
“Tidak Riku, lihatlah baik-baik.” Aku yang daritadi diam saja lalu ikutan untuk melihat.
“Mana? Tidak ada apapun kok” tanyaku.
“Lihat, disini ada lingkaran yang tidak terlalu bulat kecil yang bewarna lebih muda sedikit dari kulitnya. Jika dia besar nanti akan membentuk tanda +. “ lanjut Kana.
“Kenapa bisa seperti itu?” tanyaku tambah penasaran.
“Kemungkinan besar dia adalah anak  pernikahan dari healer dan manusia biasa.”
“Tunggu dulu. Apakah seorang healer tidak bisa disembuhkan seperti tadi?” Riku memandangku dengan kesal, aku jadi teringat kalau mage itu emosinya cepat naik. Aku langsung menutup mulutku.
“Tak apa,” kata Kana sambil tersenyum kepadaku dan Riku, kulihat Riku sudah kembali ‘normal’ dan Kana menarik tanganku, “Sebaiknya aku jelaskan sambil membuat teh yuk, Riku jaga mereka ya.” Riku hanya memberikan jempol. Aku dan Kana masuk ke dapur. Kemudian  Kana mengambil teh dan aku memasak air. “Riku pasti capek sehingga emosinya mudah naik.”
“Maafkan aku.”
“ Kaze ga salah kok,” kata Kana sambil tersenyum manis sekali.
“Nah, kapan kamu mau cerita?” Tanyaku sambil tersenum, Kana terlihat panik dengan wajah memerah.
“Oh… iya… itu… Begini, healer tidak bisa menyembuhkan healer lain karena healer bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Eh… Bukan-bukan, sebenarnya healer bisa saja menyembuhkan healer lain, tapi akan seperti tadi. Mereka menolak ketika aku dan Riku menyembuhkan karena kekuatan mereka masih bisa untuk menyembuhkan diri walaupun dengan sangat sedikit.”
“Apakah kalian berhasil menyembuhkan?”
“Kekuatan penyembuh kami lebih banyak ditolak daripada masuk ketubuh mereka, tapi itu sudah maksimal.”
“Kamu tidak perlu memaksakan diri kok.” Kataku sambil mengelus kepala Kana, kemudian aku menggeser badanku mendekat ke Kana. “Oh iya Kana, boleh Tanya sesuatu?” kataku berbisik di telinga Kana.Kini wajahku dengan telinga Kana sangat dekat.
“I-iya…” jawab Kana gugup.
“Mage juga tidak bisa menyembuhkan healer?”
 “I-Iya…”

“Bukankah mage tidak bisa menggunakan sihir penyembuh?” Kana terdiam, dia memikirkan sesuatu dibenaknya. “Sebenarnya Riku bukan mage kan? Aku pikir dia sudah mage tingkat atas.” Lanjutku.
“Benar!” Kana bersorak dan aku pun segera menutup mulutnya dengan tanganku. Aku member isyarat agar Kana tidak berbicara terlalu keras. Kana mengangguk malu-malu dengan wajah sedikit memerah.”Dia pasti Sorcerer. Sorcerer adalah pengguna sihir yang paling tinggi dan bisa menggunakan semua sihir.” Kata Kana kali ini dia berbisik.
“Mengerikan… Omong-omong nama tingkatan pengguna sihir apa saja sih?”
“Untuk pengguna sihir hitam itu dari bawah Mage, lalu Wizard dan paling kuat Warlock. Sedangkan sihir cahaya itu Healer, lalu Bishop dan terakhir Cardinal.Yang bisa menggunakan keduanya adalah Sorcerer”
“Ternyata dia sangat kuat… Tapi kenapa dia tidak pernah mengatakan yang sebenarnya”
“Mungkin dia tidak ingin dikira sombong…”

“Sama sepertimu? Kamu sebenarnya Bishop kan? Tapi kamu mengatakan kalau kamu healer.” Kana hanya tersenyum amlu-malu. Tiba-tiba terdengar dentuman yang cukup keras yang berada di ruang tengah tempat dimana Riku dan kedua anak kecil itu berada. Kulihat didinding dekat pintu dapur sudah membekas lingkaran yang bewarna agak hitam. Apa yang terjadi? Pikirku antara penasaran dan khawatir dengan mereka, lalu aku dan Kana bergegas melihat apa yang terjadi. Kami berdua pun terkejut ketika melihat anak kecil laki-laki itu sedang mengacungkan pistol yang ada di sarung pergelangan tangan kirinya kearah Riku, wajah Riku terlihat sedikit marah. Sedangkan yang perempuan melihat mereka berdua dengan ketakutan..Lalu anak yang laki-laki  melihat ke arah kami dan dia terkejut.
“Mau apa kalian semua?!” Kali ini sarung tangan pergelangan tangan kanannya mengeluarkan pistol dan pistol itu diarahkan ke aku dan Kana.
“Kami tidak menyakiti kalian kok, kami membawamu kesini untuk menyembuhkan kalian.” Kata Kana sambil tersenyum sepertinya dia berusaha untuk meluluhkan hati anak kecil itu.
“Tapi dia tadi memegang dahi Kei…” terdengar dari suaranya anak itu berhasil diluluhkan oleh Kana. Senyuman Kana memang dasyat manisnya, pikirku.
“Aku hanya melihat tanda di dahinya,” kata Riku kesal.
“Setelah kamu melihatnya kamu akan membunuh kami kan!” Nada anak kecil yang laki-laki kembali naik. Dasar Riku, harusnya dia diam saja biar Kana saja yang bicara.
“Tidak, tentu saja tidak. Lihat ini” Kana memperlihatkan tanda di dahinya. Kedua anak itu terkejut. “Aku adalah healer. Namaku Kana, yang dibelakangku Kaze dan dia Riku, Riku adalah Mage.” Kata Kana sambil tersenyum.
“Maafkan kami, namaku Kei dan dia saudara kembarku Ken.maafkan Ken telah membuat keributan disini” kata Kei, Kei adalah anak kecil yang perempuan. Dia berdiri kemudian dia membungkukan badannya untuk meminta maaf.
“ Kei! Kita tidak boleh percaya pada sembarang orang!” kata Ken yang masih sebal dengan kami.
“Ken, apa kamu tidak merasakan kehangatan tadi? Kamu tidak lupa kan saat mama menyembuhkan kita dengan sihirnya?”
“Tidak sih… Tapi…” Ken melirik kearah Riku, dan tanpa sengaja mata mereka bertemu.
“Apa kamu lihat-lihat.” Kata Riku ketus. Ken hanya memalingkan wajahnya dengan kesal.
“Sudah-sudah. Ayo kita makan malam dulu, kalian pasti lapar.” Kata Kana, lalu  Aku, Kei dan Ken bersorak gembira.


V
Kami semua makan dengan lahap. Kulihat Riku dan Ken masih kurang akur. Rebutan centong nasi, rebutan ayam. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka. Selesai makan, Riku memutuskan untuk segera tidur karena lelah seharian dia banyak mengeluarkan sihir.
“Gitu aja capek, payah! Lihat kak Kana tidak capek walaupun tadi mengeluarkan sihir ” Cetus Ken ketika mendengar alasan Riku.
“Tentu saja dia tidak gampang capek karena Kaze selalu ada disampngnya!” sahut Riku dan itu membuat aku dan Kana tersipu malu. “Hei Kaze, aku pinjam kasurmu dulu ya. Kalau aku disini pasti tidak bisa tidur soalnya kalian pasti akan berisik.” Riku pun segera masuk kamar dan menutup pintu. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“Nah, ayo kita ngobrol. Tapi jangan kemalaman ya, anak kecil tidak baik tidur terlalu larut.” Kataku memulai pembicaraan.
“Ok kakak.” Kata Kei dan Ken kompak.
“Aku tanya ya.Kalian tinggal dimana?” Tanya Kana.
“Kota Wirtel”
“Siapa nama orang tua kalian?” Kok pertanyaanya seperti akan mendaftar sekolah saja, pikirku dalam hati.
“Mama dan Papa, “ Aku hanya menahan tawa mendengar jawaban mereka berdua.
“Um… Namanya?” Tanya Kana lagi, tapi kali ini Kei dan Ken saling berpandangan, masa mereka tidak tahu nama orang tuanya?
“Kalau Papa Ovan, tapi kalau  Mama susah namanya…” Kata Ken, “Karen atau apa ya, Kei?”
“Bukan Karen, tapi…” Kei berusaha mengingat.
“Kalian bilang Ovan?” tanyaku pada mereka. “Kalian tinggal di Istana?”
“Dulu iya, sebelum kita diusir setelah Mama meninggal.” Kata Ken dengan cemberut.
“Diusir? Setahun lalu aku pernah mendengar kabar bahwa Raja Ovan kehilangan anak-anaknya diduga anak-anaknya kabur dari istana. Sayangnya kabar itu hanya muncul sebentar dan tidak berlanjut lagi“
“Jahat sekali… Apa yang ayah kalian lakukan sebenarnya?” Tanya Kana iba.
“Kami memang tinggal di istana, tapi Aku, Kei dan Mama selalu di dalam penjara!” kata Ken ketus.
“Tidak, Ken. Kita selalu tinggal dikamar besar dan tidak boleh kemana-mana.”
“Sama saja, “ cetus Ken. “Kita tidak boleh kemana-mana, di kamar terus.”
“Kasihan… Apa yang kalian lakukan agar tidak bosan?”Tanya Kana

“Kita biasanya membantu mama membuat sesuatu, nah ini salah satu ciptaan mama.” Kei dan Ken memperlihatkan pistol yang ada di pergelangan tangan mereka dengan bangga. Aku dan Kana hanya tersenyum.




“Kalian diperlakukan seperti itu karena kalian healer?” tanyaku menyela saat mereka membanggakan senjata mereka dan jujur saja aku tidak tertarik mendengarnya.
“Mama yang healer. Hanya mama yang diperbolehkan keluar dari kamar, tapi penjagaanya ketat...” Kata Kei,
“ Bukan, Kei! Mama dipaksa keluar, lalu ketika disuruh balik ke kamar, mama pasti lelah dan akhirnya mama meninggal!” kata Ken menyela perkataan Kei. Aku dan Kana berpandangan, kami berdua pun menyimpulkan bahwa ayah mereka tidak tahu kalau mereka adalah healer karena itu setelah ibu mereka meninggal, Kei dan Ken dibuang.
“Sudah malam  nih, ayo kita tidur.” Kana pun membujuk mereka untuk segera masuk ke kamar ditempat Riku yang sudah duluan tidur. Kerena Riku tidur dikasur bawah, akhirnya Kei dan Ken harus naik ke kasur atas. Dengan sabar Kana menunggu mereka untuk naik ke kasur atas dan menyelimuti mereka.Sedangkan aku duduk sambil membereskan seprai di kasur ruang tengah, kemudian Kana keluar dari kamar dan menutup pintu, itu membuatku sedikit heran.
“Loh kok tidak didalam? Kasur atas masih cukup untuk kalian bertiga kan?” tanyaku
“Bagaimana denganmu? Kamu tidur diluar...”
“Kamu menyuruhku tidak tidur? Agar Riku tidak melakukan sesuatu yang tidak-tidak ke kamu kan?” kataku sambil tersenyum geli. Kana hanya tersenyum malu-malu.
“Gak lah, aku mau menemanimu agar kamu tidak kesepian.” Kata Kana malu-malu dan itu membuat wajahku memanas. Kami berdua terdiam sesaat dan cepet-cepat aku menggeser dudukku agar Kana bisa tidur.
“Nah tidurlah disini,” kataku sambil menepuk-nepuk tempat kosong disebelahku. Kana berjalan kearahku dengan malu-malu, kemudian dia duduk disebelahku. Lalu dia menatapku,  “Iya iya aku ga akan tidur disini kok.” Kataku, saat aku hendak berdiri, Kana menarik tanganku.
“Aku belum ngantuk,” aku hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian aku duduk disebelehnya sambil menyender tembok. Tiba-tiba aku teringat kejadian  tadi siang.
“Kana, tadi aku bertemu dengan Ketua Senu di kota Xenia.”
“Ketua mu?” kata Kana memandangku sedikit tegang.
 “Iya… Dia masih baik seperti dulu, dia tidak memaksaku  karena aku tidak bisa menjalankan tugas itu.”kali Kana tidak memandangku, dia mendukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya. Kupegang tangannya dengan lembut, dan Kana pun menoleh padaku. “Kemudian aku mengajukan cuti kepadanya.” Lanjutku, kulihat wajahnya menjadi sedih.
“Itu artinya suatu saat kamu akan kembali kesana?”
“Aku mengajukan cuti karena aku tidak boleh keluar menjadi prajurit. Bukan berarti aku akan kembali kesana.”
“Tapi, kamu sayang pada Ketua mu…”
“Tapi aku lebih sayang kamu…” Kana memandangku dengan wajah yang merah dan sangat manis.
“Janji?”
“Janji apa? Janji aku tidak akan kembali kesana atau janji akan selalu sayang kamu?” Aku tertawa pelan .
“Keduanya,” jawab Kana sambil tersenyum manis. Dia memberikan jari kelingkingnya dan aku pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Malam ini menjadi malam yang panjang untuk kami berdua. Aku dan Kana banyak bercerita tentang keluarga. Lalu ketika kami sudah  ngantuk, Kana menyendarkan kepalanya di bahuku dan aku menyederkan kepalaku di atas kepalanya.
***
Suara rentetan pistol membuat aku dan Kana terbangun. Begitu juga dengan Riku, Kei dan Ken . Dengan segera Riku membuka pintu kamar dan melihat kami.
“Kalian baik-baik saja?” Tanya Riku,
“Iya” sahutku cepat. Dan tak lama kemudian terdengar pintu rumah Kana digedor dengan keras. Dan orang diluar menyuruh kami untuk membuka pintu.
“Cepat kalian semua sembunyi di kamar,” kataku sedikit berbisik agar yang diluar tidak mendengar.
\”Aku ikut,” kata Riku.
“Sebaiknya jangan. Kamu lindungi mereka” Riku, Kana, Kei dan Ken segera masuk ke kamar. Sebagai seorang prajurit melindungi seperti ini adalah hal biasa. Aku berlari kearah pintu, kemudian aku periksa siapa mereka lewat lubang pintu. Ketika melihat bajunya, aku sudah mengerti. Aku pun membuka pintu dan aku pun melihat seseorang yang sudah aku kenal sebelumnya.
“Halo, Rez.” Kataku pada seseorang yang sedang berdiri dekat pintu walaupun agak jauh.
“Kaze?” kata Rez agak terkejut. Tadinya aku mau mengusir mereka tapi ketika salah satu teman Rez memaksa untuk melihat isi didalam rumah Kana, aku pun memperbolehkan dengan terpaksa. Dan aku berdoa semoga Riku membawa Kana dan lainnya pergi menjauh dulu!
“Maafkan bawahanku yang terlalu memaksa ya.” Kata Rez sambil tersenyum, entah apa arti senyuman itu. Aku hanya mengangguk. “Kalau boleh sebenarnya aku ingin ngobrol dulu dengan Kaze, bagaimana kawan-kawan?” Tanya Rez pada teman-temannya . Tanpa disuruh mereka berlima termasuk Rez langsung duduk seenak perutnya dirumah Kana dan itu membuatku sedikit marah karena mereka pasti membawa kuman banyak! “Jadi, sekarang kamu tinggal disini? sedang cuti atau …?”
“Aku cuti.” Kataku cepat-cepat.
“Aha… Sudah kuduga, prajurit level atas sepertimu tidak mungkin dikeluarkan. Kamu tinggal dengan siapa?””
“Teman.”
“Pasti wanita.” Aku hanya menghela nafas dan Rez pun tertawa,
“Bagaimana kamu tahu aku sedang cuti?” kataku secepatnya agar beralih topik lain.
“Aku diberitahu Ketua Senu. Kau tahu? Sekarang level jabatanku sama dengan level jabatanmu! Jadi mulai sekarang aku tidak bisa jadi bawahanmu.” katanya dengan nada sombong. “Oh iya, kudengar, kamu tidak bisa mencari Kristal Diamond. Dan kamu pun menolak untuk mencari healer. Padahal kudengar Kristal Diamond tidak jauh dari sini. Kenapa kamu menolak? Padahal aku tahu sekali kamu tidak pernah menolak tugas dan selalu melaksanakannya dengan perfect!” Aku mendengarnya dengan hati panas, ingin sekali aku menonjok mulutnya agar berhenti bicara seenaknya.
“Bos, kita tidak punya waktu lagi.” Kata salah satu teman Rez.
“Yah… Sayang sekali, padahal aku masih ingin ngobrol. Nah Kaze, sekarang aku sedang melaksanakan tugas. Jadi…” Krek! Pintu kamar terbuka, aku terkejut setengah mati. Kenapa dibuka?! Dan kali aku melihat seorang gadis berkacamata, dengan rambutnya yang dikepang dua. Aku melihatnya dengan terbengong-bengong dan wajahku pun menjadi panas karena aku menyadari bahwa gadis itu adalah Kana. Rez pun melihat Kana sambil tersenyum yang entah kenapa membuatku muak. Dengan malu-malu Kana duduk disebelahku. 



“H-Halo, “ kata Kana gugup. “Aku teman Kaze,… Kudengar kalian ingin mencari Kristal Diamond. Aku tahu tempatnya, h-hanya orang tertentu yang bisa kesana…. Kaze sudah mencoba dan dia tidak bisa… Aku yakin kalian bisa…” kata Kana dengan kaku persis seperti orang sedang mengahapal. Aku yakin Kana dan lainnya merencanakan sesuatu. Tapi kenapa harus Kana? Itu membuatku was-was.
“Dia selalu gugup pada orang baru.” Kataku agar Rez tidak menaruh curiga.
“Ha ha ha… Jujur sekali cewek ini. Kamu kalah Kaze, nah cewek cantik. Ayo antarkan aku kesana.”Kata Rez dengan nada menggoda. Mendengar kata-kata Rez entah kenapa dadaku jadi panas karena amarah, bukan karena aku diremehkan. Jujur saja aku sudah terbiasa diremehkan. Atau karena Rez mengatakan cewek cantik ke Kana? Tapi Kana memang cantik kan? Kenapa aku sampai ingin marah begini. Tapi marahkah aku atau cemburu? Kana melihatku kemudian dia tersenyum. Lalu dia pergi disusul oleh Rez dan anak buahnya. Aku mengikuti mereka, saat aku sudah sampai pintu,aku melihat banyak tetangga yang berada diluar dengan wajah yang cemas, kemudian aku merasa ada seseorang yang menepuk bahuku dan dia adalah Riku.
“Jangan terburu-buru.” Kata Riku tenang, namun aku tetap merasa khawatir walaupun aku yakin Riku sudah merencanakan dengan baik. Tiba-tiba aku mendengar ada seorang laki-laki memanggilku.
“Kaze! Apa yang terjadi,”kata Sony tergopoh-gopoh dia mendekatiku.
“Aku memasukan mereka kedalam perangkap,”cetus Riku tenang. Tapi tidak dengan hatiku, aku tidak bisa diam saja disini. Aku pun berjalan cepat mengikuti mereka dan Riku akhirnya mengikutiku. Saat aku sudah sampai di pintu gua, aku melihat Kana dan rombongannya sudah di dalam gua dan mereka sedang berhenti berjalan sambil mendiskusikan sesuatu. Riku menyuruhku untuk bersembunyi dibebatuan dahulu. Dengan bantuan sihir Riku, mereka tidak bisamelihat kami bersembunyi dan mendengar omongan kami, sebaliknya kami bisa mendengar mereka bicara dengan jelas.
 “Kristalnya… ada dibalik pintu sana, maafkan aku… aku hanya bisa mengantar kalian disini saja…” Ini pasti suara Kana, pikirku. Aku mendengar sambil mengintip dari balik batu besar ini.
“Terima kasih nona! Kamu baik sekali, sebagai ucapan terima kasih…” Rez memegang rambut Kana lalu mencium rambutnya. ”Mari kita bersenang-senang dulu,” Rez dan teman-temannya tertawa liar. Kana mundur dengan ketakutan. Aku benar-benar muak melihatnya. Aku ingin sekali menghajar mereka lalu…
“Tenang Kaze,”
“Tidak !!” Aku menarik kerah baju  Riku tanpa sadar, aku merasa dadaku sesak penuh amarah. Riku memandangku dengan tenang tanpa amarah. Akhirnya aku sadar, aku tidak boleh melampiaskan pada Riku. Aku melepaskan kerahnya lalu aku berkata, “Aku tidak peduli lagi dengan rencanamu, aku yakin mencium rambut Kana bukanlah bagian dari rencanamu.” Aku segera pergi dari tempat persembunyian dan sihir Riku pun pecah. Aku berlari mendekati Kana yang tangannya sudah dipegang paksa  oleh dua diantara teman Rez. Dan saat itu Riku melihat posisinya yang kurang memungkinkan untuk melakukan penyerangan tapi Riku tidak mungkin menundanya lagi, 
 “Sekarang atau tidak sama sekali.” Dengan bergegas Riku naik ke batu besar tempat tadi dia bersembunyi, kemudian dia melafalkan mantra. Saat itu aku masih berlari mendekati Kana, aku bersiap mengeluarkan pedangku dan Rez beserta kawannya terlihat kaget  namun mereka sigap juga dengan melakukan pertahanan. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang begitu cepat di sebelah kanan dan kiriku lalu… Aku melihat ada duri besar bewarna hitam keunguan menancap didada dikelima pria tersebut lalu darah pun mengalir sedikit demi sedikit di baju besi mereka. Kana mundur sambil melihat mereka yang merintih kesakitan dan dia hampr terjatuh karena lemas. Aku pun menangkapnya dan memeluknya dengan erat.
***
Sudah dua jam  aku dan Kana mengurung diri dikamar sambil berpelukan. Aku menunduk dan Kana menenggelamkan kepalanya didadaku. Aku masih kesal dengan kejadian tadi dan sepertinya Kana juga masih syok. Aku tidak bisa berkata apa-apa, untuk menenangkannya aku hanya membelai rambutnya.
“Maaf  ya… “ kata Kana lirih setelah beberapa lama kami terdiam.
“Bukan salahmu,”
“Aku yang mengajukan diri untuk jadi umpan,” aku diam saja. Kupeluk Kana lebih erat.
“Jangan  lakukan itu lagi,” Kana  mengangguk, tiba-tiba saja aku teringat kacamata yang dipakai Kana,
“Oh iya Kana, apakah  matamu bermasalah? ” Kana melepaskan pelukannya dan memandangku dengan heran, “Kenapa tidak memakai kacamata saja?” Kana tersenyum simpul mendengar kata-kataku,
“Itu kacamata mainan pemberian Sony,” katanya sambil tertawa kecil, ah… Akhirnya bisa melihatnya tertawa kembali. ‘Lalu tadi yang mengepang rambutku  adalah Kei dan yang menyuruhku memakai kacamata adalah Ken ,”
“Kurasa aku harus berterima kasih pada mereka.” Kataku sambil tersenyum. Setelah itu kami memutuskan untuk keluar kamar. Mula-mula aku mengucapkan maaf pada Riku, berterima kasih pada Kei dan Kei lalu aku pergi ke perpustakaan untuk mengucapkan terima kasih pada Sony dan sedikit bertanya.
“Jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengucapkan terima kasih?” kata Sony sambil tersenyum geli.
“Sebenarnya aku mau bertanya sedikit. Aku yakin kamu memberikan kacamata itu ada alasannya.”
“Dasar prajurit memang harus pintar juga ya!” kata Sony sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu dia membersihkan kacamatanya dengan sapu tangan karena kotor terkena air matanya yang keluar saat tertawa. Itu membuatku sedikit gemas karena lama menunggu. “Awalnya Kana memang tertarik dengan kacamataku, lalu kuberikan saja yang mainan karena mata dia masih normal. Aku masih ingat betul kata-kataku saat aku memberikan kacamata itu ‘Nih, aku kasih kacamata mainan saja ya, aku yakin jika kamu menyamar menggunakan ini identitasmu tidak ketahuan.’ Tapi sepertinya Kana tidak mengerti dengan kata-kataku atau mungkin dia pura-pura tidak tahu.”
“Aku yakin dia tidak mengerti, dia  terlalu polos,” kataku sambil tersenyum geli, “Jadi kamu sudah tahu identitas Kana… Siapa lagi di desa ini yang tahu?”
“Semua.”
“Semua??!” pekikku kaget dan Sony hanya tertawa.
“Benar, Kana sama sekali tidak sadar ya. Dari awal kami sudah tahu asal-usulnya. Nenek Kana tinggal disini dan membuka tempat pengobatan juga. Dia sangat baik seperti Kana. Dia sendiri yang membeberkan identitas sebenarnya karena jika dia mati dia akan senang bisa bertemu suaminya dan jika hiduppun dia tetap akan menyembuhkan orang-orang. Lalu ketika orang tua Kana meninggal dan Kana tinggal disini, aku dan seluruh warga sini sangat senang, tak ada alasan untuk memusuhi Kana dan keluarganya.” Aku terharu mendengar kata-kata Sony, lalu aku sedikit membungkukkan badanku.
“Terima kasih,”
“Kami  berterima kasih juga kepada Kana,”
“Bolehkah aku mengatakannya kepada Kana?”
“Tentu saja,” kata Sony sambil tersenyum.
***
Kana menangis haru mendengar semua perkataanku sewaktu aku berbincang dengan Sony. Sambil mengusap air matanya Kana berucap pelan,
“Tapi aku tidak bisa dilindungi oleh mereka terus…”
“Apa kita akan pergi?” Tanya Ken polos.
“Tapi jika kak Kana pergi tidak ada lagi tempat pengobatan disini, “ kata Kei. Air mata Kana masih menetes, lalu Kana menghapusnya dengan tangannya.
“Kalau mereka aku ajari, aku yakin mereka dapat membuat tempat pengobatan baru.” Berpergian memang hal biasa untukku, tapi entah kenapa aku merasa enggan meninggalkan desa ini, walaupun aku yakin suatu saat aku akan kembali kesini. Apakah ini yang disebut nyaman? Kenapa rasanya berbeda ketika berada di tempat kelahiranku? Aku melihat buku besar dan tua yang berada di kantong plastik. Itu adalah pemberian Sony, aku terngiang kembali percakapanku dengan Sony saat aku pait untuk kembali kerumah Kana.
“Kenapa kamu kasih ke aku?”  tanyaku saat itu.
“Buku ini membuat perpustakaanku menjadi sempit tahu,” katanya sambil tertawa.
“Tapi …” Sony pun langsung memaksaku untuk memegang buku itu.
“Ambil saja, aku yakin kamu akan lebih membutuhkannya daripada aku.” Kata Sony dengan nada yang sangat serius dan tidak biasa dia ucapkan.
“Terima kasih…”
***
Udara dingin menusuk dan tetesan air menambah seram gua itu. Apalagi gua itu kini tidak kosong, terdapat 5 pemuda yang mati didalamnya. Namun salah satu diantara mereka  seperti berusaha bergerak namun hanya jari jemarinya yang bergerak…

VI
Penduduk desa melepas kepergian kami terutama Kana dengan sedih. Ini adalah saat yang paling berat untuk kami karena harus kehilangan tempat tinggal dan penduduk yang mau menerima kami semua apa adanya. Kana sudah menjelaskan kepada  penduduk dan Kana memberikan catatan pengobatan kepada Sony.
“Walaupun bukumu lebih lengkap, tapi catatanku mungkin akan berguna.” Kata Kana kepada Sony saat itu. Wajah Sony terlihat sedih tapi dia berusaha untuk tetap membuat Kana tersenyum dengan gombalannya. Lalu pada akhirnya Aku, Kana, Riku, Kei dan Ken pun melambaikan tangan ku pada penduduk dan desa yang sudah mempertemukanku dengan Kana.
***

Menurut informasiku dulu, Gegana menguasai 8 kota dari 15 kota bagian Selatan. Sedangkan bagian utara dikuasai bersama oleh beberapa Klan. Sehingga kota di Utara merupakan kota yang damai karena mereka selalu menghindari perang dan lebih mengutamakan bermusyawarah. Karena itulah kami memutuskan untuk pergi ke Utara untuk menghindari Gegana dan tentu saja menghindari Ketua.
“Bukan hanya itu, kota Mage juga ada di Utara.” Kata Riku.
“Kita bisa tinggal disana?” Tanya Kei polos.
“Mungkin bisa tapi susah, mereka pasti menolak kedatangan orang biasa.” Jawab Riku sambil melirik melihatku. Aku tahu kata-kata itu pasti menunjuk ke aku.
“Orang biasa juga boleh kok, yang penting ada mage atau healer yang meminta.” Kata Kana berusaha membelaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Tapi untuk sementara kita akan ke Kota Lagonda” kataku. Kami berlima berjalan melewati hutan. Hutan disini merupakan perbatasan suatu kota atau desa tapi biasanya hutan sebagai perbatasan dikota lebih ditata seperti jalannya yang sudah cukup mulus dengan sudah jarangnya batuan. Pohonnya pun tidak selebat yang sebagai perbatasan di desa. Yang lebih penting lagi biasanya terdapat warung ataupun tempat mangkal kendaraan umum yang sudah menggunakan mesin maupun dengan hewan. Kami memutuskan untuk berjalan kaki,tentu saja dengan bantuan sihir Riku dan Kana sehingga kami bisa mempercepat jalan kami tanpa rasa capek. Tapi ternyata sihir juga ada batasnya, setelah 4 jam kami berjalan Kana dan Kei sudah tidak kuat berjalan. Akhirnya kami pun naik kendaraan umum dan tepat tengah hari kami sampai di Kota Lagonda.
***

Tujuan pertama saat sampai di Kota Lagonda adalah mencari tempat penginapan yang murah. Karena dulu aku pernah ke Kota ini jadi tidak sulit bagiku untuk menemukan penginapan yang murah. Kami hanya memesan 1 kamar dengan kamar mandi, dapur tanpa kasur hanya tikar tapi cukup luas untuk kami berlima tentu saja dengan harga yang cukup murah yaitu seharga 50 gold (1 gold Rp 1000) perhari. Setelah memesan kamar, aku dan Riku memutuskan untuk mencari kerja, walaupun kami masih punya banyak tabungan tapi kita harus tetap mencari uang. Awalnya Kana menyuruh kami untuk tidak mencari kerja dulu karena baru saja sampai, tapi aku tidak mau Kana  memikirkan uang yang semakin menipis. Dan akhirnya Kana mengerti.
“Kamu mau cari kerja apa?” Tanya Riku kepadaku sambil melihat-lihat keatas gedung.
“Biasanya di papan pengumuman ada selembaran lowongan kerja…” Bruk! Tiba-tiba saja Riku menabrak seorang gadis berambut coklat yang dikepang dua dengan topi dikepalanya. Dan kardus yang dibawa gadis itu terjatuh dan beberapa kertas kecil keluar dari kardus itu.

“Maaf…” Riku segera mengambil kertas yang tercecer di jalan dan memasukkannya kembali ke kardus, akupun membantunya juga.
“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf. Aku terburu-buru sehingga tidak melihat jalan…” kata gadis itu.
“Jika ada yang bisa aku bantu…” aku belum selesai mengatakannya tetapi gadis itu sudah memandangku dengan mata berbinar-binar.

“Ikutlah denganku maka kalian bisa membantuku,” kata gadis itu riang. Dia pun berlari, aku dan Riku hanya mengikutinya dengan heran. Kami berlari mengikutinya sambil mengira-ngira apa yang akan kami lakukan. Tempat yang aku lewati makin lama makin ramai dan sampai akhirnya kami tiba disebuah tenda kecil. Gadis itu mengambil sesuatu dibalik kursi didalam tenda dan memberikannya kepadaku lalu Riku.
“Pakai topi dan rompi tiu sekarang.” Perintah gadis itu dan herannya aku dan Riku mau saja menuruti perintahnya. “Berikan karcis ini keorang yang sudah mengantre didepan. Satu karcis satu orang, jangan lupa ambil uangnya, ingat ya!” Lalu kami didorong keluar dari tenda, aku sedikit terkejut ketika diluar itu terdapat banyak orang yang mengantre sambil membawa uang digenggamannya. Dan aku pun mengerti pekerjaan apa yang harus aku lakukan.
Tiga jam karcis yang ada dikardus ludes tanpa sisa. Aku menyeka keringatku sambil berpikir, sebenarnya itu karcis apa? Kemudian aku melihat gadis itu datang mendekati kami sambil tersenyum-senyum.
“Terima kasih ya, kalian hebat. Ini uang sebagai imbalannya,” aku diberi uang oleh gadis itu sebesar 150 gold dan sepertinya Riku juga sama.
“Terima kasih… ngomong-ngomong yang tadi itu tiket apa?” tanyaku.
“Kamu tidak tahu?!” Dia terkejut kemudian tak lama kemudian dia memasang wajah cemberut. “Aku tidak menyangka, sepertinya… um…” Gadis itu melihat Riku yang berwajah datar-datar saja kemudian melihatku yang masih penasaran. “Itu… Karcis konser” kata gadis itu sambil tertawa dibuat-buat. “Konser dengan penyanyi yang sangat terkenal, aku tidak menyangka kalian begitu ketinggalan jaman.” Aku hanya tersenyum mendengar ejekannya dan Riku hanya diam saja sambil menguap.
“Penyany siapa namanya?” tanyaku lagi.
“Sena.” Katanya bersemangat.
“Oh…” tentu saja oh maksutku adalah tidak tahu.
“Sebenranya aku tidak menyangka saat aku menabrak dia, kukira kalian pura-pura tidak tahu siapa aku, ternyata kalian memang tidak tahu.” Gadis itu pun tertawa lagi.
“Kamu mengatakan itu untuk memberitahu kami kalau kamu adalah Sena kan.” Kata Riku datar.Gadis itu berhenti tertawa, seperti baru menyadari perkataanya, dia langsung menutup mulutnya.
“Benar juga ya… Hehe…” kata dia sambil menggaruk kepalanya. “Kalau begitu beritahu nama kalian biar adil!”
“Aku Kaze, dia Riku. Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya…”
“Besok kalian datang lagi kesini jam 6 pagi ya! Aku masih membutuhkan kalian!” kata Sena sambil melambaikan tangannya kearah kami.
***

Aku menceritakan semua kejadian tadi pada Kana saat aku dan Riku sudah berada di penginapan. Dengan seksama Kana mendengarkanku sambil menaruh makan malam di meja. Setelah certitaku selesai Kana pun tersenyum.
“Selamat ya kalian dapat pekerjaan,”
“Tapi hanya dua hari dan jika besok kita tetap mendapatkan uang segitu, kita berlima hanya bisa makan selama seminggu ini.” Kata Riku sambil memasukkan nasi kemulutnya.
“Makanya cari kerja lagi, jangan malas!” seru Len bersemangat. Riku pun memandangi anak itu dengan sebal.Aku pun tertawa melihatnya.
Setelah Kei dan Ken tidur , aku, Kana dan Riku berdiskusi. Kami berdiskusi tentang pembagian uang dan berapa lama lagi kami tinggal di penginapan ini. Akhirnya kami sepakat untuk tinggal 2 hari lagi dan untuk uang aku memberikan 100 gold ke Kana untuk makan selama beberapa hari, begitu juga dengan Riku.Setelah berdiskusi Kana pun tertidur, sedangkan Riku pamit untuk keluar.
“Kemana?” tanyaku sambil menaruh selimut di badan Kana.
“Ikut saja kalau kamu mau.” Karena aku penasaran, aku pun mengikuti Riku. Kota di malam hari cukup sepi dan untungnya tidak segelap di desa tempat Kana karena banyak lampu penerangan dan juga lampu-lampu toko. Aku dan Riku pun tiba di toko senjata.
“Membeli senjata? Untuk apa?” tanyaku.
“Senjataku hilang kan karena kamu.” Kata Riku bergurau, aku hanya tertawa kecil, aku jadi teringat saat aku menangkis serangan Riku kemudian sabitnya terlepas dari tangannya, sejak saat itu Riku tidak mengambilnya lagi.
“Tapi kan kamu...” Aku terdiam sejenak, kemudian aku melihat sekelilingku, ada beberapa orang di jalan, akhirnya aku tidak melanjutkan perkataanku.
“Aku tetap membutuhkannya. Memakai senjata tidak membutuhkan banyak energi.” Kata Riku seperti tahu apa yang akan aku katakan tadi. Dia pun membeli sabit besar tapi enteng menurutku dan sabit itu ujungnya bisa ditekuk sehingga jika ditutup dengan kain sabit itu terlihat seperti tongkat biasa. Riku memberikan uang 50 gold kepada penjual senjata dan aku sedikit terkejut.
“Kamu pakai uang itu hanya untuk membeli senjata?”
“Itu uangku, terserah mau aku pakai apa saja.” Aku terdiam, lalu aku dan Riku keluar dari toko. Tapi Riku tidak berjalan melewati jalan ke penginapan,
“Kemana lagi?”
“Ikut saja.” Dengan agak sebal akhirnya aku mengikuti Riku juga. Kami pun terus berjalan,ku lihat Riku menengokkan kepalanya kekanan dan kekiri, lalu dia mulai berbicara.
“Aku ini bekerja sebagai mata-mata,” bisik Riku.
“Hah?”
“Aku bekerja di kota Mage, tugasku adalah mencari penjahat kemudian aku harus menagkapnya dan dengan sihirku aku mengirimnya kekota Mage.Gajinya besar loh, 1 penjahat kacangan sekitar 250 gold. Sedangkan 1 penjahat yang sulit ditaklukan bisa mencapai 5.000 gold.” Aku terbengong-bengong. 5.000 gold itu uang yang sangaaat banyak. “Makanya aku mengajakmu kesini karena kamu pasti tertarik.” Kata Riku sambil tersenyum. Aku pun menggangguk karena itu pekerjaan yang cukup mudah dengan gaji yang menggiurkan.
“Jadi disekitar sini ada penjahat yang mau kamu tangkap?”
“Yup,”
“Kamu tahu darimana?”
“Tentu saja dengan sihir, bodoh. Aku biasanya sudah dikirim pesan sihir oleh perusahaan.”
“Oh iya, jadi selama kamu tinggal di rumah Kana, kamu juga bekerja itu?”
“Jarang sih, karena didesa tidak ada penjahat maka harus pergi kekota dulu.”
“Jadi... Sebenarnya uangmu masih banyak kan...?” kataku sambil menyipitkan mataku dan melirik kearah Riku. Riku hanya tersenyum dengan raut bersalah.
“Kamu tidak ingat? Biasanya aku disuruh Kana untuk membeli sesuatu ditoko kan? Terkadang uang dari Kana lebih banyak aku kembalikan ke Kana karena seperempatnya pakai uangku.”kata Riku membela diri. “Kalau semuanya aku yang bayar, Kana pasti curiga.”
“Iya tak apa,” kataku sambil tersenyum, “Yang penting kita harus selalu menolong Kana,Tapi... kenapa harus menyembunyikan itu dari Kana?”
“Untuk apa? Minta bantuan? Aku hanya memberitahu pada sesorang yang bisa bertarung. Aku juga takut kalau Kana melarang, memangnya kita mau makan batu? ”
“Iya aku mengerti, Kana memang seperti itu... “
 Dan sampailah kami disuatu gang buntu yang sempit dan penuh sampah, tapi didindingnya terdapat jendela yang agak tinggi, didalam jendela itu terdengar suara musik yang ajep-ajep.
“Disana ada dua orang penjahat.Kamu tahu letak titik tubuh agar orang jadi tidak bisa bergerak?” bisik Riku.
“Iya aku tahu,”
“Kalau untuk membuat orang pingsan?”
“Iya tahu,”
“Bagus, kamu memang prajurit yang handal. Gunakan itu pada mereka, sebaiknya jangan gunakan kekerasan tapi kalau mereka melawan, kamu boleh melakukannya.”
“Baik, aku mengerti.”
Lalu, Riku naik keatas jendela dengan sekali tolakan dikakinya. Dengan cepat Riku menerobos jendela sehingga kaca jendela pun pecah. Kedua penjahat itu kaget dan segera menodongkan pistol kearah Riku.
“Mau apa kamu?” Tanya seorang diantara mereka. Yang ditanya pun tersenyum licik. Kemudian Riku melepas sarung sabitnya dan munculah sabit yang yang terlihat tajam dan menyilaukan. Aku yang saat itu sedang dibelakang penjahat.langsung saja menotok punggung kedua penjahat itu sehingga mereka tidak bisa bergerak. Mereka pun terkejut dan menjerit-jerit, sayangnya mereka tidak bisa bergerak. Lalu Riku mengucapkan mantra dan mereka berdua menghilang, dan ditangan Riku muncul segepok uang.
“Gampangkan?” Tanya Riku sambil memperlihatkan uang itu kepadaku.
“Iya… Omong-omong kenapa tadi kamu sok keren bergaya seperti itu.”
“Bergaya keren itu wajar.” Riku menghitung uang tersebut, kemudian dia tersenyum. “Lihat kita dapat 600 gold.Lebih besar daripada gaji yang diberikan Sena. Ini 300 untukmu 300 untukku, adil kan? ”
“Terima kasih,” aku menerima uang itu dan memasukkannya ke kantongku. “Tapi kita tetap akan bekerja di tempat Sena kan?”
“Tentu saja, walaupun sebenarnya aku malas.”
***

“Kaze, bangun Kaze,” sayup-sayup aku mendengar suara Kana, aku berusaha membuka mataku dan kini aku melihat Kana dihadapanku. “Nanti kamu telat loh, ayo sarapan.” Kata Kana lagi, aku duduk dan mengucek mataku. Aku melihat Riku sedang sarapan dengan wajah yang mengantuk lalu aku melihat Kei dan Ken masih tertidur. Enaknya menjadi anak kecil, pikirku.Kemudian aku melihat Kana sedang mengucir rambutnya. Mata kami pun bertemu,

“Aku mau mandi, Kaze jangan tidur lagi ya…” kata Kana sambil tersenyum manis. Aku melirik ke meja makan yang diatasnya sudah terdapat beberapa makanan. Perutku jadi terasa lapar.

Setelah sarapan dan mandi, aku dan Riku pergi bekerja. Kami berjalan menuju tenda yang kemarin.Suasananya sangat ramai, ketika aku sampai ditenda itu, tempat itu sangat sesak penuh dengan orang. Aku melihat ditenda ada seorang gadis tapi bukan Sena, dia sedang merapikan kardus-kardus. Ketika gadis itu melihat kami dengan topi dan rompi, dia pun tersenyum.
“Akhirnya kalian datang, cepatlah masuk. Penonton sudah tidak sabar.” Kata gadis itu, lalu gadis itu memberikan instruksi kepada kami untuk menyobek karcis yang diberikan penonton. Tapi kita harus menyobek dengan tepat dan cepat.Yang satu bagian aku harus menaruhnnya di kardus, dan yang satunya lagi aku berikan lagi ke penonton. Pintu gerbang dibuka, berduyung-duyung penonton memasuki gerbang sambil memberikan karcis kepadaku atau Riku. Jujur saja ini pekerjaan yang memusingkan. Terkadang aku juga kasihan melihat mereka terhimpit dan diantaranya juga ada yang pingsan. Jika sudah ada yang pingsan, langsung saja aku membawanya kedalam tenda karena aku takut mereka terinjak. Sistem keamanan disini pun sangat jelek. Hanya ada sedikit penjaga, sehingga tidak semua orang yang pingsan bisa keluar dari tenda ini.
 Akhirnya pekerjaan kami selesai, entah kenapa rasanya capek dan nafas pun sesak, mungkin karena di dalam tenda aku kekurangan oksigen, ditambah cukup banyak orang yang pingsan. Aku membersihkan keringat di dahiku, lalu Riku menepuk bahuku.
“Ada orang penting datang.” Kata Riku yang sedang duduk santai dikursi, aku tidak mengerti awalnya, tapi ketika melihat siapa yang datang, aku pun terdiam. Ketua Senu dan 9 orang prajuritnya datang dengan santai. Tanpa ada rasa terkejut atau apa, Ketua memberikan !0 karcis padaku. Aku mengambilnya, merobeknya dan memberikannya ke Ketua. Lalu aku menyadari, karcis yang ketua Senua pegang adalah karcis VIP. Kulihat Ketua menyuruh prajuritnya untuk masuk duluan. Kemudian Ketua menatapku sambil tersenyum,
“Kaze, mau menolongku?” Ketua sedang merogoh saku celananya kemudian dia mengeluarkan uang 100 gold dan memberikannya kepadaku. “Tugasmu sudah selesai kan? Tolong belikan aku 1 rujak sayur dan 1 es teh ya?” Aku terdiam sejenak, aku hanya memandangnya dengan heran.
“Bukankah yang tadi kamu membawa prajurit? Kenapa tidak menyuruh mereka saja?” tanyku, sungguh aku belum pernah berkata ketus ke Ketua.
“Mereka baru pernah datang kesini, jadi aku tidak bisa menyuruh mereka.” Tiba-tiba Ketua langsung menaruh uangnya di tanganku, kemudian dia pergi sambil melambaikan tangannya. “Aku duduk di depan sendiri paling kanan.” Teriaknya. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Pikirku sambil meremas uangnya dengan gemas. Tapi kemudian aku menaruhnya di saku celanaku.
“Ada orang penting bagimu datang,”kata Riku santai tanpa bergerak dari kursinya. Aku menoleh dan aku melihat Kei, Ken dan... Kana? Alamak dia berbeda dari biasanya,dia tidak menggunakan penutup kepala seperti biasa. Kali ini rambutnya dikepang kecil dikanan dan kirinya. Sisanya dia gerai, aku suka penampilan barunya. Seperti tahu aku sedang memndang Kana, Kana menunduk malu dengan wajah memerah.
“Kak Riku... Kak Kaze...!” Seru Kei ceria, dia melompat-lompat mendekati aku dan Riku, tapi dia terus melompat-lompat sampai pintu masuk konser.
“Hei, kamu belum membeli karcis.” Kata Riku yang langsung berdiri dari duduknya kemudian mendekati Kei.
“Aku tidak bisa melihat konsernya...” Kata Kei sedih, kemudian Riku menggendongnya dan menaruh Kei di punggungnya.
“Sekarang?”
 “Iya kelihatan! Terima kasih kak!” kata Kei sambil tersenyum. Melihat senyumnya, samar-samar Riku seperti pernah melihat senyumnya, tapi siapa? Ken pun rewel minta gendong, lalu aku menyuruhnya untuk naik ke punggungku. Aku,Kei dan Ken berjalan memdekati Riku dan Kei.
 “Kaze,” panggil Kana.
“Iya?” kemudian dia mengambil seuatu dari kantong plastik yang dia bawa,ternyata itu adalah es teh.
“Kamu pasti lelah, makanya aku membelikanmu ini.” Kata Kana sambil tersenyum.
“Hei, kamu tidak boleh boros.” 
“Tenang saja, tadi aku menjual beberapa racikan obat yang aku buat. Harganya lumayan tinggi kalau dijual disini,” kata Kana sambil memberikan es teh lainya yang masih di plastik ke Riku dan memberikan permen ke Ken. Lalu es teh punyaku masih dipegang Kana, “Biar aku yang pegang es tehmu,” kata Kana sambil tersenyum simpul. Dengan agak malu-malu aku memasukkan sedotan kemulutku, lalu aku meghisap tehnya. Segar... Sambil minum, aku melihat konser Sena berjalan dengan meriah. Panggungnya tidak besar, tapi cukup bagus karena dihias dengan hiasan bunga. Aku melihat Sena, aku agak menyipitkan mataku bukan karena silau atau mataku min, tapi karena rambut Sena yang berbeda dengan waktu aku pertama kali bertemu, rambutnya kini masih dikucir 2 namun bewarna pink dan bergelombang. Untuk baju dan hiasannya sih... agak aneh tapi memang pas dengan tema panggung. Rambutnya dikucir dengan jepit yang kanan berbentuk kupu-kupu dan yang kiri berbentuk bunga. Bagaimana kalau Kana yang memakai baju seperti itu ya? Aku melirik ke arah Kana yang dengan sabar menunggu aku meminum tehku dan aku mulai berpikir yang macam-macam. Tidak sepertiku, Kei dan Riku justru begitu serius melihat konser itu. Bukan menikmati, tapi mereka merasa bahwa konser itu bukan sekedar konser.


Ketika aku melihat es teh yang aku minum, aku jadi teringat pesanan Ketua. Aku melepas sedotan yang ada dimulutku, lalu aku menurunkan Ken yang ada dipunggungku, kemudian aku minta ijin ke Kana,
“Kana, aku beli rujak dulu ya, tadi ada yang minta tolong untuk dibelikan.”Aku langsung lari walaupun aku yakin Kana pasti mau bertanya lebih lanjut. Kana memandangku yang sudah berlalu dengan heran. Lalu dia bertanya kepada Riku.
“Kamu tahu Kaze beli rujak buat siapa?”
“Seorang laki-laki yang bersama 9 prajurit.” Jawab Riku tanpa mengalihkan perhatiannya pada konser itu.
“Siapa dia?” tanya Kana penasaran.
“Aku juga tidak tahu, yang pasti tingkahnya dia seorang yang dihormati.” Kana terdiam, dia mencoba berpikir. Siapa orang yang dihormati Kaze? Ibunya? Ibu Kaze pastilah perempuan dan dia sudah meninggal. Ayah? Kaze tidak punya. Teman? Tapi bukankah Kaze adalah prajurit tertinggi, pasti mereka yang menghormati Kaze. Ataukah...?  Kana menundukan kepalanya dengan lesu. 15 menit berselang, aku sudah membeli rujak dan es teh. Aku langsung berlari menuju tempat duduk Ketua, aku melihat Ketua tersenyum padaku. Aku memberikan pesanannya dan uang kembalian. Tapi saat aku mau mengembalikan uang 80 gold yang aku pegang, Ketua menolak dengan halus.
“Untukmu,” aku diam saja. Sambil sedikit membungkuk aku langsung keluar dari tempat penonton. Aku berjalan kearah pintu masuk, yang aku lihat sekarang hanya ada Riku disana.
“Loh mana Kana, Kei dan Ken?” tanyaku kepadanya.
“Pulang.” Jawab Riku singkat sambil masih terus melihat konser itu. Aku sedikit kecewa, padahal aku yakin tadi masih melihat Kana saat aku sudah kembali kesini, lalu aku melihat Riku lagi.
“Hei!” Aku menepuk tanganku didepan mata Kaze, dan dia pun terkejut.
“Apa?” katanya gusar,
“Serius sekali. Naksir ya?”tanyaku sambil tersenyum nakal. Kulihat wajah Riku sedikit memerah dan dia kaget dengan pertanyaanku.
“Engga! Lagipula dia masih bocah! Aku serius melihat konser itu karena aku merasa ada yang janggal dengan konser itu!” Bentak Riku, untungnya suaranya tetap kalah dengan suara lagu dan nyanyian Sena. Lalu aku melihat gadis yang aku temui tadi pagi datang menghampiri kami.
 “Terima kasih ya atas bantuan kalian sudah membantu terselenggaranya konser ini. Nah ini untuk kalian.” Gadis itu memberikan uang 150 gold untukku dan 150 gold untuk Riku. “Silahkan menikmati acaranya,” katanya sambil tersenyum lalu dia pergi. Aku dan Riku pun memutuskan untuk pulang.
“Tidak pamit dulu dengan Sena?” tanyaku menggoda Riku saat kami sedang berjalan ke penginapan.
“Tidak perlu.” Kata Riku sambil membuang mukanya dariku, aku tertawa ngakak melihatnya. Kami sampai di penginapan,disana aku melihat ibu penjaga penginapan sedang duduk di kursi dekat tempat check in dan check out. Aku jadi kepikiran untuk membayar sewa ruangan hari ini. Aku mendekati Ibu penginapan, aku mengeluarkan uang yang diberi Ketua tadi, saat aku akan membayarnya, aku melihat ada tangan yang juga sedang memegang uang mendahuluiku untuk membayar.Aku merasa tidak asing dengan tangan yang halus itu, saat aku melihatnya ternyata dia memang Kana.
 “Hai Kana,” sapaku sambil tersenyum. “Biar aku saja yang...”
“Jangan,” katanya pelan, walaupun pelan tetap saja Ibu penginapan dan Riku melihat kami berdua dengan terkejut.
“Aku tadi sudah dapat gaji, jadi aku saja...”
“Aku tidak mau menggunakan uang dari orang yang sudah mengincar ‘barang berharga’ itu.” Aku pun terhenyak, Kana mengetahuinya! Aku melirik kearah Riku dan saat Riku sudah membalikkan badannya! “Aku mengetahuinya sendiri,” kata Kana seperti sedang membela Riku. “Kembalikan uang itu atau kamu buang saja, tapi jangan gunakan untuk membayar yang berhubungan denganku.” Kana langsung pergi meninggalkanku. Aku memutuskan untuk tidak pulang malam ini, bukan karena aku tidak mau bertemu Kana, tapi karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan kepadanya. Aku memang bodoh, kenapa aku mau saja menerima suruhan Ketua. Riku pun ikut denganku, dia merasa dialah penyebab pertengkaran ini. Aku sendiri sudah memaafkan Riku, dia sendiri tidak tahu apa-apa mengenai itu. Lalu untuk menghabiskan malam ini pertama aku membeli baju dan celana baru, baju yang aku pakai ini pemberian Ketua, sudah seharusnya aku menggantinya.. Baju yang aku beli bewarna hitam begitu juga dengan celananya. Harga semuanya 120 gold. Kemudian aku mencari tempat penginapan Ketua, gampang saja aku menemukannya karena prajurit disana banyak yang mengenaliku. Dan sampailah aku di tempat Ketua,
“Senang melihatmu Kaze, rujak yang tadi kamu beli enak sekali dan juga es tehnya...” Aku mengeluarkan sekantung plastik yang berisi uang 480 gold. Itu semua adalah uang yang diberikan Ketua sewaktu aku ditugaskan mencari kristal ditambah uang yang tadi siang. Ketua memandangku dengan heran, “Apa itu?”
“Semua uang pemberianmu.” Aku menaruhnya didepan pintu, lalu aku mebalikan badanku, “ aku keluar dari Gegana dan tidak akan kembali.” Kataku tegas tidak bisa ditawar lagi, saat aku akan membuka pintu, sebilah pedang dengan cepat menancap di pintu. Kulihat Ketua sekarang sudah berada didekatku sambil membawa pedang itu. 
“Apa sebenarnya mau mu?” kata Ketua dengan nada marah, baru kali ini aku melihat Ketua Senu yang selalu lembut berkata dengan nada sedemikian. Tapi aku tidak takut, aku sudah memilih jalanku, tidak ada seorang pun yang bisa menghentikanku.
 Kamu menginginkan Kristal Diamond untuk perbuatan yang tidak-tidak, begitu juga dengan para healer. Seharusnya Kristal dan healer itu dilindungi… bukan untuk diburu dimanfaatkan seenaknya!” Bentakku sambil memukul pintu. Ketua memandangku dengan kaget. Aku pun membuka pintu dengan kasar, tanpa menoleh aku berucap,”selamat tinggal.”
***

Malam ini aku bekerja dengan keras seperti akan menghukum badanku sendiri. Aku mengalahkan beberapa penjahat kacangan dengan Riku dan kita berdua mendapatkan 1450 gold. Tapi aku ingin sekali mengalahkan penjahat kuat yang ada di kota ini, tapi Riku selalu saja mencegahku.
“Untuk apa mengalahkan 1 penjahat yang kita bisa saja dibunuh olehnya, bukankah lebih baik mengalahkan 20 penjahat kacangan tapi kita baik-baik saja?” kata Riku ketika untuk kesekian kalinya aku meminta Riku menunjukan penjahat terkuat dikota ini.
“Tapi aku ingin mengalahkannya!” kataku sengit.
“Kita berdua saja belum tentu bisa mengalahkannya.”
“Aku sendirian cukup,” dengan cepat pukulan Riku mendarat ke pipiku. Aku tersungkur ke tanah, pipiku menjadi panas dan sedikit sakit. Riku merenggut kerah bajuku dan memandangku dengan marah.
“Kamu hanya ingin melukai dirimu sendiri! Apa kamu ingin membuat Kana lebih sedih lagi?!” bentak Riku, aku diam saja. Memang itu yang aku inginkan, melukai diri sendiri karena diriku hanya bisa membuat Kana sedih. Tapi memang benar jika aku melakukan itu, Kana pasti akan lebih sedih lagi. Riku melepas kerah bajuku dan aku tertunduk lemas sambil menundukan kepalaku.
“5000 gold...” gumamku,
“ha?”
“Aku mau kembali ke penginapan jika aku mendapatkan 5000 gold lagi... Terserah kamu memilih penjahat level apa, yang penting aku bisa memberi Kana 5000 gold...” Aku mengangkat wajahku melihat Riku, kulihat Riku tersenyum dan dia menarik tanganku untuk berdiri. Akhirnya aku memulai pekerjaanku kembali. Riku memilih penjahat level menengah. Memang cukup sulit apalagi jika penjahatnya lebih dari 1, badanku pun semakin penuh luka walaupun lukanya tidak parah.Dan tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi dan aku pribadi berhasil mendapatkan 6500 gold.
Suasana penginapan saat pagi cukup sepi, hanya beberapa orang yang keluar masuk kamar. Aku dan Riku berjalan mendekati kamar kami, aku sampai di depan kamar lalu aku mebuka pintu. Entah kenapa aku merasa deg-degan dan benar saja disana ada Kana yang sedang... Aku merasa terharu melihatnya. Kana sedang tertidur di meja makan, aku melihat ada beberapa makanan juga di meja. Beberapa makanan itu masih utuh, mungkin Kei dan Ken tidak mau memakannya. Aku yakin makanan itu sisa tadi malam, karena saat aku pegang makanan itu sudah dingin. Aku melihat Riku mengambil makan dan dengan kodenya jarinya yang menujuk ke luar dia mengatakan, “Aku akan makan diluar.” Aku hanya tersenyum. Aku duduk disebelah Kana , mungkin dia merasa ada seseorang yang duduk disampingnya kemudian dia menjadi terbangun, dia langsung terkejut melihatku.
“Kaze...” kata Kana dengan mata berkaca-kaca, dia memandangku terutama bajuku yang robek dan beberapa luka kecil di wajahku. “Kaze, kamu kenapa?” kata Kana agak panik, dia lalu melihat makanan yang tersaji di meja. “Maaf makanannya belum aku hangatkan, aku akan...” saat Kana akan mengambil piring, aku lebih dahulu memegang tangannya. Aku memandangnya denga perasaan bersalah.
“Maafkan aku... Aku sudah mengembalikan uang milik Ketua. Aku juga bekerja sampai larut malam agar bisa mendapatkan uang lebih.” Aku mengangkat kantung plastik berisi uang yang ada disebelahku. “Lihat, aku dapat 6500 gold,“ kataku sambil tersenyum tersenyum.
“Dan penuh luka.” Mata Kana mengeluarkan air mata, dia mulai menangis. “Aku... Aku seharusnya... Tidak memarahimu... Membuatmu j-jadi terluka... M-Maaf... Maafkan aku...” Aku memluk Kana, mataku pun mulai berkaca-kaca.
“Seharusnya aku memberitahumu dulu sehingga tidak membuatmu sampai tertidur di meja makan.” Aku membiarkan air mata Kana membasahi bajuku. Aku mencium rambut Kana kemudian membelainya dengan lembut. 
 “Ayo makan dulu, “ kataku sambil melepas pelukanku dan membersihkan air mata Kana, Kana pun tersenyum.
***


VII

Keesokan harinya kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan menuju ke kota Mage. Setelah membereskan seluruh barang, kami semua berjalan kaki menuju perbatasan. Rencana kami setelah kami sampai perbatasan barulah kami menggunakan kendaraan umum. Sayangnya ada sesuatu terjadi, saat kami semua sedang berjalan, Aku melihat wajah Kana yang agak pucat
             “Kana, kamu sakit?” tanyaku cemas.
             “Eh… Tidak kok… “ Kata Kana agak gugup.
            “Tapi wajahmu pucat,” aku yakin Kana menyembunyikan sesuatu.
            “Mungkin kak Kana haus?” Tanya Ken.
             “Udaranya panas sih, “ kata Kei.
          “Duduk dulu di sana,“ kata Riku sambil menunjuk sebuah rumah kosong yang agak kotor dengan koran-koran yang berserakan di tanah. Aku menuntun Kana dari samping, kemudian aku mebantunya untuk duduk.
             “Maaf ya... aku jadi menghambat perjalanan...”
“Kamu ngomong apa sih, tentu saja tidak. Jangan memaksakan diri, kalu sakit ya bilang saja.” Kataku sambil mengipasi Kana. 
              “Sebaiknya aku beli minum dulu, sekalian untuk stok perjalanan.” Kata Riku sambil membalikan badannya untuk pergi, namun saat Riku hendak berjalan, dia keget karena melihat ada seorang gadis yang agak jauh dari kami sedang menarik tas yang sedang dipegang oleh pemuda disebelahnya. Mereka terlihat sedang memperebutkan tas tersebut, lalu ada seorang pemuda lagi yang menarik perempuan itu dengan kasar hingga terjatuh dan kedua pemuda tersebut lari meningglkannya. Bergegas Riku lari kearah mereka, saat aku juga akan kesana, Riku mencegahku. 
           “Kamu jaga sini saja,” katanya agak keras. Jadilah aku hanya memandangi mereka walaupun aku juga ingin membantu Riku. Terlihat gadis itu berusaha untuk bangun, lalu dari tangannya muncul tali dan dia melemparkan ke pemuda yang tadi membuatnya terjatuh. Tali itu menjerat kaki pemuda itu, dan membuat dia agak sulit untuk berlari. Dengan cekatan gadis itu menarik tali tersebut sambil bernyanyi 1 lirik lagu lalu munculah petir dari tali yang dipegang gadis itu menyalur sampai tali yang ada di kaki pemuda itu. Pemuda itu menjerit kesakitan dan akhirnya pingsan. Aku melongo melihatnya, jangan-jangan gadis itu... Sedangkan pemuda yang memgang tas melihat kebelakang dengan wajah ketakutan. Lalu dia terjatuh karena dia merasa didepannya ada sesuatu, saat melihat kedepan Riku sudah tegak dihadapannya. Riku menotok bagian bahu pemuda itu kemudian dia pingsan, Riku pun mengambil tas yang dipegang pemuda itu. Saat Riku akan mengembalikan tas kepada gadis, Riku terpetanjat karena gadis itu adalah
“Sena?” kata Riku dengan nada yang teramat terkejut.
“Riku?” kata Sena sama kagetnya, “Sedang apa kamu disini?”
“Harusnya aku dulu yang berkata seperti itu,” jwab Riku sambil memberikan tas pada Sena.
“Terima kasih ya! Tas ini isinya berharga sekali,“ kata Sena sambil memeluk tasnya dan tersenyum. “Mereka ini merepotkan sekali, apa aku harus meninggalkan mereka disini biar jadi daging panggang?”
“Serahkan padaku,” Riku mengucapkan mantra, dan kedua pemuda yang pingsan itu menghilang. Betapa kagetnya Sena kemudian,
“I-itu k-kamu m-ma-mage?” Tanya Sena gelagapan.
“iya,”
“Hebat!!!” teriak Sena sambil berjingkratan.
“Bukannya kamu sendiri juga,”
“Kalau aku adalah sorcerer,” kata Sena sambil tersenyum.
“Nah kamu lebih hebat dari aku,”
“Kata siapa Sorcerer lebih tinggi dari mage? Sekarang ini jaman sudah maju. Untuk menjadi mage itu sekarang tidak sulit.” Riku mendengarnya sambil melongo, sedangkan Sena menjentikan jarinya. “Aku juga tidak perlu mengucapkan mantra untuk mengeluarkan sihir, tapi aku mengganti mantra itu dengan nyanyian agar lebih mudah ingat.”
“Aku tidak tahu mengenai pendidikan sihir sekarang.”
“Tentu saja! Kamu kuno sih,” kata Sena lalu tertawa terbahak-bahak.
“Ternyata penyihir sekarang lebih malas karena tidak mau menghafal mantra.” Kata Riku tak mau kalah, Sena cemberut.
“U-uh kamu menyebalkan.”
“Kamu sudah aman sekarang, teman-temanku sudah pada menunggu. Aku duluan ya,” kata Riku sambil melambaikan tangannya ke Sena, tapi Sena mencegahnya.
“Aku mau kenalan dengan temanmu. Apa Kaze juga ada di sana?”
 Aku melihat Sena dan Riku berjalan mendekatiku, aku melambaikan tanganku pada mereka berdua.
“Sena rupanya, kamu tidak apa-apa kan?” sapaku.
“Aku baik-baik saja.” Kata Sena sambil tersenyum, kulihat Sena melongok ke arah belakangku, sepertinya dia melihat Kei, Ken dan Kana dengan sangat seksama. Kemudian dia kembali melihatku sambil menyipitkan matanya. “Jadi, dia istri dan anak-anakmu?” Aku terbelalak mendengarnya, ngomong apa sih dia.
“Dia bukan istriku, dan juga bukan anakku. Aku belum punya istri dan anak! Yang gadis bernama Kana, dia temanku. Dan yang kembar itu Kei dan Ken, mereka semua temanku.” Kataku menahan malu,
“Hoo… Teman? Tapi sepertinya pacarmu sedang memikirkan sesuatu.”
“Aku belum pacaran dengan Kana, Kana katakanlah sesuatu.” Kataku sambil menoleh ke arah Kana. . Kana diam saja sambil melihat selembar koran yang ada di tangannya. Kei dan Ken juga tidak memperhatikan kedatangan Sena. Mereka seperti sedang menghibur Kana, aku jadi khawatir.
“Kana kenapa?” tanyaku kepada entah Kei, Ken atau Kana tapi mereka semua diam saja. Hanya Ken yang menoleh ke arahku sambil memberikan selembar koran yang persis seperti dipegang Kana. Aku melihatnya dan aku sangat terkejut dengan isi di dalamnya. DESA DIBAKAR TIDAK ADA YANG SELAMAT dan desa itu adalah Desa tempat Kana tinggal, desa yang baru 4 hari kami tinggal. Aku melihat Kana yang masih mematung dengan kondisi yang sama, aku langsung menyambar selembar koran yang ada ditangan Kana dan aku mengangkat wajah Kana. Tetes air mata menyentuh lembut ke telapak tanganku, tatapan mata Kana kosong namun matanya tak hentinya mengeluarkan air mata. Aku tidak mampu untuk berkata, aku sedih mengetahui desa itu dibakar tapi aku lebih sedih lagi karena melihat Kana begini, aku tidak bisa melakukan apa-apa lalu aku memeluk Kana dengan erat.
“Kaze…” kata Kana lirih hampr tidak terdengar. 
“Iya Kana?” kataku sambil membersihkan air mata Kana.
“Tolong… Bawa aku kesana…”
“Tapi Kana, kamu”
“Kumohon…” Kana mengiba padaku dan matanya mulai berair lagi, aku tidak bisa menolaknya lagi.
***
Aku terus memegang tangan Kana saat kami semua termasuk Sena datang ke desa ini. Kami kembali ke desa ini dengan menggunakan kendaraan sehingga tidak membutuhkan waktu lama, tidak selama waktu kami berangkat ke kota. Kembalinya aku ke desa ini membuatku sangat sedih, tidak ada lagi desa yang indah, bersih,tentram kini desa itu hanya menyisakan puing-puing rumah dan mayat. Sebenarnya aku sudah biasa melihat desa atau kota sehabis perang atau sehabis dibakar. Rumah hangus dan banyak mayat, tapi ketika melihat desa ini, desa yang penuh dengan warga-warga yang sangat baik denganku terutama ke Kana kini hancur. Hatiku sangat perih dan sedih. Aku terus menggenggam erat tangan Kana sambil mengikuti Kana. Kana berjalan sambil melihat sekelilingnya, dan sampailah aku dan Kana di depan perpustakaan. Bangunannya masih kokoh berdiri walaupun ada beberapa bagian yang sudah rusak. Aku melihat ada mayat yang terlungkup didepan pintu perpustakaan. Aku menahan nafas ketika melihatnya, lalu Kana melepas tanganku dan mendekat ke arah mayat Sony. Aku mengikuti Kana, ku lihat Kana duduk di samping Sony dan tetes demi tetes air mata mengalir jatuh ke tangan Sony. Mataku mulai panas melihatnya, aku sedih melihat Kana. Lalu mataku tertuju pada selembar kain bewarna merah dengan gambar cahaya kuning putih di tengahnya. Itu adalah bendera Gegana, aku merasa sangat marah melihatnya langsung saja aku menginjaknya. Tiba-tiba Kana menjerit, aku dan yang lainnya terkejut karena Kana belum pernah seperti ini sebelumnya. Aku berusaha menenangkannya tapi Kana malah memukulku. Akhirnya aku memeluknya agar dia diam, tapi usahaku sia-sia, Kana malah meronta dan berusaha melepas pelukanku.
“Kana tenanglah,” kataku sambil menahan rontaan Kana. Sayangnya Kana seperti tidak mendengarku, dia terus menangis, menjerit dan meronta.
“Kaze, totok Kana.” Kata Riku, 
“Tidak perlu,” jawabku, lalu aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku dan Kana terjatuh dengan posisi aku dibawah, rasanya cukup sakit. Aku merintih kesakitan, aku merasa tangan Kana menyentuh pipiku, ketika aku melihatnya, Kana sedang memandangku dengan sedih.
“Maaf...” katanya pilu,
“Kamu tidak perlu minta maaf lagi.” Kataku sambil tersenyum.
***


Kami memutuskan untuk secepatnya pergi ke Utara dengan menggunakan mobil sewa,
“Ke utara itu mau ke kota mana?” tanya Sena yang entah kenapa dia jadi mengikuti kami, walaupun begitu dia cukup berguna karena selalu menghibur Kana ketika Kana terlihat sedih atau mengajaknya bicara ketika Kana melamun.
“Kota Mage kan, Riku?” tanyaku kepada Riku yang sedang mengendarai mobil.
“Haaa... Untuk apa ke sana? Di sana membosankan!” kata Sena,
“Kami tidak minta pendapatmu, omong-omong kenapa kamu mengikuti kami terus,” kata Riku jutek.
“Kana suka bunga kan? Kita ke Kota Limaran saja? Di sana banyaaaak sekali bunga, hampir semua bunga ada di sana!” kata Sena tanpa menggubris omongan Riku.
“Aku suka bunga.” Kata Kana berusaha tersenyum,
“:Nah ayo kita ke kota Limaran!” kata Sena bersemangat sambil bersorak disambut Kei dan Ken, aku pun ikut bersorak dan Riku hanya ngedumel.
***

Menuju Kota Limaran membutuhkan waktu 3 hari, cukup melelahkan tapi menyenangkan. Aku merasa hubunganku dengan Kana jauh lebih intim dari sebelumnya, aku selalu disamping Kana di saat Kana sedih maupun senang. Dan aku pun merasa hubungan Riku dan Sena semakin akrab walaupun mereka lebih sering saling mengejek daripada memuji. Kami berhenti di Kota Limaran tepatnya di gerbang kota. Penjaga gerbang dengan sigap mengecek apakah ada barang yang mencurigakan atau tidak. Aku dan Kana keluar dari mobil, udara luar sangat segar ditambah dengan udara sepoi-sepoi.
“Kaze, lihat di sana!” Seru Kana sambil menunjuk taman bunga yang tidak jauh dari tempat kami berada. Kana menarik tanganku dan aku mengikuti Kana.
“Mau kemana?” Tanya Ken pada kami,
“Ke taman bunga, kalau sudah selesai kalian ikut kesana juga ya.” Kata Kana. Akhirnya kami berdua sampai di taman bunga yang sangat luas, taman ini berisi banyak sekali macam-macam bunga. Kana bersorak gembira, aku senang melihat Kana kembali bersemangat. Aku memegang pundak Kana, aku ingin kita selalu bersama dan bahagia. Tak lama kemudian  Riku, Kei, Ken dan Sena datang ke taman ini. Ken dan Kei saling berlarian, Sena dan Riku menkmati udara segar yang menyerbak di taman ini.
“Uh… Aku iri melihat Kaze dan Kana,” kata Sena.
“Kenapa?” Tanya Riku sambil menguap.
“Mereka sangat mesra! apa kamu selama ini tidak merasa iri? Kamu lebih lama bersama mereka daripada aku kan, apa kamu tidak merasa?”
“Biasa saja.”
“Apa kamu tidak ingin seperti mereka?” Tanya Sena agak malu dan wajahnya menjadi agak merah.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku dulu pernah seperti itu, tapi sekarang aku sudah putus.” Hei aku duluan yang tanya!”
“Aku belum pernah merasakan, saat aku akan merasakan aku malah sudah tidak bisa menggapainya lagi. “ kata Riku datar. Sena diam setelahnya, tapi diam-diam terus memperhatikan wajah Riku. Riku yang merasa di perhatikan berusaha untuk tidak bertemu mata dengan Sena, entah kenapa Riku merasa wajahnya agak panas.
Setelah puas melihat bunga, kami memutuskan untuk menginap di sebuah apartemen karena aku berpikir di kota ini cukup damai dan yang pasti Kana menyukai tempat ini.
“Aku ingin tinggal disini paling tidak sebulan,” kata Kana kepadaku, aku pun menyanggupi. Dan kami memilih apartemen yang murah tapi juga cukup untuk kami berenam, harganya 800 gold perbulan. Setelah itu Aku membantu menaruh bawaan kami ke apartemen. Sambil mengambil barang dari mobil, aku melihat selembaran lowongan kerja di depan pintu apartemen, ada banyak lowongan kerja di tulis di sana, sayangnya aku tidak boleh mengambil selembaran itu, setelah aku menaruh semua barang dari mobil ke apartemen, aku menanyakan hal itu pada Kana. Aku dan Kana segera melihat selembaran itu, Kana melihat dengan bersemangat dengan cepat dia menunjuk pada suatu pekerjaan yang sama sekali tidak ada di pikiranku,
“Ayo kita jadi guru.” Kata Kana sambil tersenyum,
“Tapi aku belum pernah...”
“Kamu cukup dekat dengan Kei dan Ken kan? Ayo kita coba dulu, lagipula di sini di tuliskan membutuhkan 2 orang guru pengganti, 1 guru kesenian dan 1 guru olahraga. Aku yakin kamu bisa menjadi guru olahraga.” Kata Kana menyela perkataanku. “Aku juga ingin bekerja bareng denganmu...” lanjut Kana sambil menunduk, aku tersenyum simpul. Akhirnya aku menyerah juga.
“Baik, ayo kita coba besok.”dan pada malam hari setelah makan malam kami semua mendiskusikan tentang pekerjaan yang akan kami lakukan di kota ini.
“Aku sudah di terima sebagai penjaga toko bunga dan aksesoris lalu malamnya aku akan menyanyi di sebuah restoran.“ Kata Sena bersemangat.
“Aku sebagai penjaga gerbang.” Kata Riku,
“Sangat pas untuk Riku,” kata Ken disambut oleh Sena lalu Riku menjewer mereka semua dengan gemas.
“Kalian berdua juga cocok jadi guru,” kata Kei menimpali. “Tapi kita mungkin akan jarang berkumpul karena sibuk ya...” lanjut Kei sedih. Aku juga berpikir begitu. Riku dan Sena bisa bekerja hingga malam sedangkan aku dan Kana bekerja di siang hari, mungkin agak sulit bagi kami membagi waktu untuk berkumpul bersama.  
“Tenang saja Kei, Minggu tokonya tutup jadi aku bisa bermain bersamamu.” Kata Sena berusaha menyemangati Kei begitu juga aku, Kana, Riku dan Ken.
“Kami tetap akan berusaha membuat waktu kosong untuk berkumpul, jadi tenang saja” kataku sambil tersenyum.
***

Jam 6.30 aku dan Kana sampai di SMP Limaran 1, di sinilah Sekolah yang membutuhkan guru. Jujur saja aku sedikit nervous karena ini pertama kalinya  aku mendaftar jadi guru. Kana menggandeng tanganku dengan lembut, dan itu membuatku sedikit santai. Kami berjalan melihat-lihat gedung lalu aku melihat suatu ruangan yang di atasnya tertulis “Ruang Guru.”. Kami pun memutuskan untuk memasuki ruang itu, aku membuka pintunya,
                  “Selamat pagi,” kataku. Aku melihat seisi ruangan ini dengan seksama, tempatnya agak kecil, dengan sekitar 10 lebih meja dengan kursinya, di mejanya penuh dengan buku dan kertas,dan di sana hanya ada beberapa guru yang sudah sampai di sekolah.
                 “Pagi, ada apa ya?” kata lelaki tua setengah baya padaku.
                 “Kami mau mendaftar menjadi guru, tempatnya di mana ya?”kata Kana.
                 “Oh…” tampak wajah lelaki itu berubah menjadi cerah, “Ibu Eva, ada yang mau mendaftar menjadi guru!” kata lelaki itu bersemangat kepada ibu gendut yang agak jauh dari tempat kami. Ibu yang dipanggil Ibu Eva itu langsung datang dengan tergopoh-gopoh.
                 “Halo, saya adalah Ibu Eva. Kepala sekolah di sini, saya senang akhirnya ada yang mau mendaftar menjadi guru di sini.”
                 “Saya Kaze, dia Kana. Kami berdua ingin menjadi guru pengganti.”
                 “Sepertinya masih ada seragam guru sisa, pak tolong berikan seragam guru yang ada di kardus di gudang.”
                 “Baik bu,” kata lelaki tadi dan dia langsung pergi.
                “Maaf ya tunggu sebentar, silahkan kalian berdua duduk dulu.” Ibu Eva pergi dengan tergopoh-gopoh lagi. Aku dan Kana saling berpandangan. Tak lama kemudian, pak tua tadi datang dengan membawa 2 kantong plastik transparan dengan baju di dalamnya.
“Yang ini buat mbak Kana yang ini buat mas Kaze, silahkan di coba. Oh iya di sana ada wc. Ganti di sana ya.” Kata pak tua itu sambil menunjuk ke arah wc. Aku dan Kana menuju ke sana tentu saja dengan wc yang berbeda. Aku mengganti bajuku dengan segera. Setelah memakainya, aku merasa baju ini sangat pas untukku, tidak kekecilan dan tidak kebesaran. Aku keluar dari wc lalu aku menunggu Kana yang belum selesai ganti baju, tak lama kemudian Kana muncul dengan seragam gurunya. Aku terpana sesaat.
“Bagaimana?” Tanya Kana malu-malu. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol.
“Kamu pakai baju apa saja terlihat bagus.” Pujiku, Kana menundukan kepalanya tersipu malu.
“Kamu juga cocok,”kata Kana memandangku dengan wajahnya yang kemerahan, aku jadi malu di buatnya. Kemudian, aku dan Kana kembali ke ruang guru, saat kami sudah sampai sana, Ibu Eva muncul dengan 2 orang guru wanita yang satu masih muda dan  yang sudah agak tua.
“Saya Neta,” kata guru yang agak tua, “saya guru olahraga, saya akan membimbing anda yang mau menjadi guru olahraga hari ini.”
“Saya Eli,” kata guru yang muda, “saya guru biologi, saya akan membantu membimbing guru kesenian.”
“Nah selamat bekerja ya!” kata Ibu Eva bersemangat.
 Aku dan Ibu Neta pergi ke lapangan, sedangkan Kana dan Ibu Eli ke ruang kesenian. Ibu Neta memberikan informasi yang cukup berguna untukku, dia juga menceritakan tentang guru olahraga yang lama. 
“Dia sangat tekun dalam mengajar muridnya, kemudian dia cuti untuk bulan madu dengan istrinya. Saya tidak bisa megajar semua kelas di sekolah ini, sebenarnya sekolah ini juga kekurangan guru, mungkin kamu bisa menjadi guru tetap di sini.” Aku hanya tersenyum mendengarnya,
“Kalau guru tetap… Mungkin aku harus berdiskusi dulu dengan Kana,” jawabku.
“Oh iya, aku jadi ingat, guru olahraga itu istrinya adalah guru kesenian, kalian benar-benar pasangan yang mirip.”
“Tapi aku belum menikahi Kana,” kami berdua pun tertawa, lalu tibalah saatnya untuk aku mengajar. Aku mengajar kelas 1 SMP, kemudian aku memperkenalkan diriku kepada muridku. Saat aku sedang memperkenalkan diriku, aku mendengar beberapa murid perempuan berbisik-bisik mengenaiku,
“Uwa… Ganteng ya,” kata salah satu murid perempuan yang membicarakanku, aku hanya tertawa dalam hati. Kemudian aku mulai mengajar, aku hanya sebentar berbicara di depan mereka karena lebih banyak praktik.
“Kerjamu lumayan, kamu sudah bisa tanpa harus di tunggu. Aku tinggal ya, kalau ada apa-apa tanya saja.” Ibu Neta menepuk punggungku kemudian dia berlalu. Pelajaran kali ini adalah lompat tinggi, untuk yang murid laki-laki mereka hampir semuanya bisa melakukannya, tapi ketika murid perempuan banyak yang merenggek padaku,
“Pak, aku gak bisa.” Kata salah satu murid perempuan di sambut oleh temannya yang lain,
“Sebisamu saja,” tapi dia terus merenggek untuk tidak melakukan lompat tinggi, untungnya saat itu Ibu Neta datang dan aku pun lega.
Bel istirahat berbunyi, aku pergi menuju kantin sekolah. Bukan tanpa alas an aku kesana tapi karena akusudah berjanji dengan Kana untuk menemuinya di sana. Aku duduk di kursi paling pojok sambil melamun, lalu ada 3 murid perempuan yang tadi aku ajar mendekat ke arahku, salah satunya adalah yang tadi merenggek kepadaku saat olahraga. Entah kenapa aku melihat mereka jadi teringat 3 teman Kana yang ada di desa…
“Pak Kaze, sendirian?” katanya sambil tersenyum, sedangkan 2 temannya tertawa-tertawa kecil di belakangnya. Tiba-tiba aku melihat Kana yang tidak jauh dariku seperti sedang mencari sesuatu, mungkin dia mencariku,
“Kana! Aku di sini!” Seruku sambil melambaikan tangan padanya, Kana pun mendengarku dan dia berlari sambil tersenyum ke arahku. Ketiga muridku terutama yang tadi merenggek sedikit terkejut karena seruanku dan kedatangan Kana, kemudian murid yang tadi merenggek tersenyum kikuk padaku,
“Kami duluan ya, pak.” Katanya, lalu mereka langsung ngacir. Kana melihat ketiga murid itu dan murid yang satu pun melihat Kana dengan kikuk.
“Muridmu?” Tanya Kana.
“Iya, kalaun kamu telat sedikit saja pasti aku sudah di rebut.” Godaku ke Kana. Kana hanya cemberut. Aku tertawa melihatnya, “Maaf maaf, sini duduk,” kataku sambil menarik tangan Kana untuk duduk di sampingku, lalu aku dan Kana ngobrol tentang pengalaman kita hari ini, aku ngobrol sambil makan roti yang aku beli di kantin.
“Mungkin aku harus bangun lebih pagi untuk membawa bekal.” Kata Kana,
“Jangan terlalu di paksakan ya. Omong-omong nanti kamu selesai ngajar jam berapa?”
“Sekitar jam 1an,” kata Kana sedih. “Kalau Kaze 2 jam lagi selesai kan?”
“Iya, tapi tenang saja aku akan menunggu kok,”
“Jangan, nanti terlalu lama, kamu pulang dulu saja,”
“Kalau begitu nanti aku mau melihat Sena dan Riku bekerja sehabis itu aku menjeputmu, oke?” Kana pun menggangguk.
Pelajaran olahraga selesai, aku kembali ke ruang guru namun di ruang guru tidak ada yang bisa kulakukan karena bulan ini masih awal pelajaran. Aku pun berkeliling melihat gedung sekolah ini. Aku melihat ruang kesenian, aku coba melihat lewat jendela dan ada Kana sedang mengajar di kelas itu. Kana sungguh cantik saat mengajar, aku senang melihatnya. Tiba-tiba mata kami bertemu,
 aku tersenyum melihatnya, dia agak gelagapan untuk membalasku tapi kemudian dia tersenyum balik padaku. Seperti tahu Kana sedang bertemu dengan pacarnya, murid-muridnya pun langsung bersorak menggoda Kana. Aku jadi geli sendiri melihat Kana yang tambah gugup.
***
Aku memutuskan untuk melihat apa yang sedang dilakukan Riku dan Sena saat bekerja, pertama-tama aku menemui Riku. Riku bekerja sebagai penjaga gerbang, aku melihat hari ini sedang banyak wisatawan yang sedang berkunjung ke kota ini jadi banyak mobil yang harus di periksa. Sehingga aku tidak bisa terlalu banyak ngobrol dengan Riku. Lalu aku pergi ke toko bunga dan aksesoris tempat ena bekerja.
“Selamat pagi, oh Kaze toh.” Kata Sena seperti biasa selalu riang. “Mau beli? Di sini banyak aksesoris yang cocok untuk Kana loh,” aku hanya tersenyum mendengar kelakarnya. Kami berdua pun ngobrol tentang pekerjaan masing-masing. Lalu pemilik toko ini muncul,
“Selamat pagi, teman Sena?” kata wanita muda pemilik toko itu ramah.
“Iya, kebetulan saya baru pulang kerja.”
“Nama saya Lili, saya pemilik toko ini. Sena sangat rajin membantu toko ini.” Katanya lembut, Sena pun tertawa dengan bangga.
“Ayo Kaze beli dong, jauh-jauh datang ke sini tak beli apa-apa. Belilah sesuatu untuk Kana.”
“Jaraknya ga jauh kok.”
“Pokoknya harus beli!”
“Iya-iya, aku lihat-lihat dulu, apa semua pengunjungmu selalu di paksa seperti ini?” Aku melihat-lihat semua barang yang di jual di sini, ada cincin, kalung, gelang, lalu bunga mainan dan asli di jual juga di sini. Aku bingung memilihnya,
“Menurut kamu yang cocok untuk Kana yang mana?” tanyaku ke Sena.
“Loh kok tanya aku, kamu kan pacarnya.”
“Tapi kurasa Kana suka semuanya…”
“Sini biar aku bantu untuk memilihnya,” kata Lili, “seperti apa sifat pacarmu?”
“Itu… Dia pemalu, gampang gugup tapi dia begitu cekatan ketika ada orang yang membutuhkan pertolongannya. Dan…” Aku sangat mencintainya… kataku yang ini dalam hati,
“Dan anda sangat mencintainya?” kata Lili sambil tersenyum, aku terkejut karena dia seperti bisa membaca pikiranku. Lili pun tertawa kecil, lalu dia mencari sesuatu di dalam lemari kecil yang ada di sebelahnya dan dia mengeluarkan kotak kecil dari dalam lemari.
“Kurasa yang ini cocok untuk pacarmu dan kamu juga,” Lili membuka kotak itu, ternyata di dalamnya terdapat cincin yang bewarna hitam dan pink.
“Uwa itu bagus sekali, kenapa itu di simpan mbak?” Tanya Sena.
“Dulu cincin ini pernah menjadi tren 5 tahun lalu, tapi karena aku memproduksinya terlalu banyak sehingga banyak orang yang bosan, jadi aku simpan saja untuk hadiah. Dan sekarang cincin ini tinggal dua pasang.

“Nah, Kaze, kenapa kamu tidak melamar pacarmu?” Tanya Lili.

“A…” Aku gugup mendengar pertanyaan itu. “Menikah maksutmu?”

“Tentu saja menikah, masa melamar pekerjaan?” canda Sena.

“Apa kamu tidak ingin menikah?” Tanya Lili lagi.

“B-Bukan begitu… Apa kamu yakin Kana mencintaiku juga?”

“Aku yakin 100%” Seru Sena bersemangat. “Kamu tahu apa saja yang dia obrolkan saat aku dengan Kana? Dia pasti membicarakanmu sampai aku bosan!” Mendengar perkataan Sena aku jadi agak malu,

“Tapi aku baru 1 hari bekerja… Tidak sopan untuk minta cuti kan?”

“Melamarlah dulu, kamu bisa menikah bulan depan, kamu tahu? Bulan depan ada libur nasional selama 3 hari, kamu bisa memanfaatkannya.” Aku berpikir sejenak, lalu aku memandang Lili dengan heran.

“Kenapa kamu begitu baik?”

“Aku adalah healer,membuat healer lain bahagia adalah tugasku,” katanya sambil tersenyum. Aku terperanjat lalu aku melihat Sena yang hanya tersenyum-senyum sendiri. “Aku tahu kalau Sena adalah Sorcerer, sehingga dia menceritakan tentang teman-temannya termasuk hubunganmu dengan pacarmu.” Aku melotot ke arah Sena, Sena pun menahan tawanya.  “Nah ambilah ini, pacarmu pasti senang.”

“Terima kasih,” kataku tersendat sambil mengambil kotak kecil itu di tangannya. “Aku akan menjaga Kana dan membahagiakannya.”

***


VIII

Jam sudah menunjukan pukul 13.00, murid-murid SMP berlarian keluar dari sekolah untuk segera pulang atau bermain. Aku menunggu Kana di depan ruangannya. Tak lama kemudian Kana muncul sambil membawa beberapa buku di tangannya. Aku menyapa Kana lalu aku membantu membawakan bukunya. Aku tidak begitu peduli dengan murid-murid yang melihat kami berdua. Aku dan Kana berjalan  menuju ruang guru. Kami pamit pulang pada semua guru lalu kami pun pulang,
“Kana apa kamu lapar?” tanyaku saat kami berdua berjalan untuk ke apartemen.
“Tidak, tapi sebaiknya kita beli makan untuk Kei dan Ken. Mereka pasti menunggu kita,”
“Anu… Kana.” Kataku sambil memegang tangan Kana. Aku merasa sedikit gugup.
“Iya?” kata Kana agak terkejut.
“M-Maukah kamu menemaniku dulu ke suatu tempat? Aku ingin kita berdua dulu” kataku agak gugup, aku merasa payah sekali.
“T-Tentu,” kata Kana jadi ikutan gugup. Tanpa melepas tangan Kana, aku membawa Kana ke taman bunga. Sampai di taman bunga, aku memutuskan untuk duduk di dekat pohon agar bisa berteduh dari teriknya matahari.
“Kana, apa kamu diberitahu kalau kita mungkin diangkat jadi guru tetap?” kataku memulai pembicaraan, aku berusaha ngobrol dengan wajar.  
“Iya sempat, aku senang kalau kita jadi guru tetap.” Kata Kana sudah tidak gugup.
“Bagus lah, kamu juga sepertinya begitu menyukai kota ini.”
“Hehe, kamu tahu Kaze? Ternyata ada beberapa guru di sana merupakan healer, kata mereka kota ini tidak membeda-bedakan antara healer ataupun manusia biasa. Mereka tetap akur,”  kata Kana sambil tersenyum.
“Jadi… Kamu lebih suka kota ini daripada aku ya?” kataku agak kaku, sebenarnya aku malu mengatakan yang seperti ini. Kana pun terkejut sesuai dugaanku.
“Tentu saja aku juga suka kamu, tapi sukanya beda. Duh gimana ya menjelaskannya.” Kata Kana dengan wajah merah,
“Kana… Apakah kamu mencintaiku?” kataku malu.
“…Tentu… “
“Kana…” Aku berdiri dari dudukku kemudian aku menganggkat tangan Kana agar Kana berdiri juga. “Aku sayang dan juga mencintaimu.” Aku mengeluarkan kotak kecil yang aku taruh di saku celanaku. Aku berlutut kemudian aku membuka kotak itu di hadapan Kana,
“Kana, maukah kamu menikah denganku?” tanyaku dengan serius. Kana terkejut sesaat, kemudian matanya mulai berkaca-kaca. Kana pun tersenyum dan mengangguk.
***

Seperti saran Lili, Aku dan Kana menikah bulan depan. Dengan bantuan guru-guru akhirnya kami memutuskan untuk menikah di gedung SMP Limaran 1. Aku bekerja keras demi pernikahanku, paginya aku menjadi guru. Malamnya aku mencari penjahat bersama Riku. Aku begitu beruntung memiliki teman-teman yang baik hati. Sebulan berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Kana, walaupun deg-degan Pernikahanku berjalan dengan mulus. Setelah pernikahan, aku dan Kana pindah kamar walaupun tetap 1 apartemen dengan kamar kami yang dulu. Aku memilih kamar apartemen yang lebih kecil daripada kamar Sena, Riku, Kei dan Ken. Harganya 500 gold, bukan tanpa alasan kami berdua pindah kamar. Tentu saja karena kami sekarang sudah menikah.
Setahun berlalu dengan cepat, hari-hariku begitu menyenangkan karena Kana selalu di sampingku. Dan sekarang aku dan Kana mempunyai seorang jagoan baru, Kyou Fuu atau yang biasa kami panggil dengan Kyou, dia adalah anak laki-lakiku yang lincah. Umurnya baru satu tahun tapi dia sudah bisa berlari dengan cepat walaupun dia sendiri masih belum lancar berbicara. Kana harus ekstra hati-hati karena Kyou sering lari dan tidak memperhatikan jalan. Karena itu juga Kana jadi lebih memperhatikan Kyou daripadaku, biasanya kalau sudah seperti itu aku akan pura-pura ngambek dan aku baru akan berhenti ngambek kalau Kana sudah memberikan sesuatu padaku. Sesuatu yang aku maksud bukan benda tapi dalam bentuk pelayanan dari Kana, hehe.
***

Tengah malam merupakan waktu Kyou di beri ASI, biasanya Kyou rewel pada jam 12 malam. Karena Kana sudah terbiasa, sering kali Kana yang bangun lebih dulu sebelum Kyou rewel. Tapi tidak untuk hari ini, aku yang biasanya bangun karena tangisan Kyou atau di bangunkan Kana, malah sekarang aku bangun duluan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30 tapi baik Kana maupun Kyou belum bangun juga, akhirnya aku pun membangunkan Kana. Aku merapatkan badanku ke sebelah Kana, 

“Kana, saatnya Kyou mimi susu.” Bisikku di telinga Kana, Kana hanya menggerakan matanya sesaat tapi kemudian dengkurnya kembali teratur. “Kana, Kana” aku memegang pipi Kana yang lembut sambil menarik-narik pipinya. Tapi Kana tidak bangun juga, dengan gemas kucium telinga dan leher Kana itu salah satu dari beberapa trikku untuk membangunkan Kana. Kana menggeliat kegelian, perlahan Kana pun terbangun dengan wajah memerah.
“Kenapa, Kaze?” tanyanya dengan nada ngantuk.
“Waktunya Kyou mimi susu, apa harus aku yang mengambilnya?” godaku, wajah Kana memerah. Kana mengucek matanya perlahan, kemudian dia berjalan menuju kasur Kyou.
“Mimi dulu ya Kyou,” kata Kana kepada Kyou, diangkatnya Kyou perlahan, seperti sudah tahu akan di beri ASI, dengan cepat Kyou membuka matanya. Kana pun menyusui Kyou sambil menimang-nimangnya. Setelah Kyou kenyang, Kyou kembali tidur dengan pulas. Perlahan Kana menaruh Kyou di kasurnya kemudian Kana berjalan menuju ranjang kami. Aku tersenyum-senyum melihat Kana dan parasnya pun kembali memerah.
“Kaze juga mau?” kata Kana seperti tahu keinginanku,
“Tentu saja!” kataku bersemangat, Kana pun memelukku.
Biasanya yang menyenangkan justru terasa cepat kan? Tapi tidak dengan hari ini aku merasa malam ini begitu menyenangkan tapi terasa begitu lama.Aku ingin seperti ini terus... Setelah aku memadu kasih dengan Kana, aku menyenderkan kepalaku di dadanya. Empuk dan nyaman itulah yang aku rasakan.
“Kaze... Dingin... ” bisik Kana sambil membelai rambutku. Aku membetulkan pakaian Kana kemudian aku naikkan selimutnya.
“Sudah?” Aku kembali menyenderkan kepalaku di dadanya kemudian memeluknya.
“Sudah... Ayo kita tidur...”
***

Aku membuka mataku dengan berat, kenapa aku jadi tidur menelungkup? Aku meraba kasur di dibawahku. Kenapa ranjangnya menjadi keras dan dingin? Perlahan kesadaranku mulai menyeruak, ternyata aku tidur di lantai. Tapi kenapa? Bukankah seharusnya aku tidur di ranjang dengan Kana… Kana? Aku tersentak, dimana Kana? Aku menoleh kesekelilingku, kamarku menjadi sangat berantakan lantainya kotor, selimut yang jatuh ke lantai dan kaca pun pecah. Saat aku akan berdiri, aku merasa punggungku terasa sangat sakit. Aku meraba punggungku dan ternyata memang ada sesuatu yang menancap di punggungku. Aku pun menariknya, dan itu adalah anak panah yang beracun. Apa yang terjadi? Aku melihat kesekelilingku, dimana Kana? Dimana Kyou? Aku berusaha untuk berdiri, lalu aku merasa kepalaku terasa sakit…
“Kaze! Tidaaakk…!” Aku tersentak kaget, badanku menggigil. Akhirnya aku mengingat kejadian malam tadi walaupun belum sepenuhnya. Sejenak aku melupakan rasa sakitku. Aku membuka kamarku dan aku pun melihat apartemen yang biasanya rapi ini menjadi sangat berantakan. Lalu aku melihat Sena yang sedang menyembuhkan Kei dan Ken.
“Kalian… Kenapa?” tanyaku kepada mereka,
“Aku baik-baik saja.” Kata Sena sambil tersenyum, padahal aku yakin Sena sedang terluka karena lengan dan  punggungnya penuh dengan darah. “Maaf aku tidak bisa menyelamatkan Kana, prajurit itu pecundang semua, masa menyerang dari belakang!”
“Kak Sena melakukan ini untuk melindungi kami juga…” kata Kei sambil menangis.
“Itu salahku karena menyerang prajurit itu, kalau tidak Kak Sena tidak akan terluka.” kata Ken menangis juga.
“Hei, Aku sorcerer hebat bisa menyembuhkan diriku sendiri kok. Nah Kaze, tolong cari Riku juga ya,”
“Jangan memaksakan diri,” kataku.
“Kamu juga.” Kata Sena dengan nada serius. Aku pun berlari keluar dari apartemen, aku harap Kana belum pergi terlalu jauh. Kota yang indah indah kini berubah menjadi sangat kotor, berantakan dan juga terdapat beberapa orang pingsan atau mungkin sudah mati yang bergelimpangan di jalan. Lalu aku melihat Riku yang sedang berusaha berdiri dengan darah hampir di sekujur tubuhnya. Aku pun mendekatinya dan membantunya untuk berdiri.
 “Kaze...” Kata Riku lirih, “Maaf aku... Tidak bisa... Kana... dia...” Aku merasa hampir menangis mendengarnya, Kana... Semoga kamu baik-baik saja... Tiba-tiba aku merasa kepalaku terasa sakit lagi,
Beberapa orang dengan kasar membuka pintu kamar. Dengan tidak sopan mereka merusak perabotan kamar. Aku berusaha meninju mereka karena aku tidak akan sempat jika harus mengambil pedang dulu. Tiba-tiba kaca pecah disusul dengan teriakan Kana. Saat aku akan melindungi Kana, aku merasa punggungku di tusuk sesuatu. Kana di jambak rambutnya oleh salah satu dari orang tersebut sehingga tanda healer di dahinya pun terlihat.
“Dia healer, bawa dia.” Kata orang itu. Aku berusaha menarik badan Kana namun ternyata masih ada 1 orang lagi di belakangku, dia memukul kepalaku sehingga aku terjatuh dari ranjang, namun aku tidak peduli, aku berusaha menggapai badan Kana. Sungguh aku tidak ingin badan Kana di sentuh oleh tangan-tangan prajurit yang kotor itu.
“Kaze! Tidaaakk…!” pekik Kana, dan aku menyadari aku lengah. Sekali lagi kepalaku di pukul oleh orang yang di belakangku, dan samar-samar aku melihat Kana di bius oleh prajurit itu sebelum aku benar-benar pingsan.
Aku meneteskan air mata, dan aku meremas rambutku. Aku ingat semua kejadian itu. Aku ingin membunuh semua prajurit itu terutama Ketua Senu!!
***
Aku menyembuhkan luka Sena dan Riku dengan obat cadangan kepunyaan Kana, walaupun bat itu hanya bisa menyembuhkan 70%. Saat aku menyembuhkan dan setelah aku selesai menyembuhkan semuanya tidak ada satu pun dari kami yang bicara. Bahkan Sena dan Ken yang biasanya cerewet kini seperti kehabisan kata-kata untuk di ungkapkan. Aku sendiri tidak mampu berkata apa-apa, aku masih belum bisa menahan kesedihanku karena kehilangan 2 orang yang sangat aku sayangi. Ketika aku mengingat Kana dan Kyou, mataku mulai berair kembali.
“Ayo kita pergi ke Kota Mage,” kata Riku membuyarkan lamunanku, “Kita bisa mencari bala bantuan dan yang pasti kita bisa meningkatkan kekuatan kita di sana.” Lanjut Riku lagi. Dan kami semua setuju.
Dari Kota Lagonda menuju Kota Mage membutuhkan waktu 3 hari dengan menggunakan mobil, sebenarnya dekat hanya saja jalan menuju kota Mage sangat tidak bersahabat.
“Hei, Kaze.” Kata Sena membuyarkan lamunanku. Memang sejak tidak ada Kana aku jadi lebih banyak melamun.
“Ya?”
“Kenapa tidak jadi mage atau healer atau sorcerer saja?” Tanya Sena polos, tapi pertanyaan itu membuat aku dan terutama Riku kaget. Riku yang sedang mengemudi pun sampai tidak fokus sehingga mobil menjadi membelok ke luar jalan.
“Apa maksutmu bertanya seperti itu?” Tanya Riku sambil menggerutu.
“Kok kamu yang sewot! Aku kan tanya Kaze! Dengar ya Kaze, kamu ga akan menyesal menjadi salah satu dari itu karena dengan sihir juga akan memudahkanmu untuk mencari Kana dan Kyou, aku pernah di ajari sihir “Search” tapi itu hanya bisa di gunakan oleh orang yang kehilangan kepunyaannya yang berharga.“
“Sena kamu tidak boleh berkata seperti itu, tidak sopan tahu.” Kata Riku.
“Apapun akan aku lakukan untuk menemukan Kana dan Kyou, aku terima menjadi salah satu dari itu.”
“Horeee! Sekarang kita semua adalah penyihir!” Kata Sena bersorak, Kei dan Ken pun ikut-ikutan. Riku hanya menggelengkan kepalanya.  
“Kamu akan mendapat beban lebih, Kaze”
“Tidak apa-apa jika itu bisa menyelamatkan Kyou dan Kana.”
Untuk hal itu aku mempersiapkan diriku dengan membaca buku yang dulu di beri Sony. Untungnya masih kusimpan baik-baik. Aku membaca buku itu dengan lebih detail lagi daripada sebelum pertama kali aku membacanya atau lebih tepatnya 2 tahun lalu. Setelah aku sampai Kota Mage, aku pun sudah siap dengan keputusanku.


IX
Jika tidak ada Riku, kita semua pasti tersesat untuk masuk ke Kota Mage. Bagaimana tidak, Kota ini di penuhi oleh hutan dengan pohon yang besar dan tanahnya pun akar semua di tambah pula dengan kabut tebal. Tapi ketika kami sampai di dalamnya, sungguh Kota yang sangat menakjubkan. Kota Mage sangat besar dan sangat indah. Disini jalannya di tutup dengan keramik, bangunan-bangunannya sangat megah, dan tanaman-tanaman pun sangat lengkap dan indah. Andai saja Kana ada di sini…
“Kukira kita akan di periksa dulu, tapi sepertinya tidak ya?” Tanya Ken kepada Riku.
“Tidak perlu, karena ada aku pasti semua beres.” Kata Riku dengan nada sombong, Ken pun hanya memandangnya dengan sebal.
“Tenang saja Ken, secara otomatis kita semua sudah di periksa saat kita sampai di hutan tadi. Karena yang bukan mage hanya Kaze, aku yakin mereka tahu kalo Kaze orang baik.” Kata Sena menjelaskan. Kei dan Ken menggangguk.
“Uh… Rahasiaku terbongkar deh.” Kata Riku, Ken pun mengejek Riku. Sena dan Kei tertawa, sedangkan aku hanya tersenyum simpul.
“Sebaiknya kita cepat ke rumah Penyembuh,” kata Riku seperti tahu kalau aku sudah tidak sabar.
“Rumah Penyembuh?” Tanya Kei.
“Ya di sana bukan hanya untuk menyembuhkan orang saja, tetapi juga untuk yang ingin menjadi mage ataupun ingin merubah menjadi manusia biasa.” Kata Sena menjelaskan.
“Kahu tahu banyak.” Puji Riku.
“Tentu saja, aku dulu kan sekolah di sini.”
Kami semua berjalan menuju Rumah Penyembuhan, namun tiba-tiba Riku, Kei dan Ken terdiam. Mereka semua melihat ke arah yang sama yaitu seorang wanita berambut ikal yang di ikat kuda. Seperti tahu sedang di lihat, wanita itu tertegun sesaat namun kemudian dia tersenyum dan mendekat ke arah kami, Riku terbengong melihatnya sedangkan Kei dan Ken meneteskan air mata.

Lalu Kei dan Ken pun lari ke arah gadis itu,
“Mama!!” Teriak mereka berbarengan. Aku dan Sena terkejut tapi yang lebih terkejut adalah Riku, Riku mematung dengan mulut sedikit terbuka. Gadis itu memeluk Kei dan Ken penuh haru, sambil masih memeluk Kei dan Ken, gadis itu melihat ke arah Riku,
“Riku Feng, kaukah itu?” Tanya gadis itu hati-hati. Riku mengejang, tapi kemudian dia menundukan kepalanya.
“Catherine…” Kata Riku tersendat.
Kami memutuskan untuk pergi ke rumah makan dulu untuk mengobrol. Aku tidak menolak, karena aku sendiri penasaran dengan gadis yang bernama Catherine. Benarkah itu wanita yang dulu di sukai Riku lalu meninggal? Apakah itu berarti sihir penghidup Riku berhasil sehingga Catherine hidup kembali?
“Sepertinya aku memang hidup kembali.” Kata Catherine sambil tersenyum setelah menjawab pertanyaan Riku yang pertanyaannya hampir sama dengan apa yang ada di pikiranku. “Ketika sadar aku sudah ada di desa terpencil. Penduduk itu merawatku dengan baik sehingga aku bisa ke Kota Mage.”
“Jadi Kei dan Ken adalah anakmu dengan Ovan?” Tanya Riku tersendat dan raut wajahnya pun sedikit keruh walaupun dia berusaha menutupi.
“Iya… Mereka mirip aku kan?” tanya Catherine.
“Aku tidak berpikir sejauh itu,” kata Riku tersenyum pedih.
“um...Bagaimana denganmu Riku? Sena sangat manis ya, apakah kalian sudah pacaran?” Kata Catherine mengalihkan pembicaraan, aku yakin dia tahu perasaan Riku jika membicarakan mantan suami Catherine.
“Kata siapa kita pacaran,” kata Riku mendahului Sena untuk protes.
“Aku juga tidak mau sama orang kuno kayak dia kok,” kata Sena mengejek Riku,”Catherine kan lebih cocok dengan om Feng, ya kan?” goda Sena, walaupun begitu nada bicaranya tetap menyiratkan kepedihan, aku yakin Sena sendiri menyukai Riku tapi bukan Sena namanya jika tidak mengejek Riku. Mendengar hal itu Riku pun menjewer telinga Sena, Sena pun mengaduh. Catherine tersenyum melihat kelakuan mereka.
“Bagaimana denganmu Kaze? Punya pacar?”
“Aku sudah mempunyai istri dan satu anak.” Kataku singkat.
“Tidak membawanya untuk ke sini?” Tanya Catherine. Pertanyaan yang wajar, namun membuatku pedih. “Maaf aku salah bicara ya…“ kata Catherine seperti memahami perasaanku.
“Tidak apa, aku ke sini karena untuk menyelamatkan mereka berdua. Mungkin dengan aku menjadi mage akan mempermudahkanku.”
“Aku bisa membantu,” kata Catherine, “Ayo kita pergi ke Rumah Penyembuh.”
***
Rumah Penyembuh atau biasa disebut rumah sakit merupakan bangunan yang sangat megah seperti hotel. Perawat dan dokter sangat ramah di sana tapi tidak di bagian Pengubah. Yang menjaga adalah seorang kakek yang bukan main jutek wajahnya. Mungkin karena jarang ada yang mau mengubah sehingga gajinya kecil. Karena ada Riku, proses administrasi pun lebih mudah dan tidak di bonusi dengan wajah masam perawat-perawatnya.
“Jadi kamu yang ingin menjadi mage?” Tanya dokter kakek itu.
“Iya,” jawabku singkat.
“Kamu tidak bisa menjadi mage, untuk saat ini” aku tersentak kaget mendengar perkataannya.
“Kenapa?” Tanyaku,
“Mengubah itu membutuhkan waktu yang lama. Fisik dan mental harus kuat. Dan sayangnya kamu…” Dokter itu memandangku dengan tajam, “Kamu sedang banyak pikiran, akan repot nantinya jika sekarang kamu melakukannya.”
“Tapi aku tidak punya banyak waktu!” kataku jengah.
“Dokter, gunakan saja sihir hypno,” kata Riku. Dokter itu memandang Riku lalu dia mengangkat bahu.
“Kamu memang pantas mendapat gelar Warlock terbaik.” Puji dokter itu.
***
Sena melihat ke sungai yang airnya sangat jernih, dia pun melihat refleksi wajahnya yang terpantul di dalam air tersebut. Kenapa wajahnya begitu sedih? Padahal Sena sudah tidak kesepian lagi, dia sudah mendapat teman-teman yang baik hati yang selalu menemaninya di saat senang maupun susah. Teman-temannya yang dulu hanyalah rekan kerja, mereka kerja karena ingin mendapat uang. Mereka tidak bisa di ajak berbagi tidak seperti teman-teman Sena sekarang, tapi kenapa aku sedih? Pikir Sena. Atau karena Sena tidak punya pacar? 4 tahun lalu Sena lah yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan lebih memikirkan karirnya. Padahal Sena sekarang masih lebih memilih jomblo daripada berhubungan dengan pria. Pacarnya yang dulu sangat crewet, tidak suka jika Sena bekerja terus. Padahal mau makan apa jika Sena tidak bekerja? Sena sendiri hidup sebatang kara. Tapi ketika Sena bertemu Riku… Riku sangat berbeda dengan pacar lamanya, berbanding 180o . Riku sangat cuek dan sering mengejek Riku tidak seperti pacarnya yang selalu memuji Sena walaupun over protective. Namun Catherine… Sebenarnya Sena ingat pernah di ceritakan oleh Riku tentang Catherine. Orang yaqng di sukai Riku sudah mati, wajar jika Sena tetap mendekati Riku. Tapi ketika Catherine datang… Masih cintakah Riku pada Catherine? Sena merasa hatinya sakit sekali. Riku pernah bercerita ke Sena bahwa dia pernah menghidupkan Catherine kembali tapi Riku tidak tahu apakah Riku berhasil atau tidak. Dan tidak salah kan jika Catherine ternyata hidup? Kalau begini jadinya aku tidak akan mendekati Riku… Pikir Sena dengan wajah muram. Tiba-tiba Sena merasa rambutnya yang di kucir 2 terasa di tarik dari belakang, Sena menoleh kebelakang ternayata yang menariknya adalah Kei dan Ken.
“Kok ngelamun?” Tanya Ken dengan ceria,
“Udah puas ketemu mama?” Tanya Sena mengalihkan pembicaraan.
“Mama sibuk membantu Kak Kaze, Kak Riku juga. Kami juga tidak boleh melihat Kak Kaze yang mau di rubah, jadinya kita pergi saja,” kata Kei. Jadi Chaterine dan Riku di sana… Pikir Sena dalam hati,
“Ngelamun lagi,” kata Ken sambil menarik rambut Sena.
“Aduh sakit!” Sena mengaduh lalu mencubit Ken, Ken pun tertawa, “Seharusnya kalian jahili papa baru kalian,” kata Sena.
“”Papa baru siapa?” Tanya Ken dan Kei berbarengan.
“Tentu saja Riku!” kata Sena, Kei dan Ken saling berpandangan, beberapa detik kemudian mereka tertawa.
“Riku jadi…? Ha Ha Ha… Riku ga cocok sama mama!” kata Ken sambil masih tertawa,
“Kalau Kak Riku jadi papa, kami mungkin takkan mengganggapnya begitu, “ kata Kei sambil menahan tawa. Sena pun tersenyum simpul.
“Jadi menurut kalian mama mu tak cocok dengan Riku?” Tanya Sena agak pelan supaya tidak terdengar.

“Kak Riku lebih pantas dengan Kak Sena,” kata Kei lalu tersenyum. Sena senang sekali mendengarnya walaupun pendapat anak kecil memang tidak cocok untuk acuan namun Sena seperti mendapat semangat baru.
***
Hembusan angin membuat daun-daun menari, aku merasa rambutku yang pendek ini juga menyambut hembusan angin tersebut. Tapi bukan hanya hembusan angin yang aku rasakan, aku merasa ada seseorang menyentuh pipiku. Tangannya yang lembut menyentuh kulit pipiku dengan lembut. Aku sudah tidak asing dengan sentuhan yang membuatku selalu ketagihan ini dan selalu membuatku rindu. Aku membuka mataku, dan kulihat Kana tersenyum di sebelahku.
“Kana…?” kataku lirih, tanpa sadar air mata menyembul dari mataku. Dengan bernafsu aku memeluk Kana. Kana memekik kaget karena aku memelukknya terlalu keras.
“Kaze…” Suaranya yang lembut, sudah berapa lama aku tidak mendengar suaranya. Dan aku tidak bisa menahan air mataku lagi, aku terisak sambil memeluk Kana, kuciumi rambut, leher dan telinga Kana. “Geli ah!” kata Kana sambil menarik rambutku.
“Jangan menolak,” kataku sambil cemberut.
“Tapi ada seorang lagi yang mau menemuimu.”  Aku memandang Kana dengan heran. Sambil tersenyum dia menunjukkan sesuatu di sebelahku, aku pun menoleh dan satu lagi kejutan aku melihat Kyou berdiri di sebelahku.
“Papa.” Katanya sambil tersenyum. Aku pun memeluk Kyou lalu menggendong dan mencium pipinya yang montok. Sudah lama sekali aku tidak menggendongnya, dulu aku memang jarang sekali untuk memanjakkan Kyou. Karena Kyou anak laki-laki, anak laki-laki tidak boleh manja. Tapi untuk sekarang ini aku merasa sangat rindu padanya. Aku melihat Kyou yang sedang melihatku juga, matanya mirip dengan Kana. Begitu juga dengan warna rambutnya yang hitam pekat. Tapi banyak yang mengatakan kalau Kyou itu mirip denganku, padahal dia juga mirip Kana menurutku.
Waktu berjalan cepat, setelah lelah mengobrol Kyou tidur di tengah-tengah aku dan Kana. Aku membelai rambut Kyou perlahan.
“Kaze juga mau tidur?” Tanya Kana. Aku menggeleng pelan.
“Aku takut jika tidur kamu dan Kyou akan pergi…” kataku, lalu Kana memegang tanganku dengan lembut dan kami saling berpandangan.
“Kita tidak bisa di sini terus,“
“Apakah ini hanya mimpi?” kataku sedih.
“Bisa di bilang seperti itu, tapi ini adalah mimpi yang salin terhubung. Aku yakin ada seorang yang mengeluarkan sihir ini untuk kita.”
“Iya kau benar,tapi apakah kita bisa terhubug seperti ini terus?”
“Mungkin akan susah. Membutuhkan energy yang banyak karena ini sihir tingkat tinggi.”
“Kalau begitu, aku harus cepat kembali untuk menyelamatkanmu.”  Kana memelukku, lalu aku mencium bibirnya dengan lembut cukup lama dan itu membuatku mengantuk.
“Aku sayang kamu, semoga kita bisa bertemu lagi…”
Aku membuka mataku, kulihat di sana ada Riku, Catherine dan kakek tua itu. Jadi sekarang aku kembali lagi di sini,
“Bagaimana? Apa saja yang kamu lakukan dengan Kana?” Tanya Riku lalu dia tetawa.
“Tidak banyak yang bisa ku lakukan, soalnya Kyou juga ada.” Aku dan Riku pun tertawa. Sudah lama rasanya aku tidak tertawa.
“Nah kalau sudah bisa tertawa seperti itu, ayo kita segera lakukan pengubahnya.”
Kemudian aku di suruh duduk di lantai tepat di tengah gambar lingkaran yag ada di lantai. Kakek tua itu duduk agak jauh denganku namun tepat di depanku. Catherine dan Riku duduk di lantai juga namun berjauhan juga. Dilihat-lihat mereka duduk seperti itu menjadi seperti bentuk segitiga.
“Ayo kita mulai,” kata kakek itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu diam saja,pejamkan matamu.” Kata Catherine. Aku pun memejamkan mataku. Aku mendengar kakek itu mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Mungkin itu mantranya, kemudian Catherine dan Riku pun juga membacakan mantra tersebut. Entah kenapa walaupun aku memejamkan mata, aku merasa ada cahaya yang tetap masuk ke mataku. Cahaya putih kekuningan yang menyilaukan. Mantra yang di ucapkan mereka bertiga semakin keras. Tiba-tiba aku merasa ada suara ledakan yang sangat dekat denganku. Tidak behitu keras namun membuatku kaget dan akhirnya aku pun membuka mataku. Aku melihat Kakek tua itu berkeringat, sedangkan Catherine menundukan kepalanya dengan lemas dan Riku membersihkan keringatnya sambil memandangku dengan heran.
“Apa aku sudah jadi mage?” Riku berjalan mendekatiku kemudian dia duduk di sebelahku lalu menjambak rambut depanku lalu telunjuknya di tempelkannya pada dahiku. “Apa yang kamu…”
“Dasar kamu memang bodoh ya, apa kamu tidak tahu kalau kamu adalah keturunan mage?” mendengar kata Riku sontak saja membuatku kaget.
“Ha? Aku sudah mage?”

“Kamu adalah keturunan mage entah ibu atau ayahmu tapi kemudian orang tua mu menyegel kekuatan itu sehingga tidak bisa di gunakan lagi.” Kata Riku.
“Bukan mage, tapi mungkin Warlock atau Sorcerer atau Cardinal. Yang bisa menyegel kekuatan hanyalah penyihir kelas atas.” Kata Catherine.
“Aku tidak tahu… Ibu tidak pernah mengatakannya…” kataku lalu menunduk. “Jadi apa aku bisa membuka segel itu?”
“Tenang saja aku akan membantu” jawab Catherine sambil tersenyum. Kemudian dia melirik kea rah Riku yang juga tersenyum ke arahku sambil mengangkat bahu.
“Jadi aku tidak di butuhkan lagi?” Tanya kakek tua itu.
“Masih-masih…” jawab Riku Riku sambil mengagguk.
Untuk membuka segel ini Riku, Catherine dan Kakek tidak perlu duduk dengan cara seperti tadi. Aku hanya di suruh berdiri berhadapan dengan kakek itu sambil membaca sebuah mantra. Aku tidak perlu menghapal, karena aku di pinjami buku yang sudah tertulis mantra di dalamnya.
“Pelan-pelan saja,” kata Kakek itu. Setelah semua persiapan selelsai, aku mulai membaca mantra itu. Tulisannya jelas namun susah untuk di baca. Saat aku sudah membaca seperempat halaman, aku merasa ada cahaya tipis yang menyelimuti badanku, rasanya hangat. Ketika aku membaca setengah halaman cahaya itu semakin besar dan semakin panas. Aku mencoba untuk terus membaca mantranya, sedikit lagi… sedikit lagi selesai…
***

Truk bergerak di jalan yang berbatuan sehingga membuat getaran yang keras. Beberapa roti yang di tumpuk di dalam truk pun terjatuh, salah satu roti terjatuh di kepala Kyou dan itu membuatnya terbangun. Dengan masih mengantuk dia mengambil benda yang ada di atas dahinya.
“Mam,” kata Kyou. Lalu dia mencoba memakan roti itu tapi tidak bisa di makannya, tentu saja karena masih ada plastik di luarnya. Kyou berusaha menggigit plastiknya tapi tidak bisa karena dia belum punya gigi. Tanpa putus asa dia menarik-narik plastik itu hinya robek. Kyou pun mencium di dalamnya berbau wangi. Dengan bersemangat dia membuka plastiknya lebih lebar lalu memakan roti yang di dalamnya dengan pelan karena dia harus melumatkan rotinya terlebih dahulu di mulut hingga halus. Kyou melihat-lihat benda yang sama di setiap sisinya tapi bukan hanya roti. Di sana pun ada banyak botol minum yang menumpuk di sebelah roti. Kyou mencoba mengambil satu, tinggi botol itu hampir setengah dari tingginya, kemudian Kyou mengamati botol tersebut. Dia teringat dulu ayahnya pernah membuka botol yang seperti ini dengan cara di putar tutupnya. Kyou memberdirikan botol tersebut lalu dengan kedua tangannya dia membuka tutup botol itu. Tutupnya pun terbuka, Kyou merasa senang. Langsung saja Kyou meminum air di dalam botol tersebut. Truk bergoyang sedikit karena jalanan tidak rata dan itu membuat air yang di minum Kyou sedikit tumpah mengenai bajunya tapi Kyou tidak peduli. Setelah meminum seperempat air dari botol tersebut, dia merasa kangen dengan susu ibunya. Tapi Kyou tahu, dia tidak mungkin bisa mendapatkannya sekarang. Ibunya pergi, di tarik orang. Ayahnya yang biasanya kuat pun tidak berdaya menolong ibunya. Ayah di dorong lalu di pukul kepalanya, lalu ibu di tarik orang. Kyou berusaha mengikuti ibunya tapi langkah lelaki itu sangat cepat. Ibu di dorong ke sebuah truk lalu truk itu berjalan. Kyou tidak sempat untuk masuk karena itu Kyou masuk ke truk yang ada di belakangnya dan tanpa sadar Kyou tertidur. Tapi tadi Kyou melihat ayah dan ibunya di sisinya, di suatu tempat yang bewarna putih, mereka berpelukan lalu mengobrol. Kyou ingin mendengar semua obrolannya tapi Kyou tidak kuat dengan kantuknya lalu Kyou tidur ditengah antara ibu dan ayahnya, setelah bangun Kyou pun kembali di truk ini. Yang ada di pikiran Kyou sekarang adalah memukul orang yang menyeret ibunya kemudian membawa ibunya pulang. Kyou melihat ke arah roti tadi. Apakah ibu dan ayah sekarang lapar? Pikir Kyou. Lalu dia mengambil sebuah plastik hitam yang tidak terpakai kemudian memasukkan dua roti ke dalamnya. Tiba-tiba truk yang di tumpangi Kyou berhenti. Kyou melihat ke jendela truk, di sana hanya ada banyak pohon. Lalu Kyou keluar dari truk dan mencari truk yang di naiki ibunya. Kyou pun tertegun ketika melihat di sana ternyata ada gua yang sangat besar, lalu Kyou tersadar dia harus cepat ke truk yang di naiki ibu. Kyou masih ingat sekali truk itu lalu dia langsung melompat masuk ke dalamnya. Sayang truk itu sudah kosong, Kyou merasa kecewa. Lalu dia turun dari truk dan melihat gua itu lagi. Mungkin ibu di sana... Tanpa berpikir panjang Kyou masuk ke gua tersebut. Namun tiba-tiba ada tongkat yang menghalangi jalannya.
“He… Anak kecil?” kata seorang prajurit yang menjaga gua tersebut. “Kenapa ada anak kecil di sini?”
“Mungkin dia tahanan yang tertinggal?” kata Prajurit yang di sebelahnya.
“Adek sedang apa di sini?” Tanya prajurit itu ke Kyou.
“Ibu…” kata Kyou dengan wajah sedih sambil memegang erat plastik yang berisi roti itu.
“Mengharukan sekali, ada anak yang mencari makan untuk ibunya.” Kata prajurit yang di sebelahnya sambil menangis haru. Tiba-tiba terdengar bunyi pedang tertancap dengan keras dan itu membuat Kyou dan prajurit-prajurit konyol itu kaget.
“Hei sedang apa kalian?! Cepat kerja!” kata Rez dengan marah.
“Baik, pak.” Kata Prajurit itu berbarengan.Setelah Rez, kedua prajurit itu bisa bernafas lega.
 “Kamu tahu, setelah Rez pulang sendirian dari tugasnya dia jadi agak gila ya?”
  “Bukan hanya gila, pekerjaan bawahannya yang baik dan benar pun semua di marahi! Dia sangat galak dan gila, benar gak dek?” Tanya Prajurit itu kepada Kyou tapi Kyou sudah pergi…
Kyou terus berlari memasuki gua yang panjang itu, bukan hanya panjang, gua itu juga gelap. Tapi kemudian Kyou melihat ada pintu yang bercahaya. Kyou terus berlari sambil berharap untuk segera bertemu ibunya. Tapi setelah Kyou berada di dalam pintu itu harapannya ternyata tidak terkabul karena di sana tidak ada ibunya. Semua yang ada di tempat itu berpakaian sama dengan orang yang tadi di temuinya di depan gua. Beberapa orang yang sibuk di dalam ruangan tersebut terkejut dengan kedatangan Kyou.
“Ada anak kecil di sini!”
“Tangkap saja.”
Prajurit-prajurit itu datang mendekati Kyou untuk menangkapnya. Sebenarnya Kyou merasa takut di kelilingi orang-orang yang menyeramkan itu. Tapi Kyou berusaha berani, dia teringat kata-kata ayahnya yang selalu mengatakan agar Kyou berani, lalu cahaya kecil muncul di dahi Kyou…
***

X
01Aku membuka mataku, badanku masih terasa panas walaupun sudah tidak sepanas tadi walaupun begitu aku merasa badanku ini terasa lebih ringan daripada biasanya. Aku melihat kakek itu di bantu berdiri oleh Catherine dan Riku.
“Sekarang kekuatanmu sudah terbuka…” kata Kakek letih,
“Kakek baik-baik saja?,” tanyaku.
“Jangan pedulikan aku, coba kamu gunakan sihirmu di lantai ini. Pikirkan sihir apa saja. Gunakan tanganmu untuk mengelurakannya” Aku melihat lantai yang ada di bawahku lalu aku buka telapak tanganku dan… Wuss… Keluar api kecil dari jariku yang kemudian api itu turun ke lantai.
“Hebat Kaze, walaupun belum terlalu hebat.” Kata Riku.
“Hebatnya Warlock tidak perlu menghafal mantra yang panjang, cukup membayangkan saja sudah keluar sihirnya.” Kata Catherine.
“Tapi bukankah Riku sendiri Sorcerer? Kenapa Riku masih suka membaca mantra?” tanyaku.
“Itu karena aku sudah terbiasa membaca mantra. Jujur saja aku malah tidak bisa mengeluarkan sihir jika hanya membayangkan saja.” Jawab Riku. Lalu Catherine mendekatiku kemudian memberikan sebuah cermin kecil. “Mau lihat tanda yang ada di dahimu?” Aku mengambil cermin itu kemudian melihat dahiku. Aku terpana melihatnya, tanda ini berbeda dengan milik Kana. Jika Kana berbentuk +, aku berbentuk x  walaupun warnanya sama, bewarna perak. Aku memegang tanda di dahiku. Kana… Aku pasti akan menyelamatkanmu…
“Nah, satu lagi hadiah untukmu.” Kakek itu melemparkan sesuatu kepadaku dan aku pun menangkapnya, sebuah tongkat tapi juga seperti panah. “Dengan itu kamu bisa menggunkan sihir dengan tepat sasaran, oh iya tapi jika menggunakan panahnya kamu harus memakai ini.” Kakek itu melemparkan 1 ikat anak panah ke arahku dan aku menangkapnya lagi.
“Terima kasih banyak, aku tidak tahu harus membalas apa…”
“Bunuh saja orang yang menculik healer. Itu saja cukup.”
“Baik, sekali lagi terima kasih…” Kataku sambil menundukkan kepalaku. Lalu aku menoleh ke arah Riku. “Sebaiknya kita cepat pergi,”
“Akan aku panggil Sena, Kei dan Ken.” Kata Riku.
“Aku juga ikut,” kata Catherine setelah Riku pergi memanggil yang lainnya.
“Apakah kamu akan mengingat masa indahmu dengan Riku?” kataku sedikit menggoda. Catherine menggeleng.
“Tidak…  Aku hanya ingin membantumu dan juga melindungi anak-anakku. Lagipula, gadis itu lebih pantas untuk Riku.” Kata Catherine lalu tersenyum.
“Maksudmu Sena?” Catherine hanya tersenyum lalu dia memandang langit-langit.
Setelah semua berkumpul, Kakek itu memberikanku bantuan lagi yaitu memberikan kami sebuah jubah anti sihir bukan hanya itu, kakek itu juga akan mengantarkan kami semua langsung ke tempat Kana berada dengan sihirnya. Dan dalam sekejap kami semua sampai di sebuah hutan yang lebat.
***
Tak jauh dari hutan ini aku melihat ada sebuah gua dengan tebing di atasnya. Aku merasa curiga dengan tempat itu, akhirnya kami memutuskan untuk ke sana. Sena berjalan paling belakang di antara kami, padahal sudah beberapa kali Catherine mengajaknya untuk berjalan bersama tapi ujung-ujungnya Sena berjalan paling akhir lagi. Dari raut wajahnya terlihat sedih, mungkin karena Riku lebih banyak berbincang dengan Catherine daripada dengan Sena. Sebenarnya perbincangan Riku juga wajar saja, tidak mesra dan Riku juga hanya sebentar berbicang dengan Catherine, aku pikir Sena terlalu cemburu atau mungkin dia sebenarnya sedang memikirkan hal yang lain. Untungnya Ken selalu di sebelah Sena, dia seperti ingin menghibur Sena. Sedangkan Kei lebih sering di sebelahku daripada dengan ibunya walaupun seringkali Kei tertinggal karena langkahku yang panjang dan cepat dia selalu berusaha di sebelahku. Aku sendiri sedang tidak dalam mood yang bagus. Kenapa kakek itu tidak langsung mengirimkan kami ke tepat Kana berada tanpa harus berjalan seperti ini?  Tapi seharusnya aku berterima kasih karena bagaimanapun juga ini sudah dekat dengan tempat Kana. Kenapa aku jadi kesal begini ya? Apa karena sekarang aku menjadi warlock? Aku menghela nafas panjang.
Akhirnya kami sampai di luar hutan dan di sana aku melihat puluhan prajurit gegana. Dengan terkejut mereka melihat ke arah kami.
“Siapa kalian?!” Bentak salah satu prajurit itu. Saat aku akan menjawabnya tiba-tiba ada seseorang dengan cepat berlari ke depan prajurit itu, ternayata itu Sena.
“Hei, apa kalian mengenaliku?” Kata Sena sambil mengedipkan sebelah matanya. Prajurit-prajurit itu pun terpana, mereka saling berbisik satu sama lain.
“ Bukankah itu Sena penyanyi yang terkenal itu?” kata salah satu dari prajurit itu.
“Senang rasanya kalian mengenaliku, untuk ucapan terima kasih aku akan menyanyikan lagu untuk kalian.” Sena mengeluarkan mics-nya dan dia mulai bernyanyi. Lalu ketika nada lagu mulai cepat, Sena berpose dengan tangan kanan memegang mic dekat dengan mulutnya dan tangan kirinya di angkat sambil memegang mic  yang satunya lalu munculah petir yang menyambar ke semua prajurit itu. Lalu dengan cukup gesit Sena mulai memukul, menendang dan mencekik prajurit itu satu persatu. Aku mulai mengeluarkan pedangku dari sarungnya tapi Sena mencegah.
“Jangan! Biar aku saja yang menghabisi mereka. Aku yakin di dalam sana masih banyak prajurit lain. Jadi simpan dulu kekuatan kalian.” Kata Sena. Karena Sena berkata seperti itu, aku kembali memasukkan pedangku ke sarung.
“Tapi jika kami membantu akan lebih cepat!” sanggah Riku. Sena pun tersenyum.
“Sebaiknya kalian cepat masuk saja. Jangan remehkan aku.” Tanpa basa-basi aku berlari untuk masuk ke gua tapi tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mendekat dengan refleksku aku menangkis serangan itu dengan Staffbow-ku. Ternyata yang menyerangku adalah… Rez?
“Kamu masih cepat seperti dulu, Kaze.” Kata Rez dengan senyum liciknya. Penampilan dia sangat berantakan, rambutnya acak-acakan dan wajahnya pun kotor. Padahal aku tahu sekali dulu dia adalah prajurit yang paling bersih di Gegana.
“Senang melihatmu masih hidup.” Kataku cuek.
“Senang? Senang?!! Apa kamu tidak ingat dengan kelakuan temanmu yang mau membunuhku?!” Teriak Rez seperti orang gila. Kamu memang pantas mendapatkannya… kataku dalam hati dan aku merasa muak ketika aku mengingat kejadian itu saat Rez menyentuh Kana… Aku menggenggam tanganku dengan gemas.
“Sepertinya racunnya hanya mengenai otakmu bukan jantungmu. Nah kenapa aku tidak sekalian saja membunuhmu?” Kata Riku lalu dia mengeluarkan sabit dari kain yang membungkusnya dan langsung menyerang Rez. Tapi Rez berhasil menangkis serangannya.
“Menarik, menarik sekali! Aku siap meladenimu dan kalian semua. Hei prajurit bodoh! Bangun! Dan tangkap mereka!” Para prajurit yang sudah loyo karena serangan Sena dengan sigap langsung berdiri.
“Biar aku saja yang bertarung melawan orang gila itu.” Kata Riku sambil menepuk bahuku lalu tersenyum.
“Apa? Aku juga harus bertarung dengannya. Aku masih kesal saat dia menyentuh Kana!”
“Nah, kenapa tidak kalian berdua saja yang bertarung dengannya? Biar prajurit ini yang kami lawan.” Kata Catherine menengahi lalu dengan sihirnya dari tangan Catherine muncul cahaya dan air bah pun muncul. Aku dan Riku mengangguk lalu kami langsung menyerang Rez bersama-sama.
“Wow! Kalian berdua curang ya. Baiklah kalau begitu, aku juga akan mengkeroyok kalian!” Tiba-tiba muncul 5 orang prajurit yang langsung menyerang kami. Aku melawan mereka dengan pedangku. Aku melakukan kombinasi dengan Riku yaitu aku menyerang mereka dalam jarak dekat dan Riku dengan sihir jaraj jauhnya. 2 prajurit berhasil kami singkirkan, lalu Riku mulai melafalkan mantra dan duri yang bercahaya hitam keunguan mulai bermunculan dari tangan Riku. Dengan lihai Rez menghindar serangan itu sehingga hanya prajuritnya saja yang terkena sihir duri tersebut.
“Serangan yang sama tidak akan mempan kepadaku!” Teriak Rez dengan bangga. Tapi aku dan Riku tersenyum, Rez yang masih bangga akan dirinya sambil tertawa tidak menyadari bahwa aku mulai mendekat ke arahnya. Ketika Rez sudah puas dengan tawanya sudah terlambat bagi dia untuk menghindar karena aku sudah di sampingnya sambil menempelkan pedangku di lehernya.
Fire”. Kataku lalu dari pedangku muncul api dan langsung menyambar Rez. Rez langsung lari tunggang langgang dan berguling-guling di tanah untuk menghilangkan api-ku. Setelah apinya hilang dia udah kehilangan banyak tenaganya namun dia berusaha untuk tetap berdiri. Aku memasukkan pedangku ke sarung dan aku bersiap menyerangnya dengan panahku. Dengan terengah-engah Rez menatapku dengan nanar.
“Jadi sekarang ketua Gegana adalah mage… oh bukan maksutku mantan ketua Gegana.” Kata dia tersenyum sinis, aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Memang aku adalah mantan ketua Gegana tapi aku bukan kamu yang menggunakan bawahan untuk tameng hidup. Nah selamat tinggal…” Aku melepaskan anak panah dan Cras…! Anak panah tertancap ke prajurit yang di sebelah Rez tepat pada saat Riku menancapkan kuku tangan monsternya ke punggung Rez. Rez dan prajuritnya pun ambruk. Aku dan Riku saling tersenyum.
“Kenapa kamu jarang memakai tanganmu itu?” tanyaku.
“Capek tau, lagipula jarak serangnya pendek. Nah, mana ucapan terima kasih mu?” Kata Riku lalu menggunakan sarung tangannya kembali.
“Terima kasih, tapi kita harus memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau belum.” Aku dan Riku pun tertawa. Lalu Sena, Catherine, Kei dan Ken mendekati kami. Mereka juga sudah mengalahkan prajurit-prajurit lainnya.
“Ayo kita masuk!” seru Kei dan Ken. Dan kami pun segera memasuki gua yang sudah di depan kami.
Kami pun berjalan menyusuri lorong yang cukup panjang dan di ujungnya ada pintu. Aku melihat pintu itu sudah terbuka, saat aku melihat ke dalamnya ternayata di dalamnya penuh dengan mayat prajurit. Mereka semua … ratusan prajurit yang ada di ruangan ini mati… Siapa yang melakukannya? Tiba-tiba aku mendengar suara yang tak asing bagiku…itu…
“Ayah!” suara itu… Aku melihat ke segala sudut ruangan dan mataku tertuju pada anak kecil yang berdiri dengan gagahnya di tengah mayat-mayat tersebut.
“Kyou…” Kataku rindu, aku segera berlari dan memeluk anak semata wayangku. Kyou menangis di pelukanku, aku membelai rambutnya dan menciumnya. Entah sudah berapa lama aku tidak memeluk Kyou, dulu aku tidak pernah memanjakan Kyou dengan alasan karena Kyou anak laki-laki tidak boleh manja dan harus kuat. Tapi ketika berpisah cukup lama aku merasa menyesal dulu tidak memanjakannya… “Kyou… Apa kamu terluka?” tanyaku, Kyou hanya menggeleng. “Apa kamu yang mengalahkan mereka?” Kyou mengannguk. Lalu Kyou mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik lusuh yang ia bawa dengan erat. Ketika Kyou memperlihatkan isinya awalnya aku merasa heran.“Roti?”
“Untuk ayah.” Kata Kyou polos, aku terharu sekali mendengarnya, kubelai rambutnya dengan rambut lalu tanpa sadar samar-samar aku melihat tanda di dahi Kyou. Dan tanda itu tanda mage bukan tanda healer! Aku tersenyum lalu aku menepuk bahu Kyou.
“Ayo kita selamatkan ibumu, Kyou!” kataku semangat. Kyou pun mengangguk dengan semangat juga. Lalu kami pun segera memasuki pintu selanjutnya.
Di pintu ini para prajurit sudah siap menunggu kami, tapi prajurit ini bukan prajurit manusia melainkan prajurit mesin dan jumlahnya lebih banyak dari prajurit-prajurit yang di bunuh Kyou.
“Sebaiknya kalian duluan saja, biar aku habisi mereka.” Kata Sena.
“Sena…” kata Riku cemas.
“Tenang saja aku akan membantu.” Kata Catherine sambil menepuk bahu Sena.
“Aku sendiri bisa kok!” Kata Sena menyanggah.
“Jangan begitu, mungkin senjata buatanku bisa membantumu.”
“Mama paling pintar membuat senjata loh Kak Sena!” kata Ken bersemangat.
“Mama aku mau lihat senjatanya,” kata Kei.
“Lihatnya nanti ya, sebaiknya kalian cepat ke pintu selanjutnya.” Kata Catherine.
“Terima kasih.” Kataku kepada Sena dan Catherine, lalu aku menggendong Kyou dan segera berlari ke pintu selanjutnya dengan tangan kiriku menggendong Kyou dan tangan kiriku memegang pedang untuk menyerang prajurit yang menghalangi jalanku.
“Mama dan Kak Sena semoga berhasil!” Kata Kei,
“Jangan kalah ya!” Kata Ken. Lalu mereka berdua berlari mengikutiku. Sedangkan Riku melihat Sena dan Catherine dengan cemas, tapi Riku berusaha percaya kepada mereka berdua lalu dia menghela nafas panjang.
“Hati-hati…” Kata Riku lalu cepat-cepat dia berlari mengikuti sambil menyerang beberapa prajurit. Dan sekarang tinggal Sena dan Catherine berdua di ruangan ini.
“Mari kita berkerja sama,” kata Catherine sambil tersenyum. Sena hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. “Bernyanyilah saat aku akan menyerang mereka dengan senjataku. Siap ya… 1… 2… 3… Ayo!” Catherine mengeluarkan sihir ‘tsunami’ yang dahsyat sehingga membuat para prajurit mesin itu terdesak mundur dan sedikit mengalami kerusakan. Lalu Catherine mengeluarkan senjatanya yaitu sepasang belati kecil di lengan kanan dan kirinya.  Dengan cepat Catherine menyerang prajurit itu di bagian kabel-kabel. Sedangkan Sena menyanyikan lagu yang mengeluarkan sihir ‘thunder’ sehingga prajurit mesin itu tidak bisa bergerak bebas. Sayangnya Sena hanya focus pada prajurit yang di sekitar Catherine dan dia pun tidak melihat ketika beberapa prajurit mendekat ke arahnya…
***
Aku, Kyou, Riku, Kei dan Ken tiba di pintu selanjutnya. Sama seperti pintu sebelumnya, di sini prajurit-prajuritnya pun adalah mesin.
“Biar kami yang lawan mereka!” Kata Kei dan Ken bersamaan. Aku dan Riku pun terkejut.
“Jangan begitu! Kalian tidak mungkin bisa!” kata Riku khawatir.
“Bukankah kalian healer? Kalian hanya bisa menyembuhkan saja kan?” tanyaku.
“Tenang saja kami sudah mempersiapkan banyak sekali peluru.” Kata Kei sambil mengacungkan jempolnya.
“Lagipula kata siapa healer hanya bisa menyembuhkan? Kami juga bisa menggunakan sihir penyerang.” Kata Ken.
“Kalau begitu semangat berjuang.” Aku kembali berlari untuk ke pintu selanjutnya. Sambil menyerang beberapa prajurit yang menghalangi jalanku.
“Aku akan kembali secepatnya untuk membantu kalian.” Kata Riku lalu dia mengikutiku dari belakang.
“Nah Kei, ayo cepat selesaikan ini!” kata Ken
“Ayo!” Kata Kei. Lalu mereka mulai mengeluarkan pistol yang ada di lengannya dan menyerang mereka satu persatu.
***
Sampailah kami di pintu selanjutnya, dan hanya tinggal kami bertiga. Agak berbeda dengan prajurit sebelumnya, kali ini prajuritnya adalah manusia namun jumlahnya sama seperti prajurit-prajurit mesin itu. Lalu Riku menepuk bahuku.
“Nah biar aku saja yang melawan prajurit-prajurit bodoh ini.” Kata Riku.
“Sendirian?” tanyaku cemas.
“Tentu saja, aku sendiri lebih dari cukup. Sebaiknya kamu cepat ke pintu selanjutnya, aku yakin Kana sudah dekat.”
“Hati-hati ya,” kataku.
“Kamu juga,” kata Riku. Lalu Aku dan Kyou yang masih kugendong segera berlari menuju pintu selanjutnya. Hanya tinggal Riku sendirian di tempat ini. Riku pun dengan cepat menyerang prajurit-prajurit dengan sabitnya namun dia juga sambil mengucapkan mantra yang cukup panjang. Setelah Riku selesai membaca mantra, tangan dan sabitnya pun mengeluarkan cahaya lalu sebuah ledakan pun muncul.
***
Water beam!” Seru Catherine dan mengarahkan sihirnya ke prajurit yang ada di belakang Sena. Sena pun terkejut karena Catherine mengeluarkan sihirnya sangat dekat dengan dirinya, tapi ketika Sena melihat prajurit yang sudah terkapar di belakangnya dia pun menghela nafas.
“Kamu mengagetkanku,” kata Sena sambil tersenyum.
“Maaf ya, tapi kamu harus lebih berhati-hati.” Kata Catherine sambil memukul prajurit-prajurit di sekitarnya.
“Riku pernah bercerita tentangmu katanya kamu healer, tapi sepertinya dia salah.” Kata Sena memulai pembicaraan sambil memukul prajurit juga dengan mics-nya.
“Dia benar, aku memang healer lebih tepatnya Cardinal. Tapi setelah Riku menghidupkanku kembali, aku mulai belajar lebih banyak tentang sihir penyerang.”
“Berarti kamu sekarang Sorcerer.”
“Iya mungkin, tapi sihir penyerangku masih terbatas.”    
“Sepertinya kamu suka air.”
“Iya begitulah, karena aku suka jadi menguasainya lebih gampang. Bagaimana denganmu? Sihir air bagaimana lagunya?”
“Aku suka semua sihir. Oke akan aku nyanyikan untukmu,” Sena berhenti memutuskan kabel prajurit mesin lalu dia mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang ceria tapi sedikit pelan. Perlahan tubuh Sena mulai bercahaya lalu semburan air pun mulai keluar dari cahaya itu. Beberapa prajurit terdorong mundur karena air itu.
“Itu lagu yang indah, teruslah bernyanyi aku akan menyembuhkan luka mu,” kata Catherine lalu di tangannya muncul cahaya dan cahaya itu masuk ke tubuh Sena. Menyembuhkan sesama penyihir memang sedikit sulit, beberapa kali Catherine menghela nafas.
“Jangan paksakan diri.” Kata Sena menghentikan nyanyinya.
“Terus lah bernyanyi! Aku baik-baik saja.” Kata Catherine, akhirnya Sena melanjutkan nyanyiannya tapi Sena sedikit tidak konsen karena khawatir tenaga Catherine habis dan malah tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Baik Catherine maupun Sena sama sekali tidak menyadari ketika salah satu prajurit mesin berhasil bertahan dari serangan Sena dan sudah di belakang Catherine. Prajurit itu pun mengeluarkan tinjunya, ketika Catherine sadar ada prajurit di belakangnya, dia tidak bisa mengelak, tinju prajurit mesin tepat telak mengenai punggung Catherine. Catherine tersungkur begitu juga dengan Sena yang ada di sebelahnya.
“Catherine! Kamu baik-baik saja?” Pekik Sena,
“Jangan khawatir…” Kata Catherine lirih sambil merintih. Tapi Sena tetap khawatir dan dia lebih khawatir ketika punggung Catherine muncul air yang tidak bisa berhenti. Sena melihat prajurit-prajurit sudah bisa bergerak dan mulai mendekat ke arah Sena dan Catherine. Sena berpikir dia tidak mungkin bisa menyanyi untuk menyerang mereka sambil melakukan penyembuhan. Akhirnya Sena memutuskan untuk menggunakan mantra. Dengan sisa-sisa ingatan tentang mantra sihir, Sena mulai melafalkan mantra pendek.
Protect!” Seru Sena dan sebuah dinding cahaya mulai membentuk lingakaran yang melindungi mereka berdua yang ada di dalamnya. Sena pun melihat Catherine yang tubuhnya penuh dengan lelehan air. Sena takut melihatnya, bukankah manusia itu jika terluka mengeluarkan darah? Tapi kenapa ini air? Dan kenapa air ini terus mengucur? Tapi Sena berusaha tenang dan kali ini Sena pun memutuskan untuk melafalkan mantra saja karena lebih cepat.
“Aku tidak tahu kamu bisa melafalkan mantra juga…” Kata Catherine sambil memaksakan sepotong senyum.
“Bagaimana pun juga dulu aku pernah belajar, walaupun aku lebih suka bernyanyi. Ah lupakan tentang mantra! Sekarang aku akan menyembuhkanmu!” Saat Sena akan melafalkan mantra, Catherine mencegahnya.
“Sena… Percuma kamu menyembuhkanku, air ini tidak akan berhenti sampai badanku lenyap.”
“A-Apa… Apa maksutmu?”
“Aku akan mati lagi.” Kata Catherine sambil tersenyum.
“Kenapa?” Tanya Sena panik.
“Aku dulu sudah pernah mati… ketika aku di hidupkan kembali oleh Riku, hanya nyawaku yang kembali. Semua orang yang di hidupkan kembali biasanya tidak sekuat ketika sebelum mati. Karena itu aku ke kota Mage untuk melatih badanku agar tidak mudah hancur dan belajar sihir penyerang. Mungkin sekarang sudah akhir batas dari tubuhku…”
“Tapi… Kalau kamu sudah tahu begini kenapa harus ikut dengan kami?“ Sena mulai menitikkan air matanya dan kali ini Sena melihat dengan jelas ketika badan Catherine semakin lama semakin luntur dengan turunnya air yang ada di tubuhnya.
“Sena, aku minta maaf karena membuatmu menderita. Riku hanya masa laluku…”
“Tidak! Aku tidak merasa begitu! Riku saja yang bodoh!”
“Sebenarnya Riku juga menyukaimu, dia memang tidak bisa mengatakan perasaanya…” Catherine memegang tangan Sena. “Tolong jaga Kei… Ken dan Riku… Berbahagialah dengan mereka terutama dengan Riku…”


Badan Catherine semakin lama semakin menghilang. Sena memegang tangan Catherine dengan tersedu-sedu . Pada akhirnya tingal jubah milik Catherine yang tersisa. Sena memegang jubah milik Catherine lalu dia pun menangis. Tapi Sena sadar, tak ada gunanya untuk menangis.. Sena membersihkan air matanya lalu dia berdiri sehingga membuat sihir protect-nya hancur. Lalu Sena melihat prajurit-prajurit mesin itu dengan marah. Sena memegang micsnya dengan kencang kemudian dia mulai melafalkan mantra yang cukup panjang. Sebenarnya dia sendiri belum terlalu bisa dengan sihir yang akan digunakannya sihir yang cukup berbahaya jika digunakan oleh penyihir kelas menengah ke bawah. Tapi Sena tidak peduli, hanya sihir ini yang paling kuat yang pernah dia pelajari di sekolahnya. Saat Sena telah usai melafalkan mantranya, dia mengacungkan kedua tangannya keatas dan Sena pun berteriak.
Meteor!!!”
***
Mayat-mayat prajurit bergelimpangan di tanah dan darahnya pun sudah berceceran kemana-mana. Namun Riku sama sekali tidak jijik karena dia memang sudah terbiasa dengan pemandangan yang seperti itu. Dengan santainya dia melangkah ke pintu tempat Kei dan Ken berada sambil mengembalikan tenaganya yaitu dengan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Awalnya Riku bingung memilih untuk membantu Kaze atau membantu Kei-Ken. Tapi setelah di pikir ulang sebaiknya dia menolong Kei-Ken dulu lalu Sena-Catherine baru membantu Kaze. Riku juga yakin Kaze bisa menanganinya sendiri karena dia cukup kuat. Sampailah Riku ke ruangan tempat Kei dan Ken bertarung. Riku melihat di sana ada beberapa prajurit mesin yang sudah mati tapi daripada yang mati yang hidup masih sangat banyak. Dan Riku terkejut ketika melihat prajurit-prajurit itu mengerumuni sesuatu. Mungkinkah Kei-Ken… Agak panik Riku pun segera menyingkirkan para prajurit dengan menebasnya menggunakan sabitnya. Akhirnya Riku pun bisa melihat sebuah cahaya bundar yang di dalamnya terdapat Kei dan Ken.
“Hei kalian berdua baik-baik saja?” Kata Riku lalu mengetuk cahaya tersebut. Sontak Kei dan Ken pun terkejut bercampur gembira, mereka memecahkan sihir protect-nya lalu segera melompat memeluk Riku.
“Riku!” pekik Kei dengan gembira.
“Akhirnya kamu datang,” Kata Ken.
“He... Jadi hanya itu kemampuan kalian.” Ujar Riku meledek.
“Kalau saja peluru kita tidak habis, kita pasti menang.” Kata Ken lalu cemberut sambil menonjok pipi Riku.
“Kok aku malah di tonjok sih,
“Ken jangan nakal! Nanti Kak Riku gamau menolong kita!” Kata Kei dengan nada sedih hampir menangis.
“Maaf Kei… Riku nyebelin sih…”
“Sudah-sudah… kalian berdua tenang saja, kalian di sini saja.” Riku melepas pelukan Kei-Ken lalu dia berdiri dan melihat prajurit-prajurit mesin itu sambil menyeringai. Dengan cepat Riku menyerang prajurit-prajurit mesin dengan sabitnya lalu dia mulai mengcapkan mantra. Setelah selesai mengucapkan mantra, Riku segera menggendong Kei dan Ken. Sambil menggendong mereka, Riku pun lari ke pintu tempat Sena-Catherine sambil berucap.
Hurricane.” Muncul angin topan yang dahsyat merusak 1 ruangan itu beserta prajurit-prajurit yang ada di dalamnya. Untungnya tepat di saat Riku, Kei dan Ken sudah berada di ruangan selanjutnya.
“Tadi berbahaya sekali! Telat sedikit kita sudah jadi sate.” Kata Ken.
“Yang penting semjua prajurit di sana sudah mati semua kan, nah cepat kalian berdua turun. Berat tahu!” Kei dan Ken pun segera turun dari punggungnya. Lalu mereka bertiga melihat seluruh isi ruangan ini, semua prajurit mesin sudah mati tapi mereka tidak melihat dimana Sena dan Catherine berada karena yang terlihat hanya badan prajurit mesin.
“Ah itu mungkin Kak Sena!” Pekik Kei sambil menunjuk ke salah satu gadis yang mungkin pingsan di tengah-tengah prajurit. Mereka bertiga pun segera lari ke tempatnya. Dan benar saja, Sena memang pingsan dengan luka yang cukup parah, rambutnya yang sudah tidak terkucir lagi dan jubahnya yang robek. Riku merasa sangat bersalah ketika melihatnya karena tidak bisa melindunginya. Riku pun memeluk Sena dengan sedih lalu Riku mulai mengeluarkan sihir Heal . Begitu juga dengan Kei dan Ken yang segera menyembuhkan Sena.
“Omong-omong, mama kemana ya?” Tanya Ken ke Kei berbisik. Entah karena Sena mendengar bisikan Ken atau mungkin karena hal yang lainnya, Sena mulai menggerakkan jemarinya. Perlahan namun pasti Sena membuka matanya. Baik Riku, Kei dan Ken pun senang melihat Sena sudah siuman. Tapi ketika Sena sudah menyadari siapa saja yang ada didekatnya, dia langsung mendorong Riku.
“Aku memang tidak berguna…” kata Sena sambil memegang erat jubah Catherine yang ada di bawahnya.
“Apa maksutmu?” Tanya Riku cemas, dia masih menyembuhkan luka Sena.
“Cukup untuk penyembuhannya…” Kata Sena lirih, dia lalu mencoba untuk berdiri, saat Riku mau membantunya Sena mengelak. “Aku bisa sendiri…” Kata Sena sambil menyingkirkan tangan Riku yang memegang lengannya.
“ Kamu kenapa?” Tanya Riku heran. Ketika di tanya seperti itu mata Sena mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk menyembunyikannya. Walaupun begitu Riku sudah melihatnya, belum sempat Riku bertanya tiba-tiba Sena terjatuh ketika akan berjalan. Riku, Kei dan Ken pun langsung membantu Sena.
“Kak Sena patah tulang…” Kata Kei saat dia memegang kaki Sena.
“Aku memang bodoh, begini saja sudah patah tulang…” Kata Sena dengan nada datar.
“Sena!” Pekik Riku kaget karena mendengar perkataan Sena yang tidak wajar itu, tapi justru Sena melihat Riku dengan tatapan marah.
“Apa?! Kamu juga seharusnya lebih memikirkan orang yang sudah kamu hidupkan! Melindunginya! Dan jangan membuat dia harus sekelompok dengan orang lemah sepertiku!” Bentak Sena. Riku, Kei dan Ken pun kaget dengan bentakan Sena. Dan di antara ketiga orang itu yang mengerti maksut Sena hanya Riku. Riku terdiam mendengar perkataan Sena sedangkan Kei dan ken terdiam karena takut dengan bentakan Sena. Riku melihat benda yang daritadi digenggam Sena ternyata itu memang jubah milik Catherine. Riku pun merasa sangat sedih,
“Jadi untuk kedua kalinya aku tidak bisa melindunginya…” Kata Riku lesu. Dia melihat ke arah Kei dan Ken yang masih keheranan, lalu Riku duduk di sebelah mereka dan memeluknya. “Ucapkan selamat tinggal pada mama-mu, Kei, Ken” kata Riku pelan. Kei dan Kei termenung sesaat, seperti sedang memahami perkataan Riku. “Kei… Ken… Mama-mu sudah di surga…” Mendengar kata-kata Riku kali ini, Kei dan Ken pun langsung menangis. Di peluknya kedua anak kecil itu dengan erat oleh Riku. Sedangkan Sena menundukkan kepalanya untuk menahan air matanya.  Riku melihat Sena dengan iba, Riku melepas pelukan Kei dan Ken dan dia duduk menghadap Sena.
“Ini bukan salahmu…”
“Kamu seharusnya marah karena kamu tidak bisa melindungi orang yang kamu cintai!”
“Aku tidak marah… Aku hanya menyesal… Apakah aku sudah tidak cinta lagi dengannya?” kata Riku lalu menunduk.
“Jangan tanya padaku…” kata Sena sedikit lunak namun masih menundukkan kepalanya. Riku menatap Sena, lalu di pegang tangannya dengan lembut. Riku mulai menyembuhkan Sena kembali. Tiba-tiba Sena menggenggam tangan Riku dan memeluknya. Sena pun langsung menangis dengan keras di pelukan Riku.
***
Aku berlari menyusuri lorong yang sangat panjang ini sambil menggendong Kyou. Entah sudah berapa lama aku berlari untuk mencapai pintu selanjutnya. Cukup melelahkan dan agak sedikit susah bernafas karena di lorong ini sama sekali tidak ada lubang fentilasi.
“Ayah, di sana ada pintu!” pekik Kyou dan memang benar di sana ada sebuah pintu.
“Semoga ibumu ada di sana,” kataku sambil tersenyum dan berharap. Aku mempercepat lariku dan akhirnya kami sampai di… Ruangan yang mengerikan… Ruangan ini tidak sebagus ruangan yang sebelumnya, ruangan ini justru terlihat seperti ruang dalam gua biasa namun lebih terang dan banyak ceceran darah. Aku memang sudah sering melihat tempat yang mengerikan dan penuh darah tapi ketika mengingat Kana yang ada di dalam sini… aku merasa sangat takut. “Ayo kita cari ibumu…” kataku kepada Kyou sambil melihat isi ruangan dan menahan rasa takutku. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki seseorang, seseorang mendekati kami dengan santai dan ternyata itu adalah Ketua Senu!
“Wah… wah ada tamu rupanya…” Kata Ketua sambil tersenyum tanpa dosa.
“Kamu kemanakan para healer?”
“Tenang saja. Mereka semua aman di ruang sebelah kecuali healer yang memberontak…” kata Ketua dengan santai, tapi entah kenapa aku merasa kakiku terasa dingin. “Sudah lama kita tidak bertemu, sekarang bertemu kamu malah menyambutku dengan kasar. Kemana sopan santunmu yang dulu?” Kata Ketua lalu dia melihat aku kemudian Kyou dengan tajam. Lalu dia tersenyum, “Jadi dia anakmu? Cucuku?” Aku kaget mendengar pertanyaan Ketua.
“Dia anakku tapi bukan cucumu!” kataku sengit, apaan tuh mengaku-ngaku jadi kakek dari Kyou. Ketua pun tersenyum kecut,
“Jadi kamu memang tidak tahu siapa aku… Nama asliku adalah Harikeen. Apakah Kaze tahu siapa aku?” Aku tersentak mendengarnya, aku tidak pernah lupa nama itu. Nama yang selalu membuatku ingin bertemu orang itu dan membuatnya meminta maaf pada Ibu. Aku menatap Ketua dengan bingung campur kesal.
“Apa maksudmu? Namamu adalah Senu!”
“Itu adalah nama samaranku, kamu tahu dengan nama asliku aku tidak mungkin menjadi Ketua seperti sekarang. Duduklah, aku akan menceritakan semuanya.” Aku diam saja, tidak mengikuti perintah atau saran dari Ketua. Ketua pun hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan ceritanya. “Istri pertamaku adalah seorang ratu dan dia adalah healer. Dari dulu aku memang terobsesi untuk menikah dengan penyihir walaupun menikah dengan ratu di luar rencanaku. Aku hidup berkecukupan tapi istriku tidak kunjung hamil. Karena itulah aku berselingkuh dan selingkuhanku adalah ibumu, Kaze.” Ketua terdiam sejenak. Aku tidak memandang wajah Ketua, rasanya sakit sekali karena itu Ibu menjadi menderita. “Saat itu sangat jarang menemui mage apalagi seorang warlock, karena itu aku berusaha mendekatinya, kami pun menikah diam-diam dan kamu lahir. Sayangnya kamu lahir bukan sebagai warlock  ataupun mage karena itu aku mejauhi ibu mu. Lalu perselingkuhanku terdengar ke seluruh warga sampai ke istri pertamaku. Mungkin karena itu lah dia terkena serangan jantung. Aku di usir dari istana, dan kembali ke rumahmu dan ibu mu. Hanya di sanalah aku bisa berteduh, di beri makan, dan di beri kekuatan oleh ibumu. Aku semakin kuat baik dengan sihir ataupun tanpa sihir. Pihak kerajaan ternyata masih dendam kepadaku karena itulah aku bertarung dengan kerajaan dan tanpa sadar 10 tahun sudah berlalu dan aku sudah menjadi Ketua dari prajurit bekas kerajaan dan dapat menaklukan kerajaan itu. Lalu ketika aku kembali ke rumahmu... Hanya kamu Kaze yang tersisa...” Jadi itulah kenapa Ketua memungutku dan terkadang menganakemaskan diriku… Aku kesal bercampur iba tapi kebanyakan adalah kesalahan Ketua karena itu, aku tidak mungkin mundur lagi. Aku menurunkan Kyou, lalu aku bersiap untuk mengambil pedangku.
“Tetaplah disini, jangan kemana-mana.” Kataku menasehati Kyou, Kyou mengangguk lalu aku melihat Ketua. “Aku kesini untuk membunuh otak dibalik penangkapan healer dan karena kamu mengaku sebagai ayahku, aku akan membunuhmu karena sudah membuat ibu menderita.” Kataku dingin.
“Aku lah yang memimpin penangkapan healer, tapi aku beri saran sebaiknya Kaze tidak membunuhku karena aku jauh lebih kuat dari dulu.”
“Aku juga,” kataku dengan sinis.
“Berkat para healer-healer itu sekarang aku jauh lebih kuat…” Deg! Aku merasa jantungku berhenti sejenak, apakah itu maksudnya…
“Apa itu berarti kamu membunuh semua healer?!” kataku pedih.
“Tidak-tidak semua, ada seorang healer yang lebih memilih bertarung.” Apakah dia… apakah dia… “Dia hanya mengeluarkan satu serangan dan cukup membuat hampir dari seluruh prajurit yang ada diruangan healer terbunuh. “
“Bagaimana ciri-cirinya…” tanyaku lesu.
“Cantik, berambut panjang lalu….” Cras! Aku menghunuskan pedangku ke badan Ketua namun hanya mengenai sedikit bajunya, ternayata Ketua cukup cepat juga. “Hei. Kenapa tiba-tiba menyerang?”
“Dia adalah istriku!!!” Sekali lagi aku menghunuskan pedangku namun tidak meneganai Ketua lagi. Aku menyerang Ketua dengan membabi buta, aku merasa sangat marah karenanya. “Kalau saja kamu tidak menangkap healer, Kana tidak akan…!” Tiba-tiba tangan Ketua mulai bersinar dan sinar putih pun menghantam dengan cepat ke perutku. Aku menabrak tebing yang sangat keras dan itu membuat punggungku terasa sakit sekali.
“Ayah…” kata Kyou cemas. Aku berusaha untuk berdiri, namun dengan cepat Ketua memukulku dengan tangan kosong.
“Apa kamu sudah menyerah? Kamu tidak mungkin bisa membunuhku.” Dan perkataan itu membuatku merasa diremehkan. Aku menahan pukulan Ketua dengan pedangku dan kutebaskan pedangku agar Ketua menjauh dariku, dengan segera aku mengganti pedangku dengan panah dan aku pun melepaskan anak panah ke arah Ketua. “He… Menggunakan senjata kuno?” Dengan mudah Ketua menghindar anak panahku dan aku tersenyum, panah itu pun berbalik dan langsung mengenai punnggung Ketua.
“Jangan remehkan panahku ini, panah ini lebih kuat dari pedangku .”
“Hehe, ternyata kamu memang bertambah kuat.” Ketua melepas anah panah yang menancap di punggungnya dan dia merasa nyeri, “Cih… Ternyata ada racunnya, baik lah karena kamu sudah menggunakan 2 senjatamu maka aku pun akan mengeluarkan senjataku.” Tangan Ketua mulai bersinar dan cahaya putih pun menyelimuti tangannya. “Aku tidak akan segan lagi, Kaze.” Aku segera menjauh ketika Ketua mulai menyerangku, tiba-tiba tangan Ketua mulai membentuk sebuah pistol dan pelurunya dengan cepat mengikutiku. “Bagaimana senjataku ini? Bagus kan?” Aku menangkis peluru dengan panahku lalu aku naik ke atas tebing dan melompat tepat di atas Ketua sambil membayangkan api. Api muncul dari tongkatku dan membakar Ketua dengan cepat. Aku mendarat di tanah dengan selamat, dan melihat Ketua yang sedang tunggang langgang. Namun Ketua cukup pintar, dia pun langsung menggunakan sihirnya untuk mengehentikkan api itu.
“Menggunakan panah agar bisa mengeluarkan sihir? Aku baru tahu cara curang seperti itu.” Kata Ketua agak terlihat kecapekan. Aku diam saja tidak menanggapi ucapan Ketua. Ketua menghirup udara banyak-banyak dan langsung saja dia menyerangku dengan tangannya yang kini berubah menjadi tombak. Aku menahannya dengan panahku, tiba-tiba aku merasa punggung terasa sangat sakit, ternayata tangan Ketua yang satunya lagi berubah menjadi pistol dan pelurunya sudah menghujam punggungku. Darah segar muncul dari mulutku, tanpa ampun lagi tombak milik Ketua langsung menghujam perutku tapi aku tahu Ketua menusukkan tombaknya di daerah yang tumpul tapi tetap saja terasa sakit.
“Kenapa menggunakan yang tumpul? Kalau aku mati maka semua rencana jahatmu tidak akan ada yang mengetahui kan…” ujarku pelan.
“Aku masih ingin bersenang-senang dengan sihir baruku,” Ketua tersenyum licik. Aku memegang tombak Ketua lalu mematahkannya dengan mudah lalu kini giliranku untuk menyerang Ketua dengan pedang dan panahku. Kali ini seranganku kebanyakan tepat mengenai Ketua, aku akui karena Ketua kini tak secepat tadi. Namun aku baru menyadari ternyata Ketua menahan seranganku sambil mengucapkan mantra. Sedikit panik aku cepat-cepat memukul mulut Ketua agar dia berhenti mengucapkan mantra. Sayangnya aku terlambat,dari tubuh Ketua muncul cahaya merah yang dengan cepat membesar dan langsung membuatku terdorong dan lagi-lagi menabrak tebing kali ini lebih menyakitkan dan darah segar muncul dari mulutku. Badanku terasa lemas, namun aku mencoba untuk sedikit menyembuhkan lukaku. Terhuyung-huyung aku mencoba untuk berdiri, aku melihat Ketua yang sedang di selimuti dengan cahaya merah dan sebuah cahaya yang mirip anak panah tepat di atasnya. Ketika melihat anak panah itu aku mengetahui Ketua mengarahkan anak panahnya itu kemana dan aku merasa takut. Ketua bukan mengarahkan serangannya kepadaku tapi kepada Kyou. Sejenak aku melupakan rasa sakitku, aku berlari mendekati Kyou. Aku harus menyelamatkannya… Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi lagi… Segera kupeluk Kyou dan serangan itu dengan cepat melesat menusuk punggungku. Punggung terasa terkoyak, aku yakin punggungku kini penuh dengan darah. Mulutku pun juga memuncratkan darah dan diantaranya mengenai pipi Kyou.
“Ayah… Ayah…” Kata Kyou panik.
“Maaf Kyou… Ayah baik… baik… saja…”kataku sambil berusaha tersenyum lalu membersihkan darahku yang mengenai pipi Kyou. Kulihat Ketua kini sudah didekat kami dan kini sedang memegang pedang dan panahku.
“Kamu tidak bisa apa-apa tanpa senjata ini,” Ketua membuang pedangku ke sebelah kanan dan panahku ke sebelah kiri, keduanya sama-sama jauh. Lalu Ketua mengarahkan pedang ke arah kami.
“Menyeralah, Kaze. Jika kamu menyerah kamu boleh ikut denganku lagi.”
“Terima kasih… Tapi aku menolak…” Aku mengangkat tanganku mengarah ke Ketua lalu muncul cahaya dari tanganku dan muncullah duri tipis yang langsung melesat menusuk dada Ketua. Ketua kesakitan dan kaget bukan kepalang, karena aku yakin dia belum mengetahui kalau aku sekarang adalah Warlock.
“Ka-Kau…” kata Ketua dengan agak marah.
“Sekarang… aku adalah Warlock… “ Kataku masih dalam posisi tidur, “Ibu sebenarnya juga Warlock, sayangnya dia mengunci kekuatannya sendiri sehingga ketika aku lahir pun kekuatanku terkunci.” Lanjutku.
“Begitu… Kalau begitu, sekarang aku tidak ragu lagi untuk membunuhmu!!” Ketua menebas pedangnya namun dia malah terlempar. Kenapa? Aku berusaha untuk bangkit dari tidurku dan kini aku melihat bahwa Kyou membuat dinding cahaya!
“Aku lindungi ayah!” Kata Kyou dengan bersemangat, melihatnya bersemangat aku merasa sangat bangga dan rasa sakitku pun hilang. Aku berdiri dan memegang kepala Kyou.
“Ayo kita serang penjahat itu,” kataku sambil tersenyum. Kyou mengangguk.
***
Riku, Sena, Kei dan Ken berlari menyusuri lorong yang sangat panjang. Mereka berusaha cepat namun memang sulit untuk berlari dengan udara yang sedikit. Sena yang tidak lari pun sudah beberapa kali pingsan untungnya dia sedang digendong Riku.
“Kei, Ken apakah kalian baik-baik saja?” Tanya Riku terengah-engah.
“Kami baik kok,” kata mereka berbarengan. Riku menengok Sena yang entah sedang tidur atau pingsan. Tiba-tiba Sena membuka matanya sedikit, lalu dia melihat Riku yang juga sedang melihatnya.
“Selamat pagi, kamu baik-baik saja?” kata Riku tersenyum.
“Maaf aku tadi pingsan lagi ya,”
“Tak apa, lanjutkan saja tidurmu, kamu akan mengeluarkan tenaga lagi di pintu berikutnya.” Sena tersenyum kecut mendengar perkataan Riku. Lalu dia melihat ke langit-langit.
“Bau hujan…” kata Sena lirih. Riku, Kei dan Ken menutup mata mencoba merasakan bau hujan.
“Sepertinya begitu, aku suka baunya.” Kata Kei.
“Aku samar-samar mendengar hujan yang deras di luar. Aku jadi ingin hujan-hujanan” Kata Ken disetujui Kei.
“Nah ayo kita cepat bantu Kaze dan Kyou sehabis itu kita bisa hujan-hujanan bersama.” Kata Riku dan disoraki oleh Kei dan Ken. Mereka melihat ada cahaya yang tidak jauh dari mereka, mereka pun mempercepat larinya. Sampailah mereka di ruangan yang mirip gua dan penuh darah dan disana ada Kyou dan Kaze yang sedang bertarung melawan seseorang. Kombinasi Kaze dan Kyou menghasilkan sebuah sihir yang sangat menakjubkan.
“Kyou itu mage?” Kata Kei terkejut.
“Ya… Karena Kaze sendiri sebenarnya adalah Warlock. “ ujar Riku sambil tersenyum.
***
Hujan turun dengan deras diruangan ini, aku baru tahu kalau ternyata ruangan ini tidak ada atapnya. Walaupun kami kehujanan, aku dan Kyou tetap bersemangat melawan Ketua. Aku mengeluarkan api yang kugabung dengan angin sedangkan Kyou mengeluarkan es  yang juga digabungnya dengan angin dan ternyata elemen yang bertolak belakang itu menghasilkan sesuatu sihir yang menakjubkan. Mati-matian Ketua menahan serangan kami, walaupun Ketua mengeluarkan sihir pelindung, sihirnya mudah pecah karena tidak kuat menahan sihir kami. Tiba-tiba dari tangan Ketua muncul asap putih dan merah asap itu pun terus meneyelimuti hingga ke tubuh Ketua. Karena itu serangan aku dan Kyou pun tidak mempan lagi terhadapnya. Melihat asap itu aku jadi teringat, aku tahu apa yang Ketua akan lakukan. Asap itu pertanda bahwa Ketua akan mengeluarkan sihir yang berbahaya. Dari buku yang diberi Sony, aku mengetahui bahwa asap itu muncul ketika seseorang akan mengeluarkan sihir yang berbahaya bagi yang terkena maupun dirinya sendiri. Sihir itu tidak bisa dihentikkan dan tidak bisa dihindar.
“A...ku pernah menggunakannya... Saat... N-nenekku dibunuh... Waktu itu... Aku takut sekali... Aku tidak bisa berbuat apa-apa... Saat tentara-tentara itu mendekatiku... A-aku menggunakan sihir itu... Bukan hanya satu orang yang kubunuh...Aku membunuh semua tentara itu...” Aku teringat kata-kata Kana dulu, mungkinkah sihir itu bisa membunuh kita semua yang ada disini? Aku menggenggam tanganku dengan erat lalu aku berjongkok dihadapan Kyou,
“Kyou… jadilah anak yang kuat… baik hati dan selalu menolong orang lain ya…” Aku memeluk Kyou dan mencium dahinya, “Maaf ya mungkin ayah tidak bisa menemanimu lagi, hiduplah bahagia dan jangan merepotkan Sena dan Riku ya…” Kyou mengangguk. “Larilah ke tempat mereka, bilang Riku untuk membuat sihir pelindung yang tebal.” Tanpa basa-basi lagi, kudorong Kyou agar cepat beralri menuju Riku dan yang lainnya. Saat Kyou sampai didekat mereka dia pun pilang,
“Kata ayah buat sihil pelindung yang tebal,” Riku pun mengangguk.
“Ayo Kei, Ken buat sihir pelindung yang tebal. Kerahkan seluruh kekuatan kalian untuk melindungi kita bersama.” Kei dan Ken mengangguk, lalu mereka membuat sihir pelindung yang mengelilingi mereka semua.
“Tunggu dulu, bagaimana dengan Kaze?” kata Riku panik. Aku mengacungkan jempolku ke arah mereka, lalu aku mengambil pedangku dan mengeluarkan sihir racun tingkat tinggi yang sekarang menyelimuti pedangku, kemudian aku berjalan mendekati Ketua.
“Jangan Kaze! Jangan!!” pekik Riku. Lalu dia berlari mendekatiku sambil masih menggendong Sena. Aku berbalik lalu kutepuk lengan Riku yang sudah disebelahku.
“Tolong jaga Kyou, juga semuanya. Dan bahagiakan Sena,” kataku sambil tersenyum lalu kutepuk juga tangan Sena. “Semoga kalian hidup bahagia,” Riku hanya menunduk mendengarkanku sedangkan Sena menangis terisak-isak dipunggung Riku. Lalu aku mendorong mereka semua dengan sihir anginku sehingga mereka kembali didekat Kei, Ken dan Kyou. “Kei, Ken semoga kalian hidup bahagia!” teriakku sambil melambaikan tanganku, mereka balas melambaikan tangan sambil meneteskan air mata. Ketika aku melihat Kyou aku pun tersenyum kepadanya. Kyou membalas senyumku dengan senyumannya yang mirip Kana. Dan terakhir aku melihat Ketua yang masih akan mengeluarkan sihirnya. Baik ayah, ayo kita selesaikan ini. Dengan sekali hentakan, aku meluncur mendekati Ketua kupegang pedangku dengan erat siap untuk menghujam jantung Ketua. Aku mengerahkan seluruh tenagaku dan sihirku yang semuanya berkumpul dipedangku. Dan Jleb!! Pedangku tepat menusuk di bagian jantung Ketua dan sihirnya pun membludak dan menerjang bagai topan yang sangat besar. Riku , Kei dan Ken membuat sihir perlindungan sayangnya itu cepat rusak dan hanya bertahan beberapa detik sehingga mereka harus selalu mengucapkan mantra agar sihirnya terus bertahan. Kyou pun mencoba menggunakan sihir perlindungan dan itu cukup meringankan beban Riku, Kei dan Ken.
“Bagus, Kyou! Terus ucapkan mantranya!” seru Riku.
“Kau keren Kyou!” Kata Kei dan Ken berbarengan. Kyou pun tersipu.
“Jurus ini berlagsung selama 30 menit, kalian semua bertahanlah…” kata Riku. Tiba-tiba dinding pelindung itu semakin tebal dan cukup untuk bertahan selama beberapa menit, Riku menoleh ke Sena dan memang dia lah yang melakukannya.
“Aku sudah lebih baik,” kata Sena sambil tersenyum. Riku pun tersenyum lalu dikecupnya bibir Sena dengan lembut. “Ayo kita berjuang bersama, untuk Kaze, Kana dan Catherine… ” Kata Sena sambil tersipu. Mereka semua pun akhirnya bisa bertahan selama 30 menit.
 Hujan masih mengguyur seluruh ruangan ini tanpa henti. Langit malam yang tampak kelam itu sungguh mirip dengan keadaan ku yang masih memegang erat pedangku yang tercampur darahku dan darah... ayahku…
“Aku sudah membunuhnya Kana…” kataku pelan sambil melihat pria yang tergeletak di hadapanku.  Di depanku dengan bermandikan darah dan tubuh yang terlihat pucat dan beku. “Maafkan aku, ayah…” entah kenapa setelah aku mengatakan itu aku merasa bibir Ketua teruntai senyum simpul namun penuh kedamaian. Apakah dia senang dipanggil ayah? Apakah dengan ini semua selesai? Kupejamkan mataku sesaat, saat aku membuka mataku aku melihat ada sesuatu yang bercahaya hingga di bahuku. Dan itu adalah kupu-kupu?  Lama- lama kupu – kupu itu terus bertambah , bertambah dan bertambah. Seketika hujan pun reda dan aku mengetahui sumber munculnya kupu – kupu itu Ku lihat dia… Istriku… Kana… Dia berdiri di depanku sambil tersenyum,  senyuman yang selalu membuat hatiku sejuk.
“Kana…” Aku menitikkan air mataku, aku menunduk sambil menangis aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Kau pasti lelah… Kau harus istirahat tapi mungkin kita harus berpisah dengan semuanya…” Kana melihat ke semuanya terutama ke Kyou. Kyou yang mengetahui itu ibunya langsung berlari dan melompat memeluk Kana.
“Ibu…”
“Kyou…”
“Tadi Kyou bawa loti!” kata Kyou bersorak lalu dia memeriksa samping bajunya tapi tidak ada roti yang dimaksud dan dia pun kecewa. “Yah… Lotinya hilang… Padahal itu buat ibu…” Kana menitikkan air matanya lalu diciumnya pipi dan dahi Kyou.
“Terima kasih ya, ibu sangat senang.” Diturunkannya anak semata wayangnya lalu Kana beralih melihat Riku dan yang lainnya.
“Riku, Sena, Kei dan Ken terima kasih semuanya. Tolong jaga Kyou… Maaf ya akan merepotkan kalian...”
“Tidak akan merepotkan, itu pasti akan menyenangkan!” kata Ken. Kei pun mengangguk, Kana tersenyum melihatnya. Lalu aku dan Kana saling berpandangan, kemudian dia memberikan tangannya kepadaku, kupegang tangannya dengan lembut.

 Aku dan Kana melihat Riku, Sena, Kei, Ken dan Kyou. Lalu aku dan Kana bersama-sama membunggkukkan badan,
“Terima kasih atas bantuan kalian semua, aku titipkan Kyou pada kalian.” Kata kami berbarengan.
“Tidak perlu seperti itu, itulah gunannya teman.” Kata Sena haru.
“Sekarang sudah saatnya…” Kata Kana lirih, Segera kupeluk Kyou terlebih dahulu kemudian kucium dahi dan pipinya begitu juga Kana. Tiba-tiba Kyou mencium pipi kami juga, aku dan Kana pun tersenyum bahagia. Lalu kuturunkan Kyou, aku melambaikan tanganku pada semuanya kemudian aku dan Kana berbalik  kugandeng tangan Kana dengan lembut. Kulihat semuanya sedih dan menitikkan air mata kecuali Riku. 






Perlahan aku dan Kana berjalan sambil sesekali menengok kebelakang dan kami pun semakin jauh dengan mereka. Aku sedih harus meninggalkan semuanya terutama Kyou tapi aku sendiri sekarang hanya tinggal nyawa. Walaupun begitu aku sangat bahagia akhirnya aku bisa pergi ketempat dimana tidak ada yang mengincar nyawa Kana dan inilah jalanku…
***
XI
Sena membersihkan debu yang menempel di pigura yang ada didinding, foto pernikahannya dan foto liburan bersama keluarga. Sekarang benar-benar damai! Pikir Sena bahagia, tapi ada sesuatu yang dia tidak suka di Kota Mage ini. Sekarang Sena harus memulai karirnya dari nol. Bukan hanya di Kota Mage dia tidak begitu banyak yang mengenalnya, banyak artis disini yang menggunakan sihir untuk konser sehingga sulit untuk menembus pasar di Kota Mage. Sena duduk dikursi ruang tamu lalu direnggakannya tubuhnya yang pegal karena habis bersih-bersih. Kemudian dia melihat jam, Riku pasti pulang malam hari ini dia sangat sibuk dengan pekerjaanya apalagi dengan gelar “Feng” dia selalu dibutuhkan banyak orang. Sekarang Riku sangat terkenal malah sebenarnya dia memang sudah terkenal dari dulu di kota ini. Gelar “Feng” memang jarang orang untuk mendapatkannya dia harus bisa menjadi seorang sorcerer tingkat tinggi di usia muda. Sena juga sorcerer tapi hanya abal-abal maksudnya sorcerer tingkat rendah. Karena gelar itu pula Sena turut menjadi terkenal bukan karena nyanyiannya namun karena dia adalah Nyonya Feng. Walaupun bangga karena prestasi suaminya, Sena merasa ingin dikenal juga karena nyanyiannya. Tapi Sena bersyukur dengan semua ini, dan sekarang dia juga punya anak tentu saja anak angkat. Kei, Ken dan Kyou sekarang sudah sekolah, sekolah dengan tingkatan yang berbeda karena Kei dan Ken berbeda umurnya dengan Kyou. Kei dan Ken sudah besar karena itu juga dia sulit untuk menghilangkan kebisaan lama dengan memanggil Riku dan Sena dengan sebutan “Kak”. Berbeda dengan Kyou, sekarang Kyou sudah bisa memanggil Sena dengan “Mama” dan Riku dengan “Papa”. Akan berbeda artinya jika Kyou memanggil “ayah-ibu” karena yang dimaksud adallah bukan mereka. Tiba-tiba mata Sena tertuju pada sebuah buku diatas meja, mungkin itu buku milik Riku,pikir Sena. Diambilnya buku itu lalu dibacanya dengan seksama. Ternyata isinya adalah catatan kematian Mage dan Healer 5 tahun lalu hingga sekarang.Sena melihatnya dengan cepat namun pada tahun ke 3 dia mulai membacanya dengan perlahan. Dan dia pun menemukan 2 foto orang yang dikenalnya. Dilihatnya perlahan riwayat keluarga 2 orang ini. Yang perempuan memiliki ayah seorang Warlock dan ibunya adalah Cardinal. Oh aku baru tahu… Pikir Sena dalam hati. Kemudian yang laki-laki ayahnya adalah manusia biasa sedangkan ibunya adalah Warlock. Jadi karena itu tanpa dia sadari ternyata dia adalah Warlock. Sena tersenyum sedih melihat kedua foto ini. Sekarang mereka berdua sudah bahagia didunia sana. Saat Sena akan menutup bukunya, dia melihat ada sesuatu yang sama diriwayat keduanya yaitu status menikah dan anak yang ditinggalkan … Kyou.
~Tamat~

















Light novel

Rabu, 12 September 2012
Posted by Hime Bin-tan

// Copyright © Hime Bin-tan //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //