Newest Post
Wings
Light 1
~Prince Cerberus~
Ilustration
and story : Hime Bin-tan (Marsya Bintang P)
I
Pemuda
itu menggerakkan jari jemarinya kemudian perlahan dia membuka matanya, didepannya
terlihat seorang gadis yang sedang memandanginya dengan wajah cemas.
“Hei,
kamu baik-baik saja?” Tanyanya kepada pemuda itu. Dengan wajah bingung pemuda
itu melihat sekeliling ruangan tempatnya berada. Ruangan ini sedikit sempit,
dindingnya terbuat dari bambu sedangkan lantainya terbuat dari kayu, hanya ada
2 pintu dan 2 jendela disini. Pemuda itu kembali melihat gadis yang
disebelahnya dengan heran.
“Ini
dimana?” Tanya sang pemuda.
“Di
rumahku, aku menemukanmu terluka tak jauh dari sini,” kata gadis berkucir kuda
itu sambil tersenyum. Pemuda itu terlihat sedikit bingung, kemudian dia melihat
kedua lengannya yang diperban begitu juga dengan badannya. Saat dia beringsut
untuk duduk, dia merasa badannya begitu nyeri, dengan sedikit panik gadis itu
membantu pemuda untuk duduk.
“Seharusnya
tiduran saja, lukamu cukup parah.” Katanya cemas.
“Apa
yang aku lakukan sehingga aku menjadi begini?” Tanya pemuda heran.
“Mana aku tahu. Aku menemukanmu sudah babak belur
seperti itu,”
“Tapi
aku tidak ingat…”
“Tidak
perlu memaksakan diri, nanti juga kamu pasti ingat. Oh iya, namaku Zane, senang
berkenalan denganmu. Lalu, siapa namamu?” Tanya Zane sambil tersenyum. Pemuda
itu melirik kekanan dan kekiri dengan wajah bingung. Zane memasukkan kain kecil
kedalam baskom yang berisi air, kemudian diperasnya kain itu hingga kainnya
tidak terlalu basah. Tanpa memandang sang pemuda dia memegang lengan pemuda itu
sambil membersihkan tanah yang menempel dikulit pemuda, kemudian Zane pun
bertanya lagi, “siapa namamu?”
“Nama…
Namaku?” kata Pemuda sedikit bingung.
“Iya
nama,”
“Namaku…
Siapa ya?” Terlepaslah kain yang dipegang Zane. Buru-buru dia mengambilnya
kembali dari lantai.
“Apa
maksudmu?” Tanya Zane bingung.
“Aku
tidak tahu namaku.” Kata pemuda itu lalu tertawa kecil.
“Heeee…
Bagaimana bisa? Kamu amnesia?!” Teriak Zane panik. Tapi didetik lain Zane
terdiam sambil memandang pemuda itu dengan cermat. “Tunggu dulu, sepertinya
sebelumnya aku pernah melihatmu… Tapi dimana ya…”
“Apakah namaku amnesia? Jelek sekali…”
“Hah?
B-Bukan! Amnesia itu hilang ingatan. Ya kamu pasti hilang ingatan karena namamu
saja kamu lupa!” Kemudian dia melihat pemuda itu lebih dekat. Pemuda itu
sedikit terpesona melihat kecantikan Zane dari dekat.
“Dimana
ya kita pernah bertemu…” kata Zane berpikir keras, kemudian dia pun tersadar bahwa
dia dan pemuda itu duduk dengan jarak yang begitu dekat ditambah pula pemuda
itu memandang Zane dengan terpesona. Zane pun terkejut dan mundur agak jauh
darinya, “Um… Sebaiknya aku cari makan dulu ya… mungkin nanti aku bisa ingat
siapa kamu… Kamu bisa kan membersihkan badanmu sendiri? Maaf ya… Aku pergi
dulu…” Kata Zane lalu cepat-cepat keluar
dari rumahnya meninggalkan pemuda itu. Zane berjalan menuju kebunnya dengan
bingung, lalu seekor burung kecil hinggap dibahunya.
“Oh…
Light,” sapa Zane dengan gembira karena burung peliharaanya yang bertubuh
kuning dan sayap warna-warni yang bernama Light datang pada saat yang tepat, “bisakah
kamu membantuku untuk membeli 3 potong roti, obat dan baju untuk
laki-laki?”Tanya Zane kepada Light, Light pun mengangguk. Zane pun tersenyum
lalu diberikannya beberapa lembar uang gold kepadanya.
“Krkrrrrkr(Jadi
hari ini kita tidak jadi makan ikan?)” Tanya Light.
“Maaf…
Besok ya? Aku harus merawat pemuda itu dulu…Jika besok pemuda itu sudah sembuh
kita bisa menangkap ikan bersama-sama!”
“Kr…(Ya
sudah…)”Kata Light agak ketus, Light pun segera terbang dan pergi. Zane pun
menghela nafas kemudian dia melihat apel merah menggiurkan yang berada diatas
pohon, perlahan akar-akar pohon yang ada diatas mendekat menuju Zane, dengan
mudah Zane pun memetik apel yang ranum itu.
“Terima
kasih,” Kata Zane, dengan malu-malu akar pohon itu pun naik kembali ke atas.
Buah sudah, roti, obat dan baju tinggal tunggu Light, pikir Zane. Dan sekarang
adalah tinggal mengingat siapa nama pemuda itu. Tidak ada clue lain selain
wajah pemuda itu karena sewaktu Zane menemukannya pemuda itu hanya mengenakan
celana panjangnya. Zane menghela nafas panjang, sebenarnya dia malas untuk
mengingat kejadian masa lalu namun Zane yakin bahwa pemuda itu bukan warga
biasa. Zane duduk dibawah pohon dan menyenderkan kepalanya ke batang pohon
dengan lesu, kemudian daun pohon itu melambai membentuk seperti kipas dan
dengan lembut mulai mengipasi Zane. Zane merasa mengantuk dibuatnya tapi suara
Light membuatnya terjaga lagi. “Wah… Kamu cepat sekali,” Zane mengambil kantong
plastik yang berada dikaki Light.
“KrKrkrrr…(Lihat
koran yang tadi aku dapatkan)” Zane pun melihat isi dari kantong plastik yang
ada didalamnya. Isinya ada baju, roti, obat, uang kembalian dan koran. Zane
melihat isi koran itu dan dia pun terkejut.
Braak!!
Pintu terbuka dengan keras dan itu membuat pemuda yang sedang tertidur pun
terbangun.
“A-Apa?
Ada kebakaran?” Tanya pemuda panik sedikit linglung maklum baru bangun tidur.
“Maaf…”
Kata Zane, “Tapi akhirnya aku tahu namamu!” Zane duduk disebelah dan melihat
pemuda itu dengan seksama. “Aku ingat wajahmu tapi karena melihat pengumuman
yang ada dikoran sekarang aku tahu namamu, namamu adalah Dylan Akira Koraru!”
kata Zane bersemangat.
“Dylan…
apa?”
“Dylan
Akira Koraru!”
“Panjang
sekali namaku…”
“Krkr!
(Hei apa kamu yakin? Bukankah dikoran tertulis Dylan sudah mati?)”
“He…
Burung apa ini? Kenapa aku bisa mengerti perkataanya?”
“Dia
temanku namanya Light, dia memang unik.”
“Krrrr…
(Kamu belum jawab pertanyaanku)”
“Oh
maaf… Mungkin memang dikoran ini bertulis begitu, tapi belum tentu berita itu
benar! Aku juga yakin dia bernama Dylan karena dulu aku pernah bertemu
dengannya di ra...”cepat-cepat Zane
menutup mulutnya, dia hampir kelepasan bicara sesuatu yang tidak boleh dia katakana
pada orang lain. “Um… Intinya aku pernah bertemu denganmu dulu jadi salam kenal
ya Dylan,” kata Zane tersenyum.
“Senang
bertemu denganmu Zane,” Kata Dylan sambil menarik tangannya dan menjabat
tangannya. Wajah Zane pun memerah, cepat-cepat Light mematok tangan Dylan
dengan keras.
“Hei!”
pekik Dylan kesakitan.
“Maafkan
Light dia memang awalnya tidak suka dengan orang baru, tapi aku yakin lama-lama
kalian akan akrab. Nah Dylan, pakailah baju yang ada didalam plastik itu supaya
kamu tidak masuk angin. Aku akan siapkan makan malam”
***
Selang
beberapa menit kemudian, Dylan memanggil Zane yang sedang memasak air.
“Hei
Zane, bagaimana bajuku?” Tanya Dylan sambil memperlihatkan baju yang ia
kenakan.
“Uwah… cocok sekali, Light memang pintar memilihkan baju ya!” Kata Zane senang, Light pun terbang dan bertengger dikepala Zane.
“Krkr…Kr.(Soalnya
itu adalah baju yang paling murah ditoko baju, sepertinya barang murahan memang
cocok untukmu)” Kata Light meledek, Dylan pun merasa sedikit kesal dan dia
balas meledek.
“Bukan
seperti itu, tapi semua baju baik murah maupun mahal itu cocok untukku tahu!”
“Hei
sudah kalian berdua! Cepat duduk karena makan malam sudah siap!”
Mereka
bertiga pun makan dengan lahap, mereka saling bercanda dan tertawa bersama
walaupun Dylan dan Light masih terlihat belum akur,
“Kenapa
gadis cantik sepertimu tinggal dihutan sendirian? Apakah kamu seorang tarzan?”
Tanya Dylan sambil mengunyah apel.
“Tentu
saja aku bukan tarzan, aku disini karena aku kabur dari rumah. Sekitar 2 tahun
lalu… Aku kabur karena setelah ibu meninggal ayahku menikah lagi dan dia
menikahi wanita yang salah. Aku memutuskan untuk kabur, kekanak-kanakan kan
menurutmu? Tapi itulah pilihanku, aku juga lebih suka tinggal dihutan ini dan
aku tidak mau kembali kerumah.”
“Ayahmu pasti mencarimu…”
“Aku
tidak tahu dan aku tidak peduli, karena selama 2 tahun ini aku belum pernah
kekota lagi, biasanya untuk kekota aku menyuruh Light.” Zane terdiam sesaat
begitu juga dengan Dylan dan Light sehingga suasana menjadi dingin.
“Omong-omong
apa kamu tahu sesuatu tentang diriku?” Kata Dylan akhirnya memulai lagi
pembicaraan.
“Aku
tidak begitu tahu tentang kamu, yang aku tahu pasti kamu adalah pangeran dari
Kerajaan Aquamarine. Karena itu… Jika lukamu sudah sembuh, aku akan membawamu pulang…”
Kata Zane lalu tersenyum sedih, entah mengapa dia tersenyum seperti itu Dylan
sendiri tidak begitu mengerti.
“Tapi untuk apa aku kembali jika aku tidak ingat
apa-apa…”
“Aku
yakin ingatanmu pasti kembali,” kata Zane meyakinkan.
“Hm...
Hei Ceritakan lagi tentang dirimu,” Kata Dylan bersemangat.
“C-Cerita
apa?” Kata Zane sedikit gugup.
“Misalnya
umurmu…”
“Umurku
17 tahun,” Kata Zane cepat-cepat.
“Mungkin
umurku juga 17 juga ya…”Kata Dylan berharap.
“Aku
pikir juga begitu, sebaiknya kita tidur dulu, lanjutkan besok ya. Lihat Light
sudah tidur.” Kata Zane sambil membelai kepala Light yang tertidur dipangkuan
Zane.
“Jadi…
Apakah aku akan tidur dipangkuanmu juga?” Tanya Dylan sambil tersenum jahil.
“Tentu
saja tidak,” Zane pun cemberut dengan wajah yang sedikit memerah. Diturunkannya
Light diatas lantai lalu dia berjalan mendekati jendela kemudian mengulurkan
tangannya. Tiba-tiba daun yang cukup besar keluar dari jendela itu dan Zane
memberikannya kepada Dylan.
“Ini
adalah selimut daun, kamu akan merasa nyaman dan hangat. Kamu juga tidak perlu
khawatir masuk angin karena tidur dilantai karena lantai ini pun hangat.” Zane
mengambil dua selimut daun lagi yang satu sebesar yang diberikan Dylan dan yang
satunya lagi kecil kemudian Zane tidur disebelah Light.
“Kamu
hebat, Zane! Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua?” Tanya Dylan takjub.
“Dengan
sihir kamu bisa melakukan apa saja, tapi kamu harus mempelajari tata tertib
menggunakan sihir agar tidak merusak lingkungan juga.”
“Kalau
begitu ajari aku ya besok!”
“Kalau
kamu sudah sembuh…”
***
Langit
yang cerah menyapa keesokan harinya, dengan penuh semangat Light terbang dan
mengitari keliling depan rumah Zane.
“Nah
ayo kita cari ikan!” Kata Zane bersemangat disambut penuh semngat juga oleh
Light. Dylan pun tersenyum melihat mereka berdua. Hari ini Dylan boleh ikut
dengan mereka walaupun tidak boleh terlalu banyak bergerak. Mereka pun berjalan
menuju sungai didekat rumah Zane. Sungainya sangat bening dan banyak ikan
didalamnya, beberapa ikan pun ada yang bisa melompat.
“Wow!
Ikannya montok-montok. Hei mana alat pancingnya?” Dylan menjadi semangat karena
melihat ikan yang besar.
“Kita tidak perlu pancingan, soalnya…” Zane mengulurkan tangan kirinya lalu air dari sungai mengalir dan menjalar ke tangan kiri Zane. Lama kelamaan tangan kiri Zane mulai membeku dan membentuk sebuah pedang. “Dengan pedang ini aku bisa lebih cepat menangkap ikan” sambung Zane lagi.
“Wow!
Hebat!” Puji Dylan. Zane pun berancang-ancang menunggu ikan yang sedang
melompat. Tak lama kemudian ada satu ikan yang cukup besar melompat dari
sungai, Dengan cepat Zane menancapkan pedangnya tepat dibelahan leher ikan
namun tidak sampai membelah dan melemparkannya ke tanah.
“Nah
kamu harus cepat melemparkan ke tanah agar darahnya tidak bercecer ke sungai.
Ini salah satu cara agar tidak merusak lingkungan.” Kata Zane yang tampak
seperti seorang guru yang sedang mengajar muridnya yaitu Dylan, Dylan
manggut-manggut.
“Bolehkah
aku mencoba?” Tanya Dylan dengan mata penuh harap.
“Tidak
boleh. Lukamu belum sembuh,” kata Zane tegas. Dylan hanya cemberut. Zane pun
kembali mengambil beberapa ikan lagi, sedangkan Dylan mulai dihinggap rasa
bosan dan keingintahuan. Dylan ingin mencoba menangkap ikan juga, kemudian
Dylan melihat kesekeliling hutan ini. Hanya ada pohon dan sungai disekitar sini, namun mata Dylan
tertuju pada ranting pohon yang cukup panjang dibawahnya. Tanpa berpikir
panjang Dylan pun mengambilnya dan pikiran jahil mulai menghinggapnya.
Didekatinya Zane yang masih sedang menunggu ikan yang berloncatan kemudian dia
pun melihat kebawah sungai. Ikannya banyak hanya saja Zane hanya mau menangkap
ikan yang loncat.
“Zane,
aku akan membantumu,”Dylan
berkata
sambil mengacungkan jempolnya dan tersenyum nakal.
“Hei,
sudah kubilang kamu-” Tanpa mempedulikan kata-kata Zane, Dylan pun mengayunkan
ranting didekat air sehingga air yang disungai pun muncrat dan salah satu ikan
terbawa air itu. Refleks Zane langsung menancapkan pedangnya ke ikan dan
melemparkannya ketanah. “Itu mendadak sekali, Dylan…” Zane sedikit kesal, tapi
ketika melihat Dylan yang sedang merintih memegang lengannya, kekesalan Zane
langsung surut.
***
Ketika
luka Dylan yang terbuka sudah disembuhkan oleh Zane, kekesalan Zane pun
membludak lagi. Dylan hanya tertunduk lesu dan mendengar nasehat-nasehat Zane
yang panjang.
“Bukankah
kamu tadi bisa menyembuhkanku dengan sihirmu? Aku luka beberapa kali pun tak
masalah kan?”Gurau
Dylan berusaha untuk mencairkan suasana.
“Menggunakan
sihir penyembuhan itu melelahkan! Apalagi kamu terluka karena hal sepele seperti
itu, sangat mengesalkan!”
“Maaf…”
Dylan tertunduk lesu sambil memainkan jemarinya. Zane menghela nafas panjang.
Dia pun berjalan kedapur dan mengambil segelas air mineral dan meneguknya
sampai habis. Dia merasa perasaanya sedikit lebih tenang. Seharusnya Zane tidak
perlu semarah itu, bukankah karena Dylan kini hidupnya jadi tidak membosankan.
Bergaul dengan hewan dan tumbuhan memang menyenangkan tapi bergaul dengan
manusia tetntu saja beda rasanya. Sudah lama memang dia tidak bercakap dengan
sesama manusia. Dan manusia memiliki akal yang tentu saja berbeda dengan hewan
dan tumbuhan. Dylan memang tidak penurut tapi bagaimana dia mau menurut dengan
Zane. Ibu bukan, saudara bukan. Jadi mau tidak mau Zane harus kembali
beradaptasi dengan manusia kembali. Zane menatap Dylan dan pada saat yang sama
Dylan pun juga sedang menatapnya. Cepat-cepat Dylan menundukkan kepalanya
dengan takut, takut dimarahi Zane lagi. Kemudian Zane berjalan dan duduk
disebelah Dylan,
“Hei,
apa benar kamu seorang pangeran? Saat aku pertama kali melihatmu disuatu tempat
kupikir kamu orang yang cool, ternyata kamu sangat kekanakan. Atau sifatmu
berubah karena terkena amnesia?” Gurau
Zane sambil tertawa kecil,
“Sayangnya
aku tidak ingat,” kata Dylan, sebenarnya dia ingin membalas kelakar Zane tapi
Dylan masih takut jika kelakarnya malah akan membuat Zane marah.
“Maaf tadi aku terlalu keras denganmu.
Sebaiknya kita makan malam dulu yuk, kupikir Light sudah selesai membakar ikan.”
Beberapa detik kemudian, bau ikan bakar pun mulai menyeruak. Dylan pun langsung
lari kegirangan ketempat bakaran ikan seperti sudah lupa jika tadi baru saja
dimarahi. Zane pun hanya terseyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
Dalam
seminggu luka Dylan sudah sembuh dengan sempurna dan sesuai janji, Zane pun
mengajarkan Dylan untuk menagkap ikan, ditambah mengajarkan cara menggunakan
pedang dan cara mengeluarkan sihir. Zane memberikan Phoenix Sword kepada Dylan,
pedang itu sebenarnya untuk jaga-jaga kalau sihir Zane habis. Tapi Zane tak
sungkan memberikan itu ke Dylan. Apalagi melihat kemajuan pesat teknik
berpedang Dylan, Zane pun yakin walaupun Dylan amnesia tapi tubuhnya masih
mengingat teknik pedang milik keluarga Aquamarine. Hubungan mereka pun juga
semakin dekat, sempat terbesit dipikiran Zane untuk memulangkan Dylan tapi
ketika melihat betapa tekunnya Dylan belajar menggunakan sihir padahal dia
tidak memiliki darah mage, Zane merasa tidak tega memulangkan Dylan dan juga
jika Zane memulangkannya Zane pasti merasa kesepian. Sebulan berlalu, Dylan
sudah sangat pandai menggunakan pedang bagaikan ahli, walaupun sihirnya dia
masih tidak begitu bisa menggunakannya. Bukan hanya itu, Dylan juga mulai
menanyakan asal-usul Zane, awalnya Zane masih bisa untuk menyembunyikan namun
Dylan semakin agresif untuk menanyakan. Akhirnya Zane pun mau menceritakan
asal-usulnya kepada Dylan dengan satu syarat,
“Aku
akan menceritakan asal-usulku, selesai aku bercerita kamu harus menuruti apa
pun yang aku minta.” Kata Zane dengan nada serius.
“Ok!”
Kata Dylan dengan nada serius juga namun sedikit dibuat-buat. Kemudian Zane
menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
“Namaku
Zane Cecilia Tetra, ayahku bernama Kio Tetra dan ibuku bernama Kate Rachelia.
Aku tinggal di… Kerajaan Ruby…”
“Jadi
kamu seorang putri?” Tanya Dylan dijawab Zane dengan anggukan.
“Karena
itu aku tahu kamu karena kita pernah bertemu di rapat antar kerajaan… Lalu… awalnya aku hidup bahagia menjadi putri
sampai ketika ibuku sakit kemudian meninggal… Aku tidak tahu kenapa ibuku meninggal,
padahal aku selalu merawatnya dengan baik ketika dia sakit… Lalu ayahku pun
menikah lagi dengan pembantu kerajaan… Ah aku tidak mau menyebutkan namanya,
pokonya setelah dia menjadi ibu baruku dia sangat boros dan terkadang akan
meningkatkan pajak untungnya aku berhasil membujuk ayah untuk tidak menaikkan
pajak agar rakyat tidak sengsara, kemudian dia mulai berlaku jahat padaku. Dari
mengambil semua tanbunganku sampai terkadang mengambil barang yang ada
dikamarku… Terkadang aku berpikit, apakah dia yang membunuh ibu? Tapi aku tidak
pernah tahu karena aku tidak punya bukti. Lalu sampai suatu saat dia
mempermalukanku didepan keluarga kerajaan Ruby. Aku pun kabur hanya dengan
membawa baju seadanya dan pedang yang kuberikan padamu. Aku memutuskan untuk pergi
kehutan ini, hutan Lost. Katanya jika kamu kehutan ini kamu tidak akan bisa
kembali. Karena itu aku kesini, mungkin aku bisa mati jika aku pergi kesini
tapi ternyata tidak karena aku bertemu dengan Light… Pertama kali bertemu
justru aku yang kasar dengannya, tapi dia tetap baik kepadaku. Akhirnya aku
memutuskan untuk tinggal dihutan ini dan hingga 2 tahun pun berlalu.” Mata Zane
berkaca-kaca, namun dia tersenyum dan menatap Dylan. “Aku memang tidak berguna
ya…”
“Tidak,
kamu sudah membantuku sejauh ini. Kamu sangat berguna untukku, kudenngar dari
Light kamu pernah membantu seseorang yang tersesat dihutan ini untuk keluar
dari hutan. Begitu juga dengan hewan dan tumbuhan yang ada disini, kamu rawat
mereka dengan sepenuh hati. Kamu itu sangat berguna hidup didunia ini!” Kata
Dylan meyakinkan dengan tegas, wajah Zane merona dan air mata Zane pun menitik,
“Terima
kasih…” Dylan memeluk Zane dengan
lembut, dan tangis Zane pun pecah. Setelah tangis Zane reda, dia melepas
pelukan Dylan kemudian menatap Dylan dalam-dalam. “Sekarang kamu harus menuruti
permintaanku,” Kata Zane.
“Tentu,”
Kata Dylan tersenyum sambil membersihkan air mata Zane.
“Dylan,
pulanglah…”
“Apa
maksudmu? Disini rumahku, rumah kita juga.”
“Disini
bukan rumahmu, rumahmu dikerajaan Aquamarine.”
“Jadi
aku disini masih kamu anggap sebagai penumpang?” Tanya Dylan sedikit kesal.
“Bukan
itu maksudku…” Kata Zane merasa bersalah, “Aku yakin Keluargamu akan senang
kamu kembali…”
“Mereka
sudah menganggapku mati, bukankah mereka akan takut dikira aku bangkit dari
kubur?”
“Tapi
mereka pasti mengerti jika kamu kembali dan menjelaskan, aku juga akan
membantumu kesana.”
“Baik!”
Kata Dylan dengan tegas dan sedikit keras, Zane pun kaget karena Dylan sangat
berbeda dengan Dylan yang biasanya suka bercanda. “Kalau kamu menyuruhku
pulang, maka kamu harus pulang juga…” Dylan merasa hatinya sangat sakit,
ditatapnya Zane seksama dan dipeluknya lagi gadis itu. “Sudah cukup kita berada
disini. Kita harus kembali menerima kenyataan. Dan ketika aku sudah disana, aku
akan selalu mengingat kebersamaan kita disini.” Kata Dylan matanya pun
berkaca-kaca, begitu juga dengan Zane.
bersambung...
Wings Light 2
Story n ilusstration : Hime Bin-tan (Marsya Bintang P)
Cerita
ini fiktif, tak ada sangkut pautnya dengan siapapun serta kejadian manapun.
Bila ada kesamaan nama orang, tempat maupun penggalan cerita, itu Cuma
kebetulan belaka.
Udara semilir berhembus lembut,
matahari bersinar malu-malu. Sungguh cuaca ini sangat pas untuk orang yang
bermalas-malasan. Namun tidak untukku, Aku adalah anak buah dari seorang Ketua
yang sangat menginginkan kekuasaan dan
kekayaan. Walaupun begitu, aku sangat patuh padanya dan dia pun sangat baik
padaku. Memberiku makanan,pakaian, dan tempat tinggal. Kuanggap ini sebagai
balas jasa karena aku selalu menuruti perintahnya.Mungkin karena kepatuhanku
ini aku diangkat menjadi Pemimpin anak buah atau bisa dibilang aku adalah orang
yang paling dipercayai oleh Ketua Senu. Ini adalah suatu kebanggaan untukku.
Tempat tinggal… hanya Ketua yang sudi
menerima orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya. Aku jadi
teringat dengan perang yang menyebabkan ibuku meninggal... Aku selalu sedih
mengingatnya, namun aku takkan lupa dengan pesan terakhir ibu yang selalu
kuingat,
“Jadilah kuat nak… Tapi gunakan
kekuatan itu untuk kebaikan… Jangan seperti ayahmu…” Aku tidak yahu seperti apa
ayahku, kata ibu, ayah sedang pergi jauh dan tidak bisa kembali, tapi kata
orang-orang yang kudengar, ayah meninggalkan kami karena aku anak haram.
Dua-duanya sama saja bagiku, toh aku bahagia hidup dengan ibu, walaupun setiap
hari cacian adalah makanan yang paling sering kumakan saat aku bermain di luar
rumah. Setelah kejadian itu aku jadi sebatang kara, lalu ada Ketua Senu yang
mengangkatku sebagai anak buahnya. Entah kenapa aku tidak suka dibilang anak
buah, aku lebih suka dipanggil “Prajurit”Ketua. Aku diajari banyak hal oleh
Ketua, mulai dari. Aku diajari hal-hal sederhana seperti cara berbicara dan
makan dengan sopan. Aku selalu dimarahi ketika aku tidak bisa makan dengan
menggunakan pisau dan garpu dan aku pun akan diejek,
“Kamu harus bisa makan dengan
benar! Bagaimana jika jodohmu adalah bangsawan?
Kamu pasti langsung ditendang
dari rumahnya…! Ha… Ha… Ha…” Selain itu,
aku pun diajari cara belajar bela diri, dan cara menggunakan senjata perang
seperti pedang, panah, tombak dll pokoknya
hampir semua peralatan itu aku bisa menggunakannya dengan baik. Namun
diantara semua peralatan itu, aku sangat menyukai menggunakan Pedang Besar
sebagai senjataku, banyak yang terheran-heran termasuk Ketua kalau aku bisa
menggunakan pedang besar itu dengan gesit dan cepat bagai angin. Mungkin ibu
sudah tahu bakatku karena itu aku diberi
nama Kaze.
Beberapa hari ini aku ditugaskan
untuk mengambil sebuah benda yang sangat diinginkan Ketua, aku tidak tahu benda
apa itu, aku hanya diberi foto benda itu oleh Ketua. Lagipula aku tidak perlu
tahu benda apa itu, tugasku hanya mengambil benda tersebut kan. Walaupun aku
sekarang adalah pemimpin prajurit, seharusnya aku bisa menyuruh bawahanku untuk
mengerjakan ini. Namun, Ketua mengatakan padaku ,
“ Kuberikan tugas ini padamu karena
kamu adalah satu-satunya Prajuritku yang paling kupercaya.” Aku pun patuh
dan melaksanakan tugas ini sendirian.
Aku diberi bekal yang cukup oleh Ketua, salah satunya baju ini. Aku tidak
diperbolehkan memakai armor yang biasanya aku pakai sehari-hari, alasanya
adalah terlalu mencolok. Tapi aku tetap
diperbolehkan membawa pedang kesayanganku. Baju yang diberi Ketua sebenarnya
terlalu ringan untukku, mungkin karena aku selalu menggunakan armor. Selain baju, aku juga diberi kuda untuk
mempercepat perjalananku. Dan kini sampailah aku di Goa yang didalamnya
terdapat benda yang Ketua inginkan.
*
**
Tetes air menitik menimbulkan suara
yang mampu menambah ketegangan dalam goa yang gelap gulita ini. Untungnya aku
tadi diluar goa membuat obor api dulu. Dengan perlahan aku jalan menelusuri goa tersebut, goa ini hanya
ada 1 jalan, namun dalamnya sangatlah luas. Setelah berjalan sekitar 5 menit
sampailah aku di ruangan yang tidak terlalu besar namun didalamnya terdapat
cahaya yang cukup terang. Aku melihat cahaya itu berasal dari Kristal Diamond Putih kebiru-biruan. Kristal itu
jangan-jangan… Cepat-cepat kubuka foto yang ada di dalam sakuku. Kulihat dengan
cermat foto yang ada di tanganku, tidak salah
lagi! Kutaruh kembali foto Kristal itu dalam saku celanaku, aku pun
masuk ke dalam ruangan itu. Betapa kagetnya aku ketika kulihat ruangan itu
tidak kosong, didalamnya terdapat seorang gadis
yang menggunakan baju terusan putih dengan pink di tengahnya yang
panjang hingga menutup mata kakinya , dia juga menggunakan penutup rambut namun
penutupnya itu hanya menutupi setengah dari rambutnya yang sangat panjang. Dan
gadis ini sangat cantik… Kuakui dia lebih cantik daripada putri-putri kerajaan
yang biasa aku lihat terlihat menor-menor . Tapi entah mengapa gadis itu tampak
melamun, aku pen mencoba memanggil,
“Permisi… Nona…” Tak ada jawaban,
aku mecoba memanggil lagi,
“ Halo…” Tak ada jawaban lagi, aku
menghela nafas, ya sudah lah toh tugasku sebentar lagi selesai, tinggal
mengambil Kristal ini dan… Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa. Aku
terkejut bukan main, aku sama sekali tidak memikirkan Kristal itu lagi, dengan
cepat aku lari keluar dari goa ini,
namun ditengah jalan, aku terhenyak, Bagaimana dengan gadis itu? Tanpa pikir
dua kali, aku lari dengan cepat seperti angin kembali lagi ke ruangan tadi.
Sampainya diruangan itu kulihat gadis itu masih diam saja seperti pertama kali
kulihat, dia sama sekali tidak bergerak walaupun batu-batu kecil dari
langit-langit mulai berjatuhan, Kuangkat badannya yang mungil lalu kugendong
dia. Aku pun segera lari kencang keluar dari goa ini.
Terengah-engah aku menurunkan gadis
itu pelan-pelan ke rumput. Sepertinya aku sudah lama tidak latihan lari membawa
benda berat. Kulihat gadis itu, mata gadis itu terpejam. Berbeda dengan tadi
sewaktu pertama kali kulihat mata gadis itu masih terbuka dengan tatapan
kosong. Tidak lama kemudian, gadis itu menggerakkan jari jemarinya yang lentik,
dan dia pun mulai membuka matanya.
“Hai nona, sudah bangun?” Kulihat gadis itu sangat amat terkejut, dia
langsung meloncat berdiri dan tergopoh-gopoh menjauh dari ku.
“Aku bukan orang jahat…” Kataku
lirih, sayangnya gadis itu malah tambah menjauh dariku dan kini dia bersembunyi
di belakang batu besar. Kulihat dia mengintaiku dengan tatapan penuh ketakutan.
Aku benar-benar tidak mengerti, apakah wajahku menyeramkan?
“Namaku Kaze, siapa namamu?” Tak
ada jawaban dari gadis itu, dia masih menatapku dengan ketakutan. Aku hanya
tersenyum sambil menggaruk kepalaku walaupun kepalaku tidak gatal, aku hanya
bingung untuk berkata apa lagi.
“A-apa yang k-kamu lakukan… di goa itu?” kata gadis itu lirih.
Aku senang akhirnya dia mau bicara, Tapi aku juga bingung harus menjawab apa.
“ Um… Saya sedang melakukan
tugas---”
“ Untuk mengambil Kristal itu?’ Aku
terheran mendengar gadis itu bertanya seperti itu. Dan aku pun bingung menjawab
pertanyaanya. Aku terdiam beberapa saat.
“ Sudah kuduga… Kamu bukan orang
baik, kamu orang jahat! Kuperingatkan kamu jangan berani-berani mengambil
Kristal itu lagi!” Kata gadis itu dengan nada cukup tinggi. Gadis itu pun
langsung berlari meninggalkanku yabg sedang bertanya-tanya dalam hati. Kulihat
gadis itu berlari tapi… Sungguh pelan. Aku pun mendekati gadis itu dan menarik
tangannya.
“Tunggu…!” Dan PLAK! Tamparan keras
tertuju pada pipiku, dengan mata berkaca-kaca gadis itu berkata
“J-Jangan …” Kulepas tangannya, dan dengan tergesa-gesa
dia berlari lagi. Aku tidak berani mengejarnya lagi. Kuusap pipiku yang sakit
ini sambil melihat kemana gadis itu pergi. Kulihat gadis itu masuk kedalam
rumah kecil yang tak jauh dari sini. Aku hanya menghela nafas dalam-dalam.
“Terima kasih” Kataku sambil
tersenyum, ada rona merah di pipi gadis itu, aku jadi sedikit salah tingkah.
“Um…
S-sebaiknya ku panaskan teh hangat dulu untukmu…” Gadis itu terlihat gugup dan
malu-malu. Dia langsung berlari menuju dapur dan lama tidak keluar lagi.
Kulepas pakaianku dan kukeringkan badan
dan rambutku menggunakan handuk. Sambil
mengeringkan badanku, aku melihat-lihat
barang-barang yang ada di ruangan ini, Ruangan ini tidak begitu besar, tapi
sangat rapi dan bersih. Di dalam ruangan ini terdapat kasur dan lemari kecil,
sepertinya itu adalah kotak obat karena dari tempat aku duduk sudah tercium bau
obat. Di ruangan ini ada 3 pintu, kupikir yang satu adalah kamar gadis itu,
lalu kamar mandi dan satunya lagi adalah dapur. Gadis itu keluar dari dapur
sambil membawa nampan yang berisi 2 gelas dengan asap yang mengepul.
Gadis itu melihat ke arahku. Mata kami saling bertemu dan gadis itu dengan gugup memalingkan
wajahnya.
Malam semakin larut, aku dan Kana sedang duduk bersantai di luar rumah Kana, kali ini Kana lebih tegar untuk menceritakan semua kepadaku. Tentang keluarganya, ternyata ibu Kana adalah Healer dan Ayahnya seorang Mage pengguna sihir kegelapan. Mungkin karena itu tanpa disadari Kana sudah bisa menguasai sihir Pembunuh. Karena peperangan, ibu dan ayah Kana meninggal, lalu Kana tinggal bersama Neneknya. Mereka hidup berpindah-pindah karena sering diusir, sampai akhirnya nenek Kana memutuskan tinggal di rumah ini yang ternyata adalah bekas rumah kakek Kana. Ternyata mereka bisa tinggal lama disini karena orang-orang di sini tidak mengerti tentang sihir-sihir, maklum karena ini adalah desa terpencil.Lalu saat Kana dan neneknya pergi ke Kota untuk mencari bahan untuk obat, ternyata di sana sedang terjadi perang dan mengakibatkan nenek Kana meninggal. Bukan hanya Kana yang bercerita, aku pun menceritakan kisah hidupku yang penuh liku juga. Setelah aku menceritakan kisahku, kami pun segera tidur.
“Kristalnya…
ada dibalik pintu sana, maafkan aku… aku hanya bisa mengantar kalian disini
saja…” Ini pasti suara Kana, pikirku. Aku mendengar sambil mengintip dari balik
batu besar ini.
“Walaupun
bukumu lebih lengkap, tapi catatanku mungkin akan berguna.” Kata Kana kepada
Sony saat itu. Wajah Sony terlihat sedih tapi dia berusaha untuk tetap membuat
Kana tersenyum dengan gombalannya. Lalu pada akhirnya Aku, Kana, Riku, Kei dan
Ken pun melambaikan tangan ku pada penduduk dan desa yang sudah mempertemukanku
dengan Kana.
“Tapi untuk sementara kita akan ke Kota Lagonda” kataku. Kami berlima berjalan melewati hutan. Hutan disini merupakan perbatasan suatu kota atau desa tapi biasanya hutan sebagai perbatasan dikota lebih ditata seperti jalannya yang sudah cukup mulus dengan sudah jarangnya batuan. Pohonnya pun tidak selebat yang sebagai perbatasan di desa. Yang lebih penting lagi biasanya terdapat warung ataupun tempat mangkal kendaraan umum yang sudah menggunakan mesin maupun dengan hewan. Kami memutuskan untuk berjalan kaki,tentu saja dengan bantuan sihir Riku dan Kana sehingga kami bisa mempercepat jalan kami tanpa rasa capek. Tapi ternyata sihir juga ada batasnya, setelah 4 jam kami berjalan Kana dan Kei sudah tidak kuat berjalan. Akhirnya kami pun naik kendaraan umum dan tepat tengah hari kami sampai di Kota Lagonda.
Akhirnya
pekerjaan kami selesai, entah kenapa rasanya capek dan nafas pun sesak, mungkin
karena di dalam tenda aku kekurangan oksigen, ditambah cukup banyak orang yang
pingsan. Aku membersihkan keringat di dahiku, lalu Riku menepuk bahuku.
“Kaze,” panggil Kana.
“Terima kasih ya atas bantuan kalian sudah membantu
terselenggaranya konser ini. Nah ini untuk kalian.” Gadis itu memberikan uang
150 gold untukku dan 150 gold untuk Riku. “Silahkan menikmati acaranya,”
katanya sambil tersenyum lalu dia pergi. Aku dan Riku pun memutuskan untuk
pulang.
“Hai Kana,” sapaku sambil tersenyum. “Biar aku saja
yang...”
“Kamu menginginkan Kristal Diamond untuk
perbuatan yang tidak-tidak, begitu juga dengan para healer. Seharusnya Kristal
dan healer itu dilindungi… bukan untuk diburu dimanfaatkan seenaknya!” Bentakku
sambil memukul pintu. Ketua memandangku dengan kaget. Aku pun membuka pintu
dengan kasar, tanpa menoleh aku berucap,”selamat tinggal.”
“Ayo
makan dulu, “ kataku sambil melepas pelukanku dan membersihkan air mata Kana,
Kana pun tersenyum.
“Sebaiknya aku beli minum dulu, sekalian untuk stok
perjalanan.” Kata Riku sambil membalikan badannya untuk pergi, namun saat Riku
hendak berjalan, dia keget karena melihat ada seorang gadis yang agak jauh dari
kami sedang menarik tas yang sedang dipegang oleh pemuda disebelahnya. Mereka
terlihat sedang memperebutkan tas tersebut, lalu ada seorang pemuda lagi yang
menarik perempuan itu dengan kasar hingga terjatuh dan kedua pemuda tersebut
lari meningglkannya. Bergegas Riku lari kearah mereka, saat aku juga akan
kesana, Riku mencegahku.
Pelajaran
olahraga selesai, aku kembali ke ruang guru namun di ruang guru tidak ada yang
bisa kulakukan karena bulan ini masih awal pelajaran. Aku pun berkeliling
melihat gedung sekolah ini. Aku melihat ruang kesenian, aku coba melihat lewat
jendela dan ada Kana sedang mengajar di kelas itu. Kana sungguh cantik saat
mengajar, aku senang melihatnya. Tiba-tiba mata kami bertemu,
aku
tersenyum melihatnya, dia agak gelagapan untuk membalasku tapi kemudian dia
tersenyum balik padaku. Seperti tahu Kana sedang bertemu dengan pacarnya,
murid-muridnya pun langsung bersorak menggoda Kana. Aku jadi geli sendiri
melihat Kana yang tambah gugup.
“Kaze...” Kata Riku lirih, “Maaf aku... Tidak bisa...
Kana... dia...” Aku merasa hampir menangis mendengarnya, Kana... Semoga kamu
baik-baik saja... Tiba-tiba aku merasa kepalaku terasa sakit lagi,
***
Langit
mulai gelap, tak lama kemudian turunlah gerimis kecil yang disusul hujan lebat.
3 jam aku menunggu di dekat goa itu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin
kalau ada ketua di sini pasti dia akan menyuruhku mengerjakan
tugas lain. Dan dengan datangnya
hujan ini membuat aku menjadi tambah bingung. Kutaruh kuda ku di suatu pohon
yang cukup lebat, sayangnya hanya kuda itu yang bisa berteduh. Karena tak ada
pilihan lain, aku pun menuju ke rumah gadis tadi. Sesampainya aku di depan
pintu rumah gadis itu, aku mengetuk pintu.
“P-Permisi… N-Nona” kataku dengan
sedikit menggigil karena kedinginan sambil kuketuk kembali pintu itu. Tak ada
jawaban dari gadis itu. Tapi aku tetap bertahan, di depan pintu, semoga dia
masih punya hati. Tiba-tiba pintu di
depanku pun terbuka, gadis itu melongok
sedikit dari dalam pintu,
“ Masuklah…” kata gadis itu
malu-malu, tanpa sungkan lagi aku pun masuk ke dalam rumah gadis itu. Setelah
aku masuk, gadis itu menutup pintu, kulihat dia memasukkan kayu bakar ke dalam
perapian, kemudian dia masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian dia
keluar dari kamarnya sambil membawa handuk. Dia pun memberikan handuk yang di
tangannya kepadaku.
“ Maaf aku tidak punya baju cowo…
Tapi kamu bisa memakai ini untuk mengeringkan badanmu…”
“Maaf ya handukmu jadi kotor karena
terkena badanku” Gadis itu melihatku dengan tatapan kaget, dengan cepat dia
menggeleng.
“Itu hanya handuk… Kamu tidak perlu
berkata seperti itu… Lagipula… Badanmu bagus kok…” Aku sedikit malu dengan
perkataanya, dan gadis itu juga tak kalah malu dengan apa yang dia ucapkan
tadi. Dengan gugup dan wajah menunduk dia menaruh satu gelas agak jauh dariku,
mungkin niatnya gelas itu untukku tapi dia sudah tak berani dekat-dekat
denganku. Lihat saja sekarang dia duduk 1 meter dariku.
“ha.. ha… Kamu tidak perlu gugup
seperti itu. Hei… Boleh aku tau namamu?” Kataku memulai pembicaraan
. “… Nama?... um… N-namaku… Kana…”
“Nama yang bagus hehe…” Suasana
menjadi sunyi. Hanya ada suara rintik-rintik hujan yang terdengar. Kuputar
otakku untuk mencari bahan perbincangan supaya suasana tidak sunyi.
“Kamu tinggal dengan siapa?”
“Sendiri…”
“Tidak takut?”
“… Tidak…”
“Wah kamu hebat” Suasana kembali
hening, mungkin seharusnya sekarang ada bunyi jangkrik Kriik… Kriiik…
“Oh iya… Apakah kamu seorang
dokter?” Kataku akhirnya, untungnya aku mendapat ide pertanyaan. Kana sedikit
kaget dengan pertanyaanku.
“… Mungkin… Bisa dibilang begitu…
Kenapa kamu tahu?”
“Aku hanya mencium bau obat di
sini. Hehehe… “
“Kamu bisa menciumnya? Dari mana?”
“Ya… Di dalam kotak itu kan?” Aku
menunjuk kotak obat yang tadi kulihat di ruangan ini. Tanpa ku sadari gadis itu
tersenyum!
“Hebat… Kamu pasti bukan orang
biasa…”
“Ha? Apa maksudmu?”
“Obat-obat yang aku buat ini bukan
obat biasa. Obat ini bukan hanya manjur, tetapi juga tidak berbau dan tidak
berasa. Obat-obat milikku sangat cocok untuk orang yang tidak suka minum obat
terutama anak-anak… um… Bagi orang biasa mungkin tidak akan bisa mencium bau
obat yang aku buat…” Aku melongo mendengarnya, sebenarnya aku melonggo bukan
karena isi perkataanya, tapi karena dia berkata dengan cukup panjang.
“K-kenapa? Apa perkataanku salah?”
kata Kana lagi, kututup mulutku agar aku tidak melongo terus.
“Ah… Tidak ada apa-apa…
Hehehehehe…. Jadi kamu buka klinik?”
“Iya…” Kata Kana sambil tersenyum
manis sekali.
“Jadi… Aku akan mengganggu ya
kalau aku tinggal di sini?”
“Tentu saja tidak… Lagipula di desa
ini tidak ada penginapan, dan… mungkin kamu bisa membantuku mencari tanaman
untuk obat… hehe” Kata Kana sambil tertawa kecil, aku jadi ikut-ikutan tertawa
melihat Kana.
Bintang
– bintang berkelap kelip di malam yang
dingin ini, mereka seperti ingin memberi tahu bahwa cuaca dingin tidak akan
menganggu kelap kelip cahayanya. Aku belum terlelap juga walaupun aku tidur di
kasur yang cukup empuk ini. Entah sudah berapa tahun aku tidak tidur kasur,
dulu karena tugasku menjaga warga aku hampir setiap hari tidur
dalam posisi duduk atau berdiri, itu pun hanya beberapa menit. Aku sudah biasa,
mungkin karena sekarang aku tidur di kasur aku jadi tidak bisa terlelap?
Hehe… Aku melihat kasur yang ada di
atasku, sepertinya Kana sudah terlelap, aku tersenyum mengingat kejadian
beberapa jam yang lalu ketika sudah waktunyta jam tidur Kana.
“Kaze biasa tidur jam berapa?”
Tanya Kana dengan nada mengantuk
“um… Tidak tentu. Kadang aku
seharian tidak tidur, Kenapa? Kana ngantuk?”
“Heee… Tidak tidur? Kamu bisa sakit
kalau begitu terus…” Kata Kana dengan wajah cemberut.
“Ya… Mau bagaimana lagi, kalo aku
tidur terus nanti aku tidak bisa bangun lagi” Kataku dengan nada bergurau. “ Tapi tenang saja, aku tidak akan mati hanya
karena tidak tidur” kataku lagi sambil mengedipkan sebelah mata. Kana hanya
menghela nafas.
“Ternyata pekerjaanmu sangat berat…
Tapi… Karena kamu sedang di sini kamu
bisa tidur gasik”
“Lalu… Aku tidur dimana?”
“Tentu saja di sini”
“S-Sekamar?!” Mataku terbelalak saking
kagetnya, Kana hanya menghela nafas.
“Tenang saja aku tidak akan
mengganggumu” Kata Kana dengan nada bergurau, aku hanya tersenyum masam
mendengarnya. “Lagipula kamu bisa liat kan kalau di sini ada tempat tidur tingkat.”
“Bukan itu maksutku… Kenapa kamu
tidak menyuruhku tidur di kasur luar saja?”
“Itu kasur pasien, aku belum sempat
menjemurnya, tadi kan hujan. Aku takut kamu tertular karena tidur di sana.
Sudahlah manut aku saja…”
“Tapi…” Kana yang awalnya ada di
depanku tiba-tiba saja menghilang. Dan sekarang… Kana sudah ada di belakangku!
“Aku tidak selemah yang kamu kira…
“ senyum Kana mengembang ketika melihatku masih terbengong-bengong.
“Tadi itu…”
“Hanya tipuan kecil, aku yakin
prajurit sepertimu bisa melakukan lebih hebat dari ini… Apalagi namamu Kaze (Angin)” Kana tertawa kecil, aku
tersenyum mendengar celotehannya. “ Jadi kamu mau kasur atas atau bawah?”
“ Untuk keamananmu sebaiknya aku
kasur bawah saja “
“keamanan?”
“Ya kalau aku tidur di kasur atas
lalu tiangnya roboh, kamu pasti tidak kuat menahanku dan kamu akan tertindih.
Jika kamu diatas, lalu tiangnya roboh, aku pasti kuat untuk menahanmu” Aku tertawa setelah berkata
ini, Kana pun juga tertawa. Dan setelah beberapa jam aku mengingatnya kembali
tetap saja percakapanku dengan Kana masih saja menarik untuk aku ingat kembali.
Aku tidak menyangka kalau Kana ternyata enak untuk diajak bicara walau
terkadang gugup dan pemalunya sering “kambuh”. Dipikir-pikir aku tidak pernah
punya teman wanita selama hidupku, bukan berarti aku belum pernah ngobrol
dengan wanita. Aku kan pernah ngobrol dengan ibuku, hehe. Ketua juga pernah
mengenalku dengan putri dari kerajaan, tapi entah kenapa mereka sangat manja
dan dandanannya aduhai menornya. Sangat berbeda dengan Kana yang mandiri dan
tanpa make up pun dia terlihat cantik, ah… aku berani mengatakan kalau Kana
sangat cantik. Entah kenapa wajahku jadi panas memikirkan apa yang kupikirkan.
Dasar aku ini memikirkan apa sih.
***
Burung-burung bertengger di
pepohonan dan menyanyi dengan semangatnya, sayangnya matahari belum sempurna
menampakkan tubuhnya. Aku terbangun karena mencuim aroma yang membuatku perutku
jadi keroncongan. Kubereskan tempat tidur yang nyaman ini dan aku segera keluar
dari kamar. Aroma ini berasal dari dapur. Aku berjalan menuju dapur.
“Pagi Kana! Wah aromanya enak sekali”
“Pagi… Tidurmu nyenyak?”
“Aku tidak pernah tidur selama
ini!”
“Baguslah… Sebaiknya kamu mandi
dulu karena makanan akan segera siap”
“Uh… Malas…” Jawabku, Kana
mengernyitkan dahinya.
“Kalau begitu aku takkan memberimu
makan”
“He… Jangan begitu dong… Iya-iya
aku mandi deh” Aku pun langsung lari ke kamar mandi.
Setelah aku mandi dan sarapan, aku
dan Kana pergi ke hutan yang tak jauh dari sini, aku sudah janji dengan Kana
karena aku menginap dirumahnya maka aku harus membantu mencari bahan-bahan untuk obat. Karena aku
baru pertama kali, Kana mengajariku apa
saja tumbuhan yang dibutuhkan, letak tumbuhan, cara mengambil tumbuhan dan menanam bibit baru. Aku belajar banyak
tentang tumbuhan.
“Jadi besok aku harus melakukannya
sendiri?” tanyaku kepada Kana setelah kita mendapat tumbuhan yang kita
butuhkan. “Tentu saja, untuk apa aku
mengajarimu? Kalau kamu tidak mau, kamu boleh angkat kaki dari rumahku.” Jawab
Kana dengan nada bergurau dan sambil tertawa kecil. Aku hanya menghela nafas.
Kana menatapku dengan wajah cemberut.
“ Kamu keberatan?” Tanya Kana
“Tidak… Tapi aku akan kesepian
sendirian di hutan” mendengar kataku wajah Kana memerah, Manisnya…
“Dasar prajurit manja” kata Kana
sambil membuang muka dariku. Aku jadi tertawa melihatnya. Setelah lama kita
berjalan, akhirnya kita sampai lagi di desa ini, suasana sedang cukup ramai di
sini, mereka semua sedang bekerja. Tak jauh dari kami berjalan aku melihat ada
3 gadis yang entah kenapa sedang bisik-bisik melihat aku dan Kana. Lalu mereka
semua pun melambaikan tangannya kearah Kana dan aku.
“Hei! Kana!” Kata gadis berbaju
merah. Aku dan Kana berhenti berjalan, aku melihat mereka berlari mendekati
kami berdua.
“Iya?” Jawab Kana.
“Kamu pasti cowo yang kemarin nginap di rumah Kana
kan?” Kata gadis berbaju kuning sambil tersenyum kearahku.
“Haha… Kalian cepat tahu ya…” Kataku
sambil tersenyum masam.
“Jadi… Sejak kapan kalian pacaran?
Kana ga pernah ngasih tahu nih kalo sudah punya pacar… Hmmm… Cowo mu ganteng
juga ya…” Kali ini gadis berbaju hijau yang bicara, dia menatapku dengan
tatapan tajam yang menusuk. Sedang apa sih mereka? Aku melirik kearah Kana yang
wajahnya sudah sangat merah.
“B-Bu…bukan b-begitu… k-kita ga
p-pacaran…” Kana mulai gugup dan panik dengan wajahnya yang merah. Kana melihat
kearahku dan ketika mata kami bertemu, wajah Kana semakin memerah.
“A…u…m… Maaf!” dengan kencangnya
Kana berlari masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya menggaruk kepalaku. Aku melihat
kearah gadis-gadis yang ada di depanku yang sedang terbengong-bengong. Seperti
sudah mendapat nyawa baru, gadis-gadis itu kembali melihat kearahku.
“Ya… Begitulah Kana, tapi kami
tidak pernah lihat dia seperti tadi…” Kata gadis berbaju merah. Aku hanya
tertawa kecil.
“Ha…ha… Aku sudah tahu itu, kalau
begitu… Aku permisi dulu…” Aku sedikit membungkukkan badanku, lalu aku berjalan
kearah rumah Kana, saat aku membuka pintunnya, ternyata pintunya tidak bisa
dibuka… Aku mengetuknya
“Kana… Kamu masih marah ya?” Kataku
sambil mengetuk pintu.
“A-aku
tidak marah… S-sungguh… Tapi bisakah
kamu meninggalkan ku sendiri sebentar? M-Maaf… “ jawab Kana dari
balik pintu. Aku meghela nafas
panjang, aku memutar tubuhku dan
aku melihat ke sekeliling rumah Kana, kemana dulu ya? Pikirku. Lalu mataku
tertuju pada sebuah rumah yang bertuliskan “Perpustakaan Light”, aku berjalan
menuju rumah tersebut, pintunya terbuka,
aku masuk ke dalamnya. Di dalamnya terdapat sekitar 20an rak buku dengan berisi
berbagai macam buku tentunya,
“Hai.... Pelanggan baru rupanya.
Kalau tidak salah kamu adalah pemuda yang menginap di rumah Kana, betul?” Aku
mengangguk, suara itu berasal dari seorang pemuda berkacamata yang berdiri di
dekat sebuah meja.
“ Namaku adalah Sony, siapa nama anda?”
“ Kaze… Senang berkenalan dengan
anda” kataku sambil membungkukan badanku.
“Hm… Kamu… Apa hubunganmu dengan
Kana?” Sony menatapku dengan tajam kurasa tatapannya lebih tajam daripada
gadis-gadis itu .
“Apa maksutmu?”
“Kamu tahu bahwa Kana adalah gadis yang sangat
cantik dan dia merupakan “kembang desa” di sini. Tidak ada pria yang tidak suka
dengannya. Sayangnya dia sangat pemalu dan tertutup dan… aku heran denganmu
karena bisa akrab dengan Kana yang cantik jelita” Dia mengatakan itu sambil
seperti membaca puisi, dia orang yang sangat aneh…
“Maaf… Tapi bisakah aku membaca di
sini tanpa diintrograsi?”
“Ehem…” Sony membetulkan letak
kacamatanya.” Kau benar, aku terlalu bersemangat membahas Kana yang cantik
jelita. Ini adalah perpustakaan turun temurun dari keluargaku, buku di sini sangat
lengkap, silahkan kamu bisa membaca
disini dengan Gratis, tapi kalau mau meminjam kamu harus membayar. Batas
pengembaliannya 3 hari, Kalau melebihi
hari itu kamu harus denda. Harga peminjaman buku sudah tercantum di halaman depan buku”
“Terima
kasih” Aku menghela nafas lega. Aku mulai menelusuri buku apa yang harus
kulihat. Aku melihat sebuah buku besar dan tua tapi ku justru merasa tertarik untuk melihatnya.
Kuambil buku itu dari rak, lalu aku memulai untuk membaca buku itu. Sepertinya
buku ini berisi tentang sihir-sihir. Disini tertulis bahwa yang bisa memakai
ilmu sihir hanya orang tertentu saja. Ya… Aku tahu itu, aku membaca kembali, Sihir dibagi menjadi dua
yaitu sihir cahaya dan sihir kegelapan. Sihir cahaya biasanya digunakan untuk
membantu orang lain dan melindungi. Sedangkan sihir kegelapan digunakan untuk
menghilangkan dan merusak. Orang yang bisa menggunakan sihir cahaya penyembuh
disebut healer dan bal bla bla. Aku mulai malas membacanya, aku pun membuka
buku itu dengan cepat. Lalu maraku tertuju pada sebuah gambar yang sudah tidak
asing lagi bagiku. Gambar Kristal diamond! Aku mulai membaca buku ini dengan
perlahan-lahan, Kristal diamond merupakan Kristal milik para pengguna sihir
cahaya. Kristal ini dijaga ketat oleh para pengguna sihir tersebut karena
banyak orang-orang yang memilki kekuasaan menginginkan Kristal ini untuk memperpanjang hidupnya,
menyembuhkan dan menghidupkan orang mati. Bukan hanya itu, Kristal ini juga
dapat membunuh orang, hanya saja Kristal ini lebih gampang digunakan untuk
memperpanjang hidup dan meyembuhkan orang. Aku menelan ludah, apakah penjaga
itu berarti Kana? Sejak aku menginap dengan Kana, aku benar-benar sudah lupa
akan tugasku sebenarnya. Entah kenapa
aku ingin hidupku seperti ini terus…
Tapi ini tugas dari ketua, aku harus melaksanakannya, tapi Kana… Dia
pasti marah kalau aku mencari Kristal itu lagi. Kemudian ingatan tentang ketua
dan Kana terus datang silih berganti, kupejamkan mataku., sejenak sampai
akhirnya aku memutuskannya. Kututup buku ini, lalu aku berjalan kearah Sony.
Kutaruh uang di atas mejanya.
“Aku pinjam buku ini” kataku sambil
menunjukkan buku yang kubawa.
“Ternyata kamu kuno juga ya” Kata
Sony sambil tersenyum dan menaruh uang ke dalam laci.
“Perpus ini buka jam berapa besok?”
“Jam 9, lihatlah di pintu sudah ada
tulisannya!”
“Aku akan datang besok, sekitar jam
5 pagi”
“Apaaa….! Aku belum bangun jam
segitu!”
“Akan
kutaruh didepan pintu,” aku segera pergi dari perpus ini tanpa menghiraukan
omelan-omelan Sony lagi, Aku berlari kerumah Kana yang pintunya sudah dibuka, saat aku masuk
kedalam rumah Kana, aku melihat ada anak kecil perepuan menangis dengan lututnya yang berdarah di samping Kana, lalu
dengan cekatan Kana membersihkan lutut anak itu, memberinya obat dan memperban
lutut anak itu. Ajaibnya anak itu langsung berhenti menangis.
“Terima kasih kak Kana, lututku
sudah tidak sakit lagi” Kata anak itu dengan riang seperti sudah lupa akan
tangisnya yang tadi.
“Lainkali hati-hati ya” Kata Kana
sambil tersenyum. Aku termangu melihat mereka berdua, lalu aku tersadar anak
itu sudah keluar dari rumah Kana, lalu aku melihat Kana yang sedang memandangku
dengan wajah khawatir.
“Kamu kemana saja? Kamu ga marah
kan sama aku?” kta Kana dengan raut khawatir sambil mendekatiku.
“Tentu saja tidak” kataku sambil
tersenyum, “Aku baru saja dari perpustakaan” aku tidak memperlihatkan buku yang
aku pinjam dari perpustakaan ke Kana, tapi mungkin hanya melihat sampul
luarnya, Kana sudah tahu apa yang aku baca. Sekarang Kana memandangku dengan
raut yang sedih,
“Kalau kamu masih menginginkan
Kristal itu, jangan dekati aku lagi…” kata Kana dengan nada yang hampir
menangis.Aku tidak tahan melihat wajah Kana sesedih itu.
“Kana… Aku hanya tidak mengerti…
Ketua sangat baik padaku, dialah yang sudi memungutku, mengajariku dan
menolongku, tapi… sejak aku bertemu denganmu, walaupun baru sebentar, aku… aku
tidak ingin berpisah denganmu… A-Aku bingung…” Kana diam saja, dia tidak menjawab.
Kami sama-sama menunduk. “Kana… Bisakah kamu menjelaskan tentang Kristal itu
padaku?” kataku lagi, Kana menatapku dengan heran.
“Apa… Kamu tidak tahu?” aku menggeleng pelan.
Selesai makan malam, Kana
menceritakanku tentang Kristal itu dengan lebih merinci dan yang pasti lebih
dapat kupahami daripada harus membaca buku tersebut, aku jadi bimbang ketika
mengetahui lebih dalam tentang Kristal itu, kenapa Ketua menginginkannya?
Apakah Ketua akan menggunakannya untuk hal yang positif , atau…
“ Hampir semua orang yang
menginginkan Kristal itu adalah orang jahat” kata-kata Kana itu terngiang di
kepalaku.
“Bagaimana kalau tidak jahat?”
tanyaku kepada Kana.
“Pasti jahat! Kamu tahu pada
hakekatnya manusia itu pasti mati. Tidak ada yang abadi kecuali Yang Menciptakan
kita… Aku sendiri tidak tahu kenapa Kristal itu ada. Aku malah berharap Kristal
itu tidak ada…” Kana menundukan kepalanya, dia meremas-remas tangannya. “Kana… Apakah kamu penjaga Kristal
itu? Kamu
Healer?” Kana menatapku dengan terkejut. Perlahan tetes-tetes air keluar dari
matanya.
“Apakah
kamu mengerti artinya?” kata Kana sendu. Aku hanya menggeleng. “Jika aku
menceritakan siapa aku, apakah kamu akan menjauhiku atau membunuhku?” Aku
terhenyak dengan kata-kata Kana, aku menggeser kursiku mendekati Kana, lalu
kupegang tangannya.
“Apa
maksutmu? Aku tidak akan membunuhmu!”
“Sungguh?”
“Aku
bersumpah” jawabku dengan bersungguh-sungguh. Kana tersenyum melihatku, lalu
dia pun memberanikan diri menceritakan tentang dirinya.
“
Healer sebenarnya adalah seorang yang memiliki kekuatan sihir cahaya, sehingga
kekuatanya biasa digunakan untuk menyembuhkan orang lain, bagi healer pemula,
dia hanya akan bisa menyembuhkan luka luar saja. Setingkat lebih tinggi akan
bisa menyembuhkan luka dalam...”
“Kalau
Kana?” kataku memotong pembicaraan.”
“... aku lebih suka memakai sihir yang menyembuhkan luka dalam, untuk luka luar aku menggunakan ramuan... Aku juga tidak sering
menggunakan sihir, kalau terlalu banyak menggunakan sihir , aku akan dicurigai...”
“ Lanjutkan tentang tingkatan, Kana” Kataku bersemangat.
“Iya... Lalu untuk yang ahli, healer bisa menghidupkan
orang mati... Walaupun membutuhkan kekuatan yang sangat besar dan nyawa juga
dapat dipertaruhkan... Lalu ... Bagi yang sudah menguasai semua tingkat,
biasanya seorang healer tidak cukup puas dengan tingkatan itu, maka kebanyakan
dari mereka akan belajar sihir kegelapan... Tidak perlu belajar dari awal,
mereka yang sudah ahli bisa langsung menguasai sihir Pembunuh...” Aku menelan
ludahku sedikit ngeri mendengar cerita Kana, “Karena itu, Para healer tidak
bisa hidup tenang dan selalu hidup berpindah-pindah... Banyak yang membenci
kami, ingin membunuh kami... tapi bagi orang yang memiliki kekuasaan, kami
sangat diburu karena bisa melakukan itu...”
“ Tidak semua healer mencapai kekuatan tertinggi bukan?”
“Iya... Tapi mereka biasanya tidak bisa melawan karena
kekuatan mereka hanya untuk menyembuhkan, kalau tidak bunuh diri, mereka
dibunuh...”
“Kalau pengguna sihir hitam, apakah mereka juga dibunuh?’
“Mereka tinggal disuatu tempat dimana hanya mereka yang
bisa melewatinya.”
“Mengapa healer tidak begitu?”
“
Biasanya orang yang memakai sihir kegelapan akan dikucilkan karena biasanya
mereka memiliki emosi dan kekuatan yang tidak terkendali, berbeda dengan healer yang masih bisa hidup dalam lingkungan normal. Dan
banyak healer yang hidup seperti aku, walaupun mereka tidak tahu bahaya apa
yang akan menanti... Ya... Walaupun ada beberapa healer yang tinggal di sana”
“ Kenapa kamu tidak tinggal di sana?”
“Di sana sangat jauh... walaupun aku healer, aku belum
tentu bisa kesana karena aku bukan
pengguna sihir kegelapan... Dan aku sudah 2 tahun tinggal di sini, di sini juga
dekat dengan gua itu.”
“Kamu juga merasa nyaman dengan warga-warga di sini?”
“Tentu, mereka sangat baik, walaupun aku tidak tahu harus
membohongi mereka sampai kapan...”
“Boleh aku bertanya satu lagi?”
“Iya...”
“Apakah kamu bisa menggunakan... Sihir pembunuh? “ Kana
kaget mendengar pertanyaanku, dia sedikit gelagapan untuk menjawabnya, kupegang
tangannya dengan lembut. Kana menatapku dengan sedih, tetes air keluar dari
matanya. Tanpa kata-kata dia pun mengangguk. Aku hanya terdiam tak tahu harus
mengatakan apa. Lalu dengan lirih mengatakannya.
“A...ku pernah menggunakannya... Saat... N-nenekku
dibunuh... Waktu itu... Aku takut sekali... Aku tidak bisa berbuat apa-apa...
Saat tentara-tentara itu mendekatiku... A-aku menggunakan sihir itu... Bukan
hanya satu orang yang kubunuh...Aku membunuh semua tentara itu...” Kana
terisak-isak, aku mendekapnya untuk menenangkannya. Kutepuk punggungnya dengan
lembut.
Malam semakin larut, aku dan Kana sedang duduk bersantai di luar rumah Kana, kali ini Kana lebih tegar untuk menceritakan semua kepadaku. Tentang keluarganya, ternyata ibu Kana adalah Healer dan Ayahnya seorang Mage pengguna sihir kegelapan. Mungkin karena itu tanpa disadari Kana sudah bisa menguasai sihir Pembunuh. Karena peperangan, ibu dan ayah Kana meninggal, lalu Kana tinggal bersama Neneknya. Mereka hidup berpindah-pindah karena sering diusir, sampai akhirnya nenek Kana memutuskan tinggal di rumah ini yang ternyata adalah bekas rumah kakek Kana. Ternyata mereka bisa tinggal lama disini karena orang-orang di sini tidak mengerti tentang sihir-sihir, maklum karena ini adalah desa terpencil.Lalu saat Kana dan neneknya pergi ke Kota untuk mencari bahan untuk obat, ternyata di sana sedang terjadi perang dan mengakibatkan nenek Kana meninggal. Bukan hanya Kana yang bercerita, aku pun menceritakan kisah hidupku yang penuh liku juga. Setelah aku menceritakan kisahku, kami pun segera tidur.
***
Sekitar Jam 4.30 aku keluar dari rumah Kana dengan diam-diam
dan menuju perpustakaan. Aku tidak ingin Kana mengetahui rencanaku hari ini.
Sebenarnya dari Jam 2 pagi aku sudah bangun dan membaca buku itu sampai tuntas.
Hari ini waktu tidurku hanya 3 jam, bagi prajurit sepertiku tidur 3 jam sehari
adalah suatu hal yang lebih dari cukup.Aku berjalan menuju perpustakaan,
kutaruh buku ini didepan pintu sesuai janjiku. Lalu aku berjalan menuju gua
yang terdapat Kristal. Kulihat pohon-pohon yang ada diluar gua, sepertinya
kudaku sudah tidak ada lagi disini, mungkin diambil orang. Kulihat pintu masuk
gua ini, padahal waktu itu ada gempa, tapi sepertinya gua ini masih baik-baik
saja. Aku berjalan pelan memasuki gua tersebut sambil memikirkan Ketua dan
Kana. Aku sebenarnya masih bingung memilih yang mana, mungkin dengan melihat
Kristal itu lagi aku bisa menemukan jawabannya... mungkin. Sesampainya aku diruangan
yang terdapat Kristal, betapa terkejutnya aku ketika melihat ada seorang pria
dengan jubahnya yang bewarna biru hampir hitam dan membawa sabit besar sedang
didekat Kristal itu. Aku lebih terkejut ketika ada orang lain dibelakangku
menarik bajuku. Aku menengok ke belakang, aku lebih kaget karena yang
dibelakangku....
“Ka-Kana?”
“Hati-hati, dia sedang terhipnotis” Jawab Kana seperti
tidak mempedulikan kegugupanku. Lelaki itu menengok ke arah kami dengan matanya
yang putih semua. Aku membentangkan lengan kananku untuk menjaga Kana yang
dibelakangku. Dalam situasi begini aku tidak boleh gugup dan takut. Ini saatnya
melindungi Kana dan menjauhkan lelaki itu dari kristal. Tiba-tiba ruangan
semakin gelap, dengan kecepatan yang biasa saja dia menghempaskan satu serangan
kearahku. Aku menghindar dengan mudah sambil menggendong Kana, walaupun aku
sendiri sedikit kaget.
“B-Bertahanlah
Kaze…” Kana memegang pipiku, lalu tangan Kana mulai bercahaya. Entah kenapa
lukaku terasa hangat dan sakitnya tidak separah tadi.
“Sedang
apa kamu disini terus?” tanyaku berusaha tidak ramah walaupun sebenarnya itu
sangat susah bagiku.
“Mama
dan Papa, “ Aku hanya menahan tawa mendengar jawaban mereka berdua.
“Iya… Dia masih baik seperti dulu, dia tidak memaksaku karena aku tidak bisa menjalankan tugas itu.”kali Kana tidak memandangku, dia mendukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya. Kupegang tangannya dengan lembut, dan Kana pun menoleh padaku. “Kemudian aku mengajukan cuti kepadanya.” Lanjutku, kulihat wajahnya menjadi sedih.
“Kana, sembunyilah dekat batu di sana, jangan keluar
sampai aku selesai menyadarkannya.” Kana mengangguk perlahan dengan wajah
cemas. Tiba-tiba wajah Kana berubah pucat, dia pun berteriak.
“Kaze awas!” Aku memutar badanku dengan kecepatan penuh
sambil menarik pedangku dari sarung pedang dipunggungku. Kutangkis serangan
lelaki itu, aku sedikit terdesak, ternyata dia cukup kuat. Kuserang dia dengan
cepat, walaupun aku menyerang, aku hanya menyerang bagian pedangnya saja.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menarik kakiku. Kucoba untuk maju tapi kakiku tak
bisa bergerak. A-Ada apa ini? Aku melihat kearah kakiku, ternyata dibawah
kakiku terdapat bayangan hitam yang mengikat kakiku. Lelaki itu melompat dan
bersia menyerangku dari atas, Karena aku tidak bisa menghindar, aku hanya
bersiap menahan serangannya. Lalu dari belakang Kana mengucapkan sesuat dengan
lantang.
“Shine!” Muncul
cahaya putih mengelilingiku, lelaki itu terpental, senjatanya jatuh cukup jauh
lalu bayangan dibawah kakiku menghilang sehingga aku bisa berjalan kembali.
Kepalaku menengok menghadap Kana yang sedang tersenyum kearahku. Aku tersenyum
juga, setelah ini selesai aku akan bilang terima kasih padanya. Kulihat kembali
lelaki itu, lelaki itu sedikit sempoyongan. Senjatanya jauh terpental darinya,
mungkin dia akan menyerah?
Setelah beberapa detik
terdiam, lelaki itu membuka sarung tangan sebelah kiri. Kami terkejut ketika
melihat tangan kiri lelaki itu memilki tangan seperti monster dengan cakarnya
yang mengerikan. Kana memekik ngeri sambil berkata
“Kaze
awas!” Dengan kecepatan melebihi tadi, lelaki itu menyerangku dengan tangan
monsternya. Aku menangkisnya dengan tanganku.
“Kaze,
gunakan pedangmu!” Kana meneriakku
dengan panic, tapi aku tetap tidak menggunakan pedangku.
“Dia
tidak menggunakan senjatanya, aku pun juga tidak” jawabku sambil berusaha
menghentikan serangannya.
“Tapi…
dia memakai tangan itu…” Kata Kana cemas. Kana memejamkan matanya sesaat, “Aku
akan membantumu” Kana berlari mendekati ku dan lelaki itu. Dengan tongkat yang
Kana bawa, dia berusaha mencoba menahan serangannya.
“Cepat
serang dia!” Kata Kana sambil menahan serangan lelaki itu. Aku sedikit mendapat
kesempatan untuk menyerangnya, tapi ketika aku melihat lelaki itu ternyata
tidak mengincarku! Gawat… Aku memekik dalam hati, dengan kesempatan yang
seperkian detik, aku peluk badan Kana lalu kudorong badanku kedepan agar tidak
mengenai serangan lelaki itu. Ternyata kesempatanku habis, aku terkena
serangannya sedikit. Bajuku sobek dan darah segar keluar dari punggungku. Aku terjatuh
menindih badan Kana, aku sedikit kesakitan menahan sakitnya punggungku yang
terkena serangan tadi.
“Kana…
kamu…”
“Aku
sudah mengobati lukamu sedikit, walaupun belum sempurna karena waktunya akan
lama” Aku memandang Kana dengan cemas, kutatap matanya dalam-dalam. Sesaat pipi
Kana sedikit merona, itu membuatnya tambah manis. “Kenapa?” Tanya Kana.
“Kana…
Kamu sangat manis… Eh… duh… Maksutku… Apa kamu baik-baik saja?” Aku jadi malu
dan gugup dengan apa yang kukatakan. Dan ketika aku menyadari bahwa aku masih
di atas Kana, dengan panic aku menjauh darinya. “M-Maafkan aku…” Kana tersenyum malu-malu melihatku.
“Aku
baik-baik saja, cepat kalahkan dia” mendengar jawaban Kana, aku merasa mendapat
semangat baru. Aku pun berlari kearah lelaki itu lalu kami pun bertarung dengan
sengit menggunakan tangan. Dengan kecepatan yang aku punya, aku berhasil
mendesak lelaki itu. Dan dengan tinjuku yang kuat, aku berhasil mendorong
lelaki itu hingga… Aku tersentak kaget ketika melihat lelaki itu jatuh dan
mengenai Kristal Diamond hingga jatuh dan pecah! Aku dan Kana saling
berpandangan. Tiba-tiba Gua bergemuruh dan disusul dengan gempa. Langt-langit
Gua mulai runtuh.
“Kana
cepat lari! Aku akan membawa lelaki itu dulu”. Kugendong dia yang sepertinya
pingsan, lalu aku berlari keluar dari Gua
***
Kami
berhasil keluar dari gua, kutaruh lelaki itu di rumput persisi seperti saat aku
pertama kali bertemu Kana. Aku memandang Kana yang sedang melihat lelaki itu
sambil menyembuhkannya dengan kekuatan Kana. Kulihat gua yang tadi kami masuki
kini benar-benar sudah runtuh.
“Apakah
gua ini akan hancur ketika kristalnya juga hancur?” tanyaku kepada Kana.
“Sepertinya
begitu…” Kana menghela nafas panjang.
“Kana,Terima
kasih sudah menolongku…Dan…Maafkan aku…”
“Maaf?
Kenapa?”
“Karena
aku menghancurkan Kristal itu…”
“Itu
kecelakaan, tidak perlu minta maaf” Kata Kana sambil tersenyum tipis, tapi
dibalik senyumnya ada guratan kekhawatiran. Kemudian kami melihat lelaki itu
menggerak-gerakkan jemarinya dan membuka matanya, dia melihat kami dengan
terkejut.
“Siapa
kalian? Dimana aku?”
“Kami
menolongmu dari goa itu,” sahutku. Dia melihat kami dengan bingung, “Sebaiknya
kamu cepat pergi dari sini sebelum masalah lain datang,” lanjutku.
“Apakah
aku membuat masalah disini?” Jawabnya dengan gusar.
“Tentu
saja” kali ini Kana yang angkat bicara. “Orang asing sepertimu pasti mengincar
kristal itu!” Lelaki itu memandang Kana dengan takjub, mereka berdua saling
berpandangan. Seperti mengetahui arti tatapan itu, Kana segera bangkit dari
duduknya lalu menarik tanganku dan berlari meninggalkan lelaki itu sendiri.
“K-Kenapa
Kana?” Tanyaku yang masih tidak mengerti kenapa kami harus meninggalkan lelaki
itu.
“Akan
aku ceritakan kalau kita sudah sampai rumah.” Kami pun sampai rumah. Dengan
ahlinya Kana menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Kulihat nafas Kana
masih tidak teratur, dengan wajah pucat Kana merosot duduk dibawah lantai
dengan lemas.
“Kamu
tak apa-apa?” tanyaku agak khawatir, aku
duduk didepan Kana.
“Dia…
tahu kalau aku adalah healer,” kata Kana menggigil. Kupegang tangannya dengan
lembut.
“Aku
akan melindungimu” kataku sambil tersenyum, ada rona merah dipipi Kana, dia pun
tersenyum simpul walaupun masih ada guratan kekhawatiran di raut wajahnya. Aku mengintip
keluar dari balik korden, seperti yang aku duga lelaki itu sudah berada didepan
pintu.
Langit
semakin gelap dan tak lama kemudian hujan mulai mengguyur desa ini. Satu jam
berlalu dan lelaki itu masih pada posisi lamanya yaitu berdiri mematung didepan
pintu. Dia tidak mengetuk pintu, bergerak saja tidak. Aku dan Kana akhirnya
merasa kasihan, aku menyuruh Kana untuk bersembunyi dikamarnya dulu. Akupun
membuka pintu.
“Kalau
aku mengatakan aku adalah pengguna sihir kegelapan, apakah aku diperbolehkan
masuk?” Dia mengatakan dengan perlahan namun aku tetap saja terkejut.
“Mm…
Mungkin sebaiknya aku tanyakan dulu.” Kututup pintunya dan aku segera mengatakan
pada Kana, sama sepertiku Kana pun terkejut.
Dengan
sabar lelaki itu berdiri didepan pintu, dan kesabarannya pun akhirnya terbalas
karena pintu yang berada didepannya terbuka. Dengan gontai lelaki itu masuk
kedalamnya. Dia melihat aku dan Kana yang sedang duduk menikmati teh panas yang
mengepul-ngepul, ketika melihat ada satu teh panas yang tersisa, dia merasa
ingin menikmatinya juga. Aku melemparkan handuk ke arah lelaki itu, dengan
sigap dia menangkapnya, dia langsung tahu apa maksudku. Dia melepaskan jubahnya
dan menaruhnya di lantai, kami pun melihat dengan jelas wajah lelaki itu tanpa
jubahnya. Rambutnya pirang lurus cukup panjang namun tidak teratur dan diikat
seadanya. Dari wajahnya mungkin dia seumuran aku. Lalu dia mengeringkan
badannya dengan handuk yang aku berikan. Kemudian lelaki itu melihat kami
seperti menunggu perintah selanjutnya.
“Taruh
saja jubahmu disitu, besok akan kukeringkan jika cerah. Silahkan diminum
tehnya.” Kata Kana. Ada senyum tipis bergerak dari bibir lelaki itu. Dengan
malu-malu namun tetap santun, dia mendekati kami dan duduk dilantai seperti
yang kami lakukan lalu dengan sopan dia menyeduh tehnya.
“Terima
kasih banyak, nama saya Riku. Umur saya 25 tahun. Kalau boleh saya ingin berkenalan
dengan kalian.”
“Haah…!
Umurmu 25? Kukira umurmu sama denganku. Namaku Kaze, 19 tahun. Lalu dia Kana,
hei umurmu berapa?”
“…17
“ jawab Kana malu-malu mungkin karena dia merasa paling kecil.
“Wah
saya paling tua ya” sahut Riku sambil tersenyum lalu menyeduh tehnya.
“Lalu…
Untuk apa kamu ke gua itu” kata Kana.
“Sebenarnya
aku hanya ingin menggunakan magic dari Kristal itu, aku tidak akan membawanya.
Namun, aku malah terkena efek itu.”
“Ada
seseorang yang ingin kamu hidupkan? Atau …”
“Iya…
Aku ingin hidupkan seseorang,dia sama sepertimu seorang healer. Dia dibunuh
oleh suaminya sendiri…” Riku menggenggam tangannya dengan erat menahan amarah
yang berkecambuk dihatinya.
“Hei
Riku, kamu tidak akan mengamuk dan merusak rumah Kana kan?” Riku terkejut
mendengar perkataanku. Riku menutup matanya, menghirup nafas dalam-dalam dan
mengeluarkannya perlahan.
“Aku
baik-baik saja”
“Kenapa
kamu tidak menggunakan Kristal Ruby?” Tanya Kana lagi.
“Aku
sudah melakukannya setahun yang lalu. Tapi aku tidak menemukan jejak kehidupannya
juga. Untuk itu aku datang kemari untuk menggunakan Kristal diamond”
“Kristal Ruby?” Tanyaku polos.
“Kristal Ruby?” Tanyaku polos.
“Itu
bukan berarti dia masih meninggal kan? Kamu hanya perlu mencarinya dulu”
“Aku
tidak tahu dimana dia!”
“Seharusnya
kamu mencari jasadnya dulu! Baru menghidupkannya!”
“Jasadnya
sudah dibuang ke jurang oleh suaminya!”
“Kalau
tidak ada kamu Kristal Diamond pasti masih ada!”
“Kalian
berdua hentikaaaan!!” Mereka berdua memandangiku dengan sinis. Tapi aku tetap
melanjutkan perkataanku, “kenapa kalian jadi bertengkar? Ayolah jangan
kekanak-kanakan seperti itu” mereka berdua terdiam, Kana menunduk sedangkan Riku menghela nafas. “Kalau aku boleh Tanya, Kristal ruby itu apa
sih? Hehe…” Lagi-lagi mereka memandangiku dengan sinis, aku hanya bisa tertawa
polos.
“Kristal
Ruby itu kristal milik pengguna sihir hitam, bentuknya bulat dan bewarna merah
tidak seperti diamond. Kegunaannya hampir sama dengan Diamond, namun Ruby
diperuntukkan untuk merusak dan membunuh, bisa saja untuk menyembuhkan dan menghidupkan
tapi memiliki persentase kegagalan yang cukup besar.” Kata Kana menjelaskan,
aku dan Riku mengangguk. Aku menggangguk tanda mengerti, sedangkan Riku
menganguk tanda setuju.
“Jadi
kamu gagal menghidupkan temanmu?” tanyaku
“Aku
juga tidak tahu pasti, karena aku melakukannya tanpa mengetahui dimana
jasadnya.”
“Lalu,
apa yang harus kamu lakukan disini?” Tanya Kana.
“Menunggu
jubahku kering” jawab Riku sambil tersenyum masam. Kana menoleh memandangiku
dengan wajah cemberut.
“Sepertinya
kita akan punya penumpang baru” kata Kana, aku hanya tertawa mendengarnya.
“Kana,
kenapa kamu cemberut terus?” tanyaku saat kami sudah di kamar tidur, Riku tidur
diruang utama dikasur pasien, hanya itu kasur yang tersisa. Seperti biasa Kana
tidur di kasur atas dan aku dikasur bawah.
“Aku
tidak suka dengan orang itu, “
“Kukira
kamu sebal karena biaya hidup bertambah”
“Ya
itu juga sih…”
“Kamu
tidak menyuruhku untuk pulang kan?” Kataku dengan agak gusar. Kana tertawa, dia
melongokkan kepalanya kebawah melihatku, rambutnya yang panjang dan indah
tergerai berayun-ayun mengikuti gerak kepalanya.
“Tentu
saja tidak, bodoh! Takkan kubiarkan kamu pulang” Aku tersenyum mendengarnya.
“Sebenarnya
aku sedikit khawatir”
“Kenapa?”
“Karena
sekarang aku akan punya rival…”
“Rival
apa maksutmu? Aku akan berusaha adil membuat makan untuk kalian dan mencuci
pakaian kalian”
“Nah itu, seharusnya kamu memberiku lebih karena
aku tinggal bersamamu lebih lama”
“Sebaiknya
kamu cepat tidur deh!”
***
***
III
Hari
ini cuaca cerah dan Kana pun senang karena beberapa hal. Pertama Kana senang
karena cuaca cerah dan dia bisa menjemur pakaian dan yang kedua adalah dia
tidak perlu mencari tanaman karena dia bisa menyuruh aku dan Riku. Dengan
sedikit mengantuk Riku mengikutiku menuju hutan. Jalanan masih becek karena
hujan semalam, apalagi dihutan jalanannya berbatu dan licin namun Riku seperti
sudah biasa menghadapi jalanan yang licin walaupun sedang mengantuk. Akhirnya
aku menemukan tanaman herb yang biasa digunakan Kana untuk membuat obat.
“Kenapa
dia repot-repot membuat obat? Bukankah dia healer?” Kata Riku sambil menguap.
“Bego,
tentu saja agar identitasnya terjaga,” kataku sambil memetik tanaman herb
“Oh
iya benar juga.”
“Bagaimana
denganmu? Apa kamu sering dicurigai?”
“Tidak
kok. Aku tidak pernah menggunakan kekuatanku kalau tidak sedang bertarung.”
Kata Riku sambil menggaruk kepalanya, mungkin gatal karena sudah lama tidak
keramas dan tadi pagi dia belum mandi. “Oh iya, sudah berapa lama kamu kenal
Kana?” Tanya Riku.
“Baru
seminggu ini, kenapa?” tanyaku sambil menggali tanah lalu didalamnya kutaruh
biji.
“Kalian
berdua mengingatkanku pada masa laluku, seorang prajurit suka dengan helaer”
kata Riku, aku terkejut mendengarnya dan tanpa kusadari wajahku sedikit
memerah.
“Apa
sekarang sedang pelajaran cinta?” kataku agak gusar, kusebarkan beberapa pupuk
agar gerogiku sedikit berkurang.
“Aku
hanya memberimu nasehat, wajahku memang masih terlihat muda karena aku pengguna
sihir, namun pengalaman hidupku sudah penuh liku, terutama soal cinta. Dengar
Kaze, sebaiknya kamu segera memberi tahu perasaanmu pada Kana, seorang healer
itu memiliki persentase hidup yang sangat dikit dibanding pengguna sihir lain,
aku juga tidak tahu mengapa dan aku tidak sedang menakut-nakutimu loh.” Aku
terdiam mendengar perkataannya, ada rasa takut yang menyelimuti hatiku.
“Tapi…
aku, Kana baru seminggu bertemu”
“Aku
sudah dua tahun bersamanya, ketika aku akan mengatakannya aku benar-benar sudah
terlambat…” Riku berucap sambil memandang langit biru, aku “Aku
sudah dua tahun bersamanya, ketika aku akan mengatakannya aku benar-benar sudah
terlambat…” Riku berucap sambil memandang langit biru, aku termenung sesaat,
apakah ini berarti aku dan Kana tidak mungkin bisa bersama selamanya?
“Apakah
kamu mau bercerita tentang masa lalumu?” tanyaku kepadanya, Riku tertegun, dia
menghela nafas panjang lalu kemudian dia duduk di rumput disebelahku.
“7
tahun yang lalu,dulu aku bukanlah Mage, aku sama sepertimu seorang prajurit
yang selalu setia pada Kerajaan. Aku memiliki teman sepermainan bernama
Catherine, dia seorang healer. Dulu healer masih agak banyak dan hampir disetiap
kota masih ada healer. Aku mulai menyukainya sewaktu umurku 18 tahun, dan aku
baru berani mengatakannya 2 tahun kemudian. Tapi… “
“Dia
mati?”
“Bukan”
“Dia
menolakmu?”
“Bukan”
“Lalu?”
kataku sedikit kesal sambil mencabut tanaman herb agak keras.
“Dia
sudah dilamar oleh seseorang, dia menangis saat aku mengatakannya… Andai saja
waktu itu aku lebih cepat… Sebenarnya aku yakin 100% Kana tidak menyukai lelaki
itu, dia dipaksa nikah. Tapi aku tidak bisa apa-apa, lalu 2 tahun kemudian
lelaki itu membunuh Catherine entah apa alasannya. Dan lelaki itu tak pernah
dihukukm sampai sekarang karena dia memiliki kekuasaan… Karena dendam ini aku
menjadi mage, agar aku bisa membunuhnya… dan menghidupkan Catherine…”
“Apakah
kamu berhasil membunuh?”
“Itu
hal yang sangat mudah,aku membunuhnya saat kekuatan mageku masih kecil. Karena
kejadian itu aku dikeluarkan dari pekerjaanku dan aku memutuskan memperdalam
ilmuku sampai sekarang”
“Aku
mengerti perasaanmu tapi sebaiknya kamu jangan mencampuri urusanku dengan Kana”
kataku setelah berpikir agak lama kata-kata apa yang harus kukomentari setelah
mendengar ceritanya yang cukup panjang.
“Tentu
saja tidak, namun sayangnya Kana cukup manis” Aku pun menonjok perut Riku
dengan cepat.
***
“Selamat
datang! Kalian lama sekali ya, loh Riku kenapa perutmu?” Kata Kana menyambut
kedatangan kami dengan ceria, dia sedang menaruh jemuran di atas tali.
“Dia
hanya kebelet buang air,” kataku dengan cepet sebelum Riku menjawabnya, “Ini
tanamannya Kana, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Aku memberikan tas
jerami ke tangan Kana, lalu Kana tersenyum.
“Kalian
istirahat saja dulu”
“Kana,
jubahku mana?”Tanya Riku sambil melihat-lihat di ember dan ditali.
“Oh
iya, jubahmu sudah aku buang” Kata Kana polos sambil memeras bajunya yang sudah
dicuci.
“AAAPPPPAAAAAAAA!!!”
“Soalnya
jubahmu bau sekali seperti sudah bertahun-tahun tidak pernah dicuci lalu kotor
dan sudah sobek-sobek pula, makanya aku buang.” Kata Kana sambil cemberut,
”Tenang saja, aku akan memberimu uang pengganti, tak jauh dari sini ada toko
baju kok”
“Jubah
kesayanganku…” Kata Riku sambil terunduk lesu. Aku tertawa melihatnya,
“Aku
saja yang membelikanmu jubah baru, uang Kana disimpan saja untuk membeli bahan
makanan” Kataku sambil tersenyum pada Kana, kulihat Kana tersenyum malu-malu
melihatku.
“Jangan
mengira aku Kere tak punya uang hanya untuk membeli jubah ya, gini-gini aku
sering mendapat uang untuk menjadi mata-mata, prajurit lepas dan pembunuh
bayaran tahu!” Kata Riku menggerutu, Aku dan Kana tertawa mendengarnya. “
Sebaiknya aku beli dulu” Riku melihatku lalu mengedipkan sebelah matanya sambil
mengacungkan jempol yang diarahkan ke Kana, Aku sedikit gugup melihat kode
tersebut. Riku pun meninggalkan kami berdua, apa yang harus aku lakukan?
Pikirku agak keringat dingin. Apakah setelah aku mendengar cerita Riku, aku
harus melakuakan apa yang Riku suruh? Kalau dipikir lagi aku juga takut akan
masa depan Kana tapi aku juga bingung apakah aku harus percaya pada cerita
Riku? Setelah 5 menit berpikir, akhirnya aku memutuskan. Aku berjalan mendekati
Kana, kupegang bahunya, lalu kuputar badannya sehingga kami saling berhadapan,
tentu saja Kana kaget dan dari mimiknya dia hampir mau mengomeliku namun ketika
melihat wajahku yang sedang serius menatap wajahnya, berlahan ketegangannya
mulai mengendur.
“Ada
apa Kaze?”
“Kana…
Aku… Aku…” Aku mendekatkan wajahku ke wajah Kana, kulihat wajahnya begitu
merah, aku tidak menghiraukan itu walaupun dia terlihat sangat manis, yang
penting bagiku adalah dia tidak menolak saat bibirku hampir menyentuh bibirnya
dan…
“Omong-omong
toko bajunya dimana ya?” mengetahui Riku berdiri di sebelah kami sambil
menggaruk kepalanya dengan bingung aku hanya tertunduk lemas.
***
2
minggu berlalu, aku merasa hari-hariku diisi dengan kegiatan yang menyenangkan.
Membantu Kana dalam hal rumah tangga, menanam tanaman herb, mencari tanaman dan
berlatih pedang bersama Riku. Namun hari ini aku tidak sempat melakukan semua
itu karena tetangga kami mengalami kecelakaan dalam bekerja. Ada beberapa orang
pria yang mengalami luka cukup serius. Dan kami bertiga dibantu tetangga
menjadi cukup sibuk.
“Sepertinya
stok perban hampir habis, kalian berdua tolong belikan perban di kota sebelah
ya. Jalan terus ke utara kalian akan sampai dalam waktu 30 menit kalau jalan.
Kuharap kalian lebih cepat dari itu. Terima kasih banyak ya, uangnya akan aku
ganti.” Kata Kana dengan tegas kepada aku dan Riku, kuakui dia sangat
berbeda ketika dalam situasi yang seperti ini, kami mengangguk dan segera
pergi.
“Hei
Kaze, mau memakai sihir agar kita cepat sampai sana?” Tanya Riku kepadaku.
“Boleh
saja” jawabku. Riku tersenyum, dia pun melafalkan mantra pendek dan dia
berkata, “Haste” seketika itu juga kakiku mengeluarkan cahaya bewarna biru
muda.
“Nah
coba kamu lari,” saat aku lari aku merasa lariku sangat cepat!
“Wow,
hebat sekali!” kataku memuji. Riku hanya tertawa bangga.
Dalam
perjalanan aku dan Riku berbincang mengenai sihir, Riku berkata bahwa dia
sebenarnya sudah mencapai sihir kegelapan yang tertinggi. Dia bisa menggunakan
sihir cahaya juga walaupun tidak semua sihir cahaya bisa dia lakukan. Seperti
halnya menyembuhkan dan menghidupkan orang mati dia masih belum bisa.
“Apakah
kamu bahagia menjadi Mage?” tanyaku kepada Riku. Riku diam beberapa saat.
“Tentu
saja. Ini jalan hidup yang aku pilih, Bagaimanapun aku harus bahagia“ kata Riku
sambil melihat langit.
“Kalo
lari lihat jalan” Kataku membuyarkan lamunan Riku, Riku yang awalnya terlihat
kaget kemudian dia tersenyum.
IV
Kota
Xenia adalah kota besar yang terdapat berbagai gedung yang cukup besar. Sungguh
berkebalikan dengan tempat tinggal Kana. Aku dan Riku mengelilingi kota ini
sambil melihat-lihat kota ini dan tentu saja mencari toko obat. Tak lama
berselang akhirnya kami menemukan rumah toko yang bertulisan “Medication” yang
cukup besar. Tanpa ragu aku dan Riku memasuki rumah toko tersebut. Sesampainya
didalam ternyata toko ini cukup sepi hanya ada dua orang yang berpakaian…
Prajurit Gegana? Ya ini adalah Prajurit dibawah naungan Ketua Senu. Mungkin
mereka mengenaliku karena aku adalah atasan mereka., tapi jujur saja aku
berharap mereka tidak mengenaliku sekarang.
“Hei
itu bukankah Kaze?” Salah satu dari prajurit yang sedang membeli obat juga
menunjuk kearahku sambil berkata pada prajurit yang disebelahnya.
“Wah
benar!” Mereka berdua berjalan mendekatiku. Aku sedikit tegang bertemu mereka.
Bukan karena aku tidak hapal nama mereka, namun…
“Sudah
lama tidak melihatmu. Apa dia teman barumu?” Kata salah satu prajurit sambil
melihat kearah Riku. Riku hanya diam saja.
“Kamu
terluka dalam melaksanakan tugasmu? Kalau susah sebaiknya kamu minta bantuan
saja pada Ketua Senu, dia sedang ada di penginapan dekat sini kok.” Deg! Aku
merasa jantungku berdebar lebih cepat. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya
dan aku tidak ingin bertemu dulu. Sebenarnya aku masih belum siap untuk
mengatakan tugasku yang tidak akan selesai padanya.
“Ketua…
Sedang apa disini? Tumben dia tidak di markas“ tanyaku.
“Kita
mendapat job untuk melindungi kota ini. Kudengar ada artis cantik yang bernama
Sena akan datang ke kota ini, Mungin Ketua Senu dan Sena bersaudara?”
“Masa?
Ga mungkin lah hanya ada artis seperempat dari prajurit kita dan Ketua harus
melindungi kota ini. Yang aku dengar akan ada perang tahu!” Aku hanya tersenyum
melihat mereka. Lalu aku mulai angkat bicara.
“Bisa
kalian antar aku kekamarnya?” tanyaku kepda mereka, Riku pun terkejut.
“Tentu
saja” Kata salah satu dari mereka.
“Kalau
begitu aku bilang dulu ke temanku sebentar, kalian duluan saja.” Aku melihat kedua
prajurit itu keluar dari toko. Kemudian aku melihat kea rah Riku yang masih
terbengong-bengong.
“Riku,
maaf… Aku akan ada urusan disini, aku akan secepatnya pulang. Sebaiknya kamu
cepat beli perban dan pulang. Tolong jangan beritahu Kana dulu tentang ini.”
“Jangan
membuat Kana khawatir” kata Riku sambil menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum.
Setelah
mengucapkan terima kasih pada 2 prajurit yang mengantarku dan 2 prajurit
penjaga pintu aku pun berjalan memasuki kamar Ketua Senu. Aku melihat pria setengah
baya yang rambutnya hampir memutih semua sedang duduk dilantai
Setelah
mengucapkan terima kasih pada 2 prajurit yang mengantarku dan 2 prajurit
penjaga pintu aku pun berjalan memasuki kamar Ketua Senu. Aku melihat pria setengah
baya yang rambutnya hampir memutih semua sedang duduk dilantai menghadap meja
yang penuh dengan buku dan kertas. Ketua
melihatku, seketika itu juga membuat kaki dan tanganku mendingin.
“Sudah
lama sekali ya, Kaze. Silahkan duduk” Kata Ketua dengan lembut sambil tersenyum
penuh wibawa. Aku pun duduk dengan hati-hati didepan mejanya.
“Maafkan
saya, Ketua…” kataku sambil menunduk.
“Jadi…”
Ketua melihatku seperti sedang mencari benda yang dia inginkan. “Kau sudah
membawa itu?”
“Maafkan
saya… S-Saya tidak bisa melaksanakan tugas” kataku sedikit gugup. Ketua
melihatku dengan heran dan sedikit kecewa.
“Ternyata
prajurit terbaikku tidak bisa melaksanakan tugas. Memang ini salahku memilihmu
dalam tugas yang amat sangat berat ini.” Aku menahan nafas, wajah Kana muncul
dibenakku dan membuatku memberanikan diri untuk segera mengatakannya pada
Ketua. “Oh ya Kaze kau tahu, aku mendengar kabar bahwa ada seseorang yang
bergelar healer merupakan penjaga kristal itu dan dia memiliki kekuatan sama
kuatnya dengan Kristal itu” Deg! Jantungku seperti berhenti mendadak. “ Mungkin
kamu bisa menemukannya, menangkap orang untukmu tidak sulit kan. Dia memiliki
tanda + di dahinya” Ketua terus berbicara, sedangkan aku terus memikirkan Kana
sampai suatu pikiran menyadarkan ku. Aku harus menyelesaikan ini!
“Ketua…
Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Ya?”
“Saya
akan mengundurkan diri dari Prajurit Gegana” Ketua terdiam, kami sama-sama
terdiam. Aku jadi semakin tegang.
“Kamu
sudah melakuakan yang terbaik, aku tidak akan mengeluarkanmu…”
“Bukan,
bukan itu” Baru kali ini aku berbicara keras pada Ketua, tapi aku tidak punya
pilihan lain. Aku harus berjuang untuk keluar dari ini.
“Kamu
adalah prajurit terbaikku, aku tidak akan mengeluarkanmu tanpa alas an yang
jelas.” Kata Ketua dengan tegas.
“Saya…
Bertemu dengan seseorang, saya harus melindunginya. Jadi… jika saya masih
menjadi prajurit… Saya takut… Tidak bisa melindunginya…” Kataku sedikit gugup.
“Banyak
prajurit yang sudah menikah dan tetap bisa menjaga istrinya,”
“…
Tapi…”
“Aku
tidak akan mengeluarkanmu, tapi aku memperbolehkanmu untuk cuti.” Aku merasa
mungkin hanya itu jalan keluarnya. Walaupun aku merasa lega tapi tidak
sepenuhnya lega karena yang aku dapat hanya cuti. Kemudian aku menunduk.
“Cuti
saya terima, terima kasih banyak”
***
Riku
berjalan seorang diri di hutan. Setelah memberikan perban ke Kana, Kana masih
sibuk merawat orang yang terluka walaupun dia sempat bertanya, “Kaze mana?” dan
Riku hanya menjawab, “Sepertinya kami terpisah dijalan, aku kira Kaze sudah
pulang duluan.” tentu saja Riku berdusta namun Kana sepertinya percaya dan
kembali melanjutkan pekerjaannya. Riku pun segera pergi supaya Kana tidak
bertanya lagi dan Riku juga merasa dirinya tidak begitu berguna jika ikut
membantu orang-orang itu. Dan hanya hutan inilah tempat yang paling nyaman
untuk kabur. Tiba-tiba Riku mendengar bunyi Kresek-kresek… Suara itu terdengar
dari semak-semak dekat dengan tempat Riku berjalan. Awalnya Riku membiarkannya, tapi ketika bunyi
itu diikuti dengan suara anak kecil menangis, Riku mulai mendekati semak-semak
itu, dan betapa terkejutnya ketika didalam semak-semak itu terdapat 2 anak
kecil, dan mereka kembar. Yang satu perempuan sedang menangis sambil menatap
Riku dengan iba dan yang satunya lagi laki-laki sedang memeluk yang perempuan
seperti sedang menenangkannya dan sambil menatap Riku dengan sangar. Mereka
berdua sama-sama kumal dengan luka disana-sini, jubahnya pun nsudah sobek-sobek
sehingga sudah tidak pantas lagi untuk melindungi badan.
“Mau
apa kamu?” kata anak laki-laki sambil terus memandang Riku dengan garang.
Tadinya Riku merasa iba melihat mereka dan ingin menolongnya, tapi ketika
mendengar perkataanya, Riku merasa tidak perlu menolong mereka, Dasar congkak!
Pikir Riku. Riku pun segera berdiri dan ketika dia mau membalikkan badan, dia
melihat yang perempuan matanya mulai berkaca-kaca.
“Ken,
kamu tidak boleh seperti itu… Mungkin saja dia benar-benar ingin menolong kita…
“ kata anak perempuan sambil terisak-isak.
“Yang
benar saja! Kita tidak boleh tertipu untuk kedua kalinya! Kalau dia mau
menolong kita, seharusnya dia seperti tante Phelia yang walaupun pertama
kalinya aku kasar dia tetap memungut kita kan?”
“Tante
Phelia sudah mati, Ken! Kita tidak bisa bertemu dengannya lagi!” Riku hanya
menggerutu dalam hati, dasar bocah! Kalian tidak akan menyuruhku mejadi tante
mu itu kan. Tiba-tiba anak perempuan itu menjadi kejang-kejang. Yang laki-laki
mejadi panik.
“Kei,
bertahanlah!” Lalu mereka berdua sama-sama pingsan. Riku jadi ikutan panik.
Riku sedikit menggoyang-goyangkan tubuh mereka berharap mereka bangun.
“Hei, kenapa? “ Mereka tidak bangun juga. Riku menepuk dahi, seharusnya dia tadi langsung bawa saja ketempat Kana daripada dikira membunuh bocah, pikir Riku. Ketika Riku merasa tubuh mereka semakin dingin, dia pun tidak punya pilihan lain. Sebenarnya dia malas menggunakan sihir healingnya karena dia yakin Kana lebih ahli dan dia tidak perlu membuang-buang tenaganya. Tapi karena kepepet, akhirnya Riku pun melakukan itu. Riku membaca mantra pendek “Heal” dan cahaya hijau muncul ditangan Riku kemudian berjalan ke tubuh 2 anak tersebut. Sayangnya sihir itu tidak menunjukan tanda-tanda bahwa 2 anak tersebut menjadi lebih baik. Riku menghela nafas kesal. Riku kembali membaca mantra kali ini lebih panjang kemudian “Heal”. Dan tubuh 2 anak itu menjadi hangat, walaupun masih pingsan mereka sempat menggerakan jarinya yang mungil. Riku menghela nafas lega. Digendongnya 2 anak itu menuju rumah Kana. Riku melihat kedua anak itu, mereka berdua sebenarnya mirip, hanya saja yang laki-laki walaupun pingsan tetap terlihat menjengkelkan dan yang perempuan… Entah kenapa Riku merasa tidak asing dengan wajah yang perempuan, seperti pernah melihat tapi dimana?
“Hei, kenapa? “ Mereka tidak bangun juga. Riku menepuk dahi, seharusnya dia tadi langsung bawa saja ketempat Kana daripada dikira membunuh bocah, pikir Riku. Ketika Riku merasa tubuh mereka semakin dingin, dia pun tidak punya pilihan lain. Sebenarnya dia malas menggunakan sihir healingnya karena dia yakin Kana lebih ahli dan dia tidak perlu membuang-buang tenaganya. Tapi karena kepepet, akhirnya Riku pun melakukan itu. Riku membaca mantra pendek “Heal” dan cahaya hijau muncul ditangan Riku kemudian berjalan ke tubuh 2 anak tersebut. Sayangnya sihir itu tidak menunjukan tanda-tanda bahwa 2 anak tersebut menjadi lebih baik. Riku menghela nafas kesal. Riku kembali membaca mantra kali ini lebih panjang kemudian “Heal”. Dan tubuh 2 anak itu menjadi hangat, walaupun masih pingsan mereka sempat menggerakan jarinya yang mungil. Riku menghela nafas lega. Digendongnya 2 anak itu menuju rumah Kana. Riku melihat kedua anak itu, mereka berdua sebenarnya mirip, hanya saja yang laki-laki walaupun pingsan tetap terlihat menjengkelkan dan yang perempuan… Entah kenapa Riku merasa tidak asing dengan wajah yang perempuan, seperti pernah melihat tapi dimana?
***
Kana
melihat sekeliling rumah dengan cemas, malam sudah menjelang pasiennya sudah
diperbolehkan pulang dan dirumah hanya tinggal Kana namun Riku dan Kaze belum
pulang juga. Tapi ketika dia melihat aku berlari menuju rumahnya raut wajahnya
terlihat senang tapi sedetik kemudian
dia langsung cemberut.
“Apa
yang kamu lakukan? Aku mengkhawatirkanmu, kamu tidak tersesat kan?” kata Kana
sambil memanyunkan mulutnya, aku hanya tersenyum letih.
“Maaf
“ Kataku sambil membersihkan keringat yang mengucur didahiku. “Sebenarnya…” Ketika
aku mau melanjutkan kata-kataku, dari arah hutan aku melihat Riku berlari
sambil membawa 2 anak kecil.
“Woi!
Ada pasien!”
Riku
menaruh kedua anak itu dikasur pasien dibantu olehku. Saat Kana mau mengambil
obat, Riku mencegahnya,
“Hanya
ada aku dan Kaze mereka berdua juga pingsan, jangan sungkan menggunakan
kekuatanmu.” Aku segera menutup pintu dan menguncinya, begitu juga dengan
jendela yang kemudian kututup dengan gorden. Kana melihat-lihat lagi rumahnya
untuk memastikan tidak ada tempat untuk mengintip lagi.
“Kamu
yakin?” Tanya Kana ke Riku.
“Kamu
tidak ingin kekuatanmu hilang karena jarang memakainya?” Tanya Riku sedikit
galak, “Kalau ada yang melihat aku akan membunuhnya.”
“Aku
melihat,” kataku sambil tersenyum jahil.
“Dan
aku akan membunuhmu,” aku dan Riku pun tertawa. Kana tertawa kecil. Kemudian
dia melihat kedua anak itu dengan iba, dan dia mengucapkan mantra “Cure”.
Tangannya dikelilingi cahaya pink kemudian cahaya itu berjalan menuju
kedua anak itu. Cahaya itu terus keluar dari tangan Kana, cukup lama dia
melakukakannya. Tak aku sangka Riku pun mengeluarkan mantra “Heal” untuk membantu Kana mengobati
kedua anak tersebut. Mereka berdua melempar senyum. Aku melihat cahaya pink dan
hijau menyelimuti kedua anak tersebut. Luka luarnya sudah banyak yang tidak
terlihat, kemudian aku melihat Kana dan Riku yang entah kenapa dari raut
wajahnya sedang kesusahan untuk menyembuhkan kedua anak kecil tersebut. Aku
berpindah duduk dibelakang Kana kemudian kupegang pundaknya, Kana menoleh
kearahku.
“
Berusahalah” kataku sambil tersenyum, Kana pun tersenyum. Entah kenapa aku,Kana
dan Riku merasa semakin terdorong mundur. Sampai akhirnya Kana dan Riku sudah
tidak kuat menhannya dan mereka berdua pun terdorong mundur. Aku terdorong
mundur oleh badan Kana dan Riku pun terdorong sampai tertabrak dinding.
“Ada
apa?” kataku heran, kupikir dulu saat Kana menyembuhkanku, Kana tidak terdorong
seperti ini.
“Mereka…
mungkin healer,” kata Riku sambil memegang kepalanya yang sakit karena
terbentur tembok juga. Riku mendekat kearah kedua anak kecil tersebut yang
masih belum bangun. Kemudian Riku menyingkirkan poni yang ada didahi anak kecil
perempuan itu dan melihatnya.
“Tapi
kenapa tidak ada tandanya?” Tanya Riku. Lalu Kana melihatnya dan dia pun
terkejut.
“Tidak
Riku, lihatlah baik-baik.” Aku yang daritadi diam saja lalu ikutan untuk
melihat.
“Mana?
Tidak ada apapun kok” tanyaku.
“Lihat,
disini ada lingkaran yang tidak terlalu bulat kecil yang bewarna lebih muda
sedikit dari kulitnya. Jika dia besar nanti akan membentuk tanda +. “ lanjut
Kana.
“Kenapa
bisa seperti itu?” tanyaku tambah penasaran.
“Kemungkinan
besar dia adalah anak pernikahan dari
healer dan manusia biasa.”
“Tunggu
dulu. Apakah seorang healer tidak bisa disembuhkan seperti tadi?” Riku
memandangku dengan kesal, aku jadi teringat kalau mage itu emosinya cepat naik.
Aku langsung menutup mulutku.
“Tak
apa,” kata Kana sambil tersenyum kepadaku dan Riku, kulihat Riku sudah kembali
‘normal’ dan Kana menarik tanganku, “Sebaiknya aku jelaskan sambil membuat teh
yuk, Riku jaga mereka ya.” Riku hanya memberikan jempol. Aku dan Kana masuk ke
dapur. Kemudian Kana mengambil teh dan
aku memasak air. “Riku pasti capek sehingga emosinya mudah naik.”
“Maafkan
aku.”
“
Kaze ga salah kok,” kata Kana sambil tersenyum manis sekali.
“Nah,
kapan kamu mau cerita?” Tanyaku sambil tersenum, Kana terlihat panik dengan
wajah memerah.
“Oh…
iya… itu… Begini, healer tidak bisa menyembuhkan healer lain karena healer bisa
menyembuhkan dirinya sendiri. Eh… Bukan-bukan, sebenarnya healer bisa saja
menyembuhkan healer lain, tapi akan seperti tadi. Mereka menolak ketika aku dan
Riku menyembuhkan karena kekuatan mereka masih bisa untuk menyembuhkan diri
walaupun dengan sangat sedikit.”
“Apakah
kalian berhasil menyembuhkan?”
“Kekuatan
penyembuh kami lebih banyak ditolak daripada masuk ketubuh mereka, tapi itu
sudah maksimal.”
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri kok.” Kataku sambil mengelus kepala Kana, kemudian
aku menggeser badanku mendekat ke Kana. “Oh iya Kana, boleh Tanya sesuatu?” kataku
berbisik di telinga Kana.Kini wajahku dengan telinga Kana sangat dekat.
“I-iya…”
jawab Kana gugup.
“Mage
juga tidak bisa menyembuhkan healer?”
“I-Iya…”
“Bukankah
mage tidak bisa menggunakan sihir penyembuh?” Kana terdiam, dia memikirkan
sesuatu dibenaknya. “Sebenarnya Riku bukan mage kan? Aku pikir dia sudah mage
tingkat atas.” Lanjutku.
“Benar!”
Kana bersorak dan aku pun segera menutup mulutnya dengan tanganku. Aku member
isyarat agar Kana tidak berbicara terlalu keras. Kana mengangguk malu-malu
dengan wajah sedikit memerah.”Dia pasti Sorcerer. Sorcerer adalah pengguna
sihir yang paling tinggi dan bisa menggunakan semua sihir.” Kata Kana kali ini
dia berbisik.
“Mengerikan…
Omong-omong nama tingkatan pengguna sihir apa saja sih?”
“Untuk
pengguna sihir hitam itu dari bawah Mage, lalu Wizard dan paling kuat Warlock.
Sedangkan sihir cahaya itu Healer, lalu Bishop dan terakhir Cardinal.Yang bisa
menggunakan keduanya adalah Sorcerer”
“Ternyata
dia sangat kuat… Tapi kenapa dia tidak pernah mengatakan yang sebenarnya”
“Mungkin
dia tidak ingin dikira sombong…”
“Sama
sepertimu? Kamu sebenarnya Bishop kan? Tapi kamu mengatakan kalau kamu healer.”
Kana hanya tersenyum amlu-malu. Tiba-tiba terdengar dentuman yang cukup keras
yang berada di ruang tengah tempat dimana Riku dan kedua anak kecil itu berada.
Kulihat didinding dekat pintu dapur sudah membekas lingkaran yang bewarna agak
hitam. Apa yang terjadi? Pikirku antara penasaran dan khawatir dengan mereka,
lalu aku dan Kana bergegas melihat apa yang terjadi. Kami berdua pun terkejut
ketika melihat anak kecil laki-laki itu sedang mengacungkan pistol yang ada di
sarung pergelangan tangan kirinya kearah Riku, wajah Riku terlihat sedikit
marah. Sedangkan yang perempuan melihat mereka berdua dengan ketakutan..Lalu anak
yang laki-laki melihat ke arah kami dan
dia terkejut.
“Mau
apa kalian semua?!” Kali ini sarung tangan pergelangan tangan kanannya
mengeluarkan pistol dan pistol itu diarahkan ke aku dan Kana.
“Kami
tidak menyakiti kalian kok, kami membawamu kesini untuk menyembuhkan kalian.”
Kata Kana sambil tersenyum sepertinya dia berusaha untuk meluluhkan hati anak
kecil itu.
“Tapi
dia tadi memegang dahi Kei…” terdengar dari suaranya anak itu berhasil
diluluhkan oleh Kana. Senyuman Kana memang dasyat manisnya, pikirku.
“Aku
hanya melihat tanda di dahinya,” kata Riku kesal.
“Setelah
kamu melihatnya kamu akan membunuh kami kan!” Nada anak kecil yang laki-laki
kembali naik. Dasar Riku, harusnya dia diam saja biar Kana saja yang bicara.
“Tidak,
tentu saja tidak. Lihat ini” Kana memperlihatkan tanda di dahinya. Kedua anak
itu terkejut. “Aku adalah healer. Namaku Kana, yang dibelakangku Kaze dan dia
Riku, Riku adalah Mage.” Kata Kana sambil tersenyum.
“Maafkan
kami, namaku Kei dan dia saudara kembarku Ken.maafkan Ken telah membuat
keributan disini” kata Kei, Kei adalah anak kecil yang perempuan. Dia berdiri
kemudian dia membungkukan badannya untuk meminta maaf.
“
Kei! Kita tidak boleh percaya pada sembarang orang!” kata Ken yang masih sebal
dengan kami.
“Ken,
apa kamu tidak merasakan kehangatan tadi? Kamu tidak lupa kan saat mama
menyembuhkan kita dengan sihirnya?”
“Tidak
sih… Tapi…” Ken melirik kearah Riku, dan tanpa sengaja mata mereka bertemu.
“Apa
kamu lihat-lihat.” Kata Riku ketus. Ken hanya memalingkan wajahnya dengan
kesal.
“Sudah-sudah.
Ayo kita makan malam dulu, kalian pasti lapar.” Kata Kana, lalu Aku, Kei dan Ken bersorak gembira.
V
Kami
semua makan dengan lahap. Kulihat Riku dan Ken masih kurang akur. Rebutan
centong nasi, rebutan ayam. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka. Selesai
makan, Riku memutuskan untuk segera tidur karena lelah seharian dia banyak
mengeluarkan sihir.
“Gitu
aja capek, payah! Lihat kak Kana tidak capek walaupun tadi mengeluarkan sihir ”
Cetus Ken ketika mendengar alasan Riku.
“Tentu
saja dia tidak gampang capek karena Kaze selalu ada disampngnya!” sahut Riku
dan itu membuat aku dan Kana tersipu malu. “Hei Kaze, aku pinjam kasurmu dulu
ya. Kalau aku disini pasti tidak bisa tidur soalnya kalian pasti akan berisik.”
Riku pun segera masuk kamar dan menutup pintu. Aku hanya tersenyum melihat
tingkahnya.
“Nah,
ayo kita ngobrol. Tapi jangan kemalaman ya, anak kecil tidak baik tidur terlalu
larut.” Kataku memulai pembicaraan.
“Ok
kakak.” Kata Kei dan Ken kompak.
“Aku
tanya ya.Kalian tinggal dimana?” Tanya Kana.
“Kota
Wirtel”
“Siapa
nama orang tua kalian?” Kok pertanyaanya seperti akan mendaftar sekolah saja,
pikirku dalam hati.
“Um…
Namanya?” Tanya Kana lagi, tapi kali ini Kei dan Ken saling berpandangan, masa
mereka tidak tahu nama orang tuanya?
“Kalau
Papa Ovan, tapi kalau Mama susah
namanya…” Kata Ken, “Karen atau apa ya, Kei?”
“Bukan
Karen, tapi…” Kei berusaha mengingat.
“Kalian
bilang Ovan?” tanyaku pada mereka. “Kalian tinggal di Istana?”
“Dulu
iya, sebelum kita diusir setelah Mama meninggal.” Kata Ken dengan cemberut.
“Diusir?
Setahun lalu aku pernah mendengar kabar bahwa Raja Ovan kehilangan anak-anaknya
diduga anak-anaknya kabur dari istana. Sayangnya kabar itu hanya muncul
sebentar dan tidak berlanjut lagi“
“Jahat
sekali… Apa yang ayah kalian lakukan sebenarnya?” Tanya Kana iba.
“Kami
memang tinggal di istana, tapi Aku, Kei dan Mama selalu di dalam penjara!” kata
Ken ketus.
“Tidak,
Ken. Kita selalu tinggal dikamar besar dan tidak boleh kemana-mana.”
“Sama
saja, “ cetus Ken. “Kita tidak boleh kemana-mana, di kamar terus.”
“Kasihan…
Apa yang kalian lakukan agar tidak bosan?”Tanya Kana
“Kita
biasanya membantu mama membuat sesuatu, nah ini salah satu ciptaan mama.” Kei
dan Ken memperlihatkan pistol yang ada di pergelangan tangan mereka dengan
bangga. Aku dan Kana hanya tersenyum.
“Kalian
diperlakukan seperti itu karena kalian healer?” tanyaku menyela saat mereka
membanggakan senjata mereka dan jujur saja aku tidak tertarik mendengarnya.
“Mama
yang healer. Hanya mama yang diperbolehkan keluar dari kamar, tapi penjagaanya
ketat...” Kata Kei,
“
Bukan, Kei! Mama dipaksa keluar, lalu ketika disuruh balik ke kamar, mama pasti
lelah dan akhirnya mama meninggal!” kata Ken menyela perkataan Kei. Aku dan
Kana berpandangan, kami berdua pun menyimpulkan bahwa ayah mereka tidak tahu
kalau mereka adalah healer karena itu setelah ibu mereka meninggal, Kei dan Ken
dibuang.
“Sudah
malam nih, ayo kita tidur.” Kana pun
membujuk mereka untuk segera masuk ke kamar ditempat Riku yang sudah duluan
tidur. Kerena Riku tidur dikasur
bawah, akhirnya Kei dan Ken harus naik ke kasur atas. Dengan sabar Kana
menunggu mereka untuk naik ke kasur atas dan menyelimuti mereka.Sedangkan aku
duduk sambil membereskan seprai di kasur ruang tengah, kemudian Kana keluar
dari kamar dan menutup pintu, itu membuatku sedikit heran.
“Loh
kok tidak didalam? Kasur atas masih cukup untuk kalian bertiga kan?” tanyaku
“Bagaimana
denganmu? Kamu tidur diluar...”
“Kamu
menyuruhku tidak tidur? Agar Riku tidak melakukan sesuatu yang tidak-tidak ke
kamu kan?” kataku sambil tersenyum geli. Kana hanya tersenyum malu-malu.
“Gak
lah, aku mau menemanimu agar kamu tidak kesepian.” Kata Kana malu-malu dan itu
membuat wajahku memanas. Kami berdua terdiam sesaat dan cepet-cepat aku menggeser
dudukku agar Kana bisa tidur.
“Nah
tidurlah disini,” kataku sambil menepuk-nepuk tempat kosong disebelahku. Kana
berjalan kearahku dengan malu-malu, kemudian dia duduk disebelahku. Lalu dia
menatapku, “Iya iya aku ga akan tidur
disini kok.” Kataku, saat aku hendak berdiri, Kana menarik tanganku.
“Aku
belum ngantuk,” aku hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian aku duduk
disebelehnya sambil menyender tembok. Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi siang.
“Kana,
tadi aku bertemu dengan Ketua Senu di kota Xenia.”
“Ketua
mu?” kata Kana memandangku sedikit tegang.“Iya… Dia masih baik seperti dulu, dia tidak memaksaku karena aku tidak bisa menjalankan tugas itu.”kali Kana tidak memandangku, dia mendukkan kepalanya sambil memainkan jari-jemarinya. Kupegang tangannya dengan lembut, dan Kana pun menoleh padaku. “Kemudian aku mengajukan cuti kepadanya.” Lanjutku, kulihat wajahnya menjadi sedih.
“Itu
artinya suatu saat kamu akan kembali kesana?”
“Aku
mengajukan cuti karena aku tidak boleh keluar menjadi prajurit. Bukan berarti
aku akan kembali kesana.”
“Tapi,
kamu sayang pada Ketua mu…”
“Tapi
aku lebih sayang kamu…” Kana memandangku dengan wajah yang merah dan sangat
manis.
“Janji?”
“Janji
apa? Janji aku tidak akan kembali kesana atau janji akan selalu sayang kamu?”
Aku tertawa pelan .
“Keduanya,”
jawab Kana sambil tersenyum manis. Dia memberikan jari kelingkingnya dan aku
pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. Malam ini menjadi
malam yang panjang untuk kami berdua. Aku dan Kana banyak bercerita tentang
keluarga. Lalu ketika kami sudah
ngantuk, Kana menyendarkan kepalanya di bahuku dan aku menyederkan
kepalaku di atas kepalanya.
***
Suara
rentetan pistol membuat aku dan Kana terbangun. Begitu juga dengan Riku, Kei
dan Ken . Dengan segera Riku membuka pintu kamar dan melihat kami.
“Kalian
baik-baik saja?” Tanya Riku,
“Iya”
sahutku cepat. Dan tak lama kemudian terdengar pintu rumah Kana digedor dengan
keras. Dan orang diluar menyuruh kami untuk membuka pintu.
“Cepat
kalian semua sembunyi di kamar,” kataku sedikit berbisik agar yang diluar tidak
mendengar.
\”Aku
ikut,” kata Riku.
“Sebaiknya
jangan. Kamu lindungi mereka” Riku, Kana, Kei dan Ken segera masuk ke kamar.
Sebagai seorang prajurit melindungi seperti ini adalah hal biasa. Aku berlari
kearah pintu, kemudian aku periksa siapa mereka lewat lubang pintu. Ketika
melihat bajunya, aku sudah mengerti. Aku pun membuka pintu dan aku pun melihat
seseorang yang sudah aku kenal sebelumnya.
“Halo,
Rez.” Kataku pada seseorang yang sedang berdiri dekat pintu walaupun agak jauh.
“Kaze?”
kata Rez agak terkejut. Tadinya aku mau mengusir mereka tapi ketika salah satu
teman Rez memaksa untuk melihat isi didalam rumah Kana, aku pun memperbolehkan
dengan terpaksa. Dan aku berdoa semoga Riku membawa Kana dan lainnya pergi
menjauh dulu!
“Maafkan
bawahanku yang terlalu memaksa ya.” Kata Rez sambil tersenyum, entah apa arti
senyuman itu. Aku hanya mengangguk. “Kalau boleh sebenarnya
aku ingin ngobrol dulu dengan Kaze, bagaimana kawan-kawan?” Tanya Rez pada
teman-temannya . Tanpa disuruh mereka berlima termasuk Rez langsung duduk
seenak perutnya dirumah Kana dan itu membuatku sedikit marah karena mereka
pasti membawa kuman banyak! “Jadi, sekarang kamu tinggal disini? sedang cuti
atau …?”
“Aku
cuti.” Kataku cepat-cepat.
“Aha…
Sudah kuduga, prajurit level atas sepertimu tidak mungkin dikeluarkan. Kamu
tinggal dengan siapa?””
“Teman.”
“Pasti
wanita.” Aku hanya menghela nafas dan Rez pun tertawa,
“Bagaimana
kamu tahu aku sedang cuti?” kataku secepatnya agar beralih topik lain.
“Aku
diberitahu Ketua Senu. Kau tahu? Sekarang level jabatanku sama dengan level
jabatanmu! Jadi mulai sekarang aku tidak bisa jadi bawahanmu.” katanya dengan
nada sombong. “Oh iya, kudengar, kamu tidak bisa mencari Kristal Diamond. Dan
kamu pun menolak untuk mencari healer. Padahal kudengar Kristal Diamond tidak
jauh dari sini. Kenapa kamu menolak? Padahal aku tahu sekali kamu tidak pernah
menolak tugas dan selalu melaksanakannya dengan perfect!” Aku mendengarnya
dengan hati panas, ingin sekali aku menonjok mulutnya agar berhenti bicara
seenaknya.
“Bos,
kita tidak punya waktu lagi.” Kata salah satu teman Rez.
“Yah… Sayang sekali,
padahal aku masih ingin ngobrol. Nah Kaze, sekarang aku sedang melaksanakan
tugas. Jadi…” Krek! Pintu kamar terbuka, aku terkejut setengah mati. Kenapa
dibuka?! Dan kali aku melihat seorang gadis berkacamata, dengan rambutnya yang
dikepang dua. Aku melihatnya dengan terbengong-bengong dan wajahku pun menjadi
panas karena aku menyadari bahwa gadis itu adalah Kana. Rez pun melihat Kana
sambil tersenyum yang entah kenapa membuatku muak. Dengan malu-malu Kana duduk
disebelahku.
“H-Halo,
“ kata Kana gugup. “Aku teman Kaze,… Kudengar kalian ingin mencari Kristal
Diamond. Aku tahu tempatnya, h-hanya orang tertentu yang bisa kesana…. Kaze
sudah mencoba dan dia tidak bisa… Aku yakin kalian bisa…” kata Kana dengan kaku
persis seperti orang sedang mengahapal. Aku yakin Kana dan lainnya merencanakan
sesuatu. Tapi kenapa harus Kana? Itu membuatku was-was.
“Dia
selalu gugup pada orang baru.” Kataku agar Rez tidak menaruh curiga.
“Ha
ha ha… Jujur sekali cewek ini. Kamu kalah Kaze, nah cewek cantik. Ayo antarkan
aku kesana.”Kata Rez dengan nada menggoda. Mendengar kata-kata Rez entah kenapa
dadaku jadi panas karena amarah, bukan karena aku diremehkan. Jujur saja aku
sudah terbiasa diremehkan. Atau karena Rez mengatakan cewek cantik ke Kana?
Tapi Kana memang cantik kan? Kenapa aku sampai ingin marah begini. Tapi
marahkah aku atau cemburu? Kana melihatku kemudian dia tersenyum. Lalu dia
pergi disusul oleh Rez dan anak buahnya. Aku mengikuti mereka, saat aku sudah
sampai pintu,aku melihat banyak tetangga yang berada diluar dengan wajah yang
cemas, kemudian aku merasa ada seseorang yang menepuk bahuku dan dia adalah
Riku.
“Jangan
terburu-buru.” Kata Riku tenang, namun aku tetap merasa khawatir walaupun aku
yakin Riku sudah merencanakan dengan baik. Tiba-tiba aku mendengar ada seorang
laki-laki memanggilku.
“Kaze!
Apa yang terjadi,”kata Sony tergopoh-gopoh dia mendekatiku.
“Aku
memasukan mereka kedalam perangkap,”cetus Riku tenang. Tapi tidak dengan hatiku,
aku tidak bisa diam saja disini. Aku pun berjalan cepat mengikuti mereka dan
Riku akhirnya mengikutiku. Saat aku sudah sampai di pintu gua, aku melihat Kana
dan rombongannya sudah di dalam gua dan mereka sedang berhenti berjalan sambil
mendiskusikan sesuatu. Riku menyuruhku untuk bersembunyi dibebatuan dahulu.
Dengan bantuan sihir Riku, mereka tidak bisamelihat kami bersembunyi dan
mendengar omongan kami, sebaliknya kami bisa mendengar mereka bicara dengan
jelas.
“Terima
kasih nona! Kamu baik sekali, sebagai ucapan terima kasih…” Rez memegang rambut
Kana lalu mencium rambutnya. ”Mari kita bersenang-senang dulu,” Rez dan
teman-temannya tertawa liar. Kana mundur dengan ketakutan. Aku benar-benar muak
melihatnya. Aku ingin sekali menghajar mereka lalu…
“Tenang
Kaze,”
“Tidak
!!” Aku menarik kerah baju Riku tanpa
sadar, aku merasa dadaku sesak penuh amarah. Riku memandangku dengan tenang
tanpa amarah. Akhirnya aku sadar, aku tidak boleh melampiaskan pada Riku. Aku
melepaskan kerahnya lalu aku berkata, “Aku tidak peduli lagi dengan rencanamu,
aku yakin mencium rambut Kana bukanlah bagian dari rencanamu.” Aku segera pergi
dari tempat persembunyian dan sihir Riku pun pecah. Aku berlari mendekati Kana
yang tangannya sudah dipegang paksa oleh
dua diantara teman Rez. Dan saat itu Riku melihat posisinya yang kurang
memungkinkan untuk melakukan penyerangan tapi Riku tidak mungkin menundanya
lagi,
“Sekarang atau tidak sama sekali.” Dengan bergegas Riku naik ke batu besar tempat tadi dia bersembunyi, kemudian dia melafalkan mantra. Saat itu aku masih berlari mendekati Kana, aku bersiap mengeluarkan pedangku dan Rez beserta kawannya terlihat kaget namun mereka sigap juga dengan melakukan pertahanan. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang begitu cepat di sebelah kanan dan kiriku lalu… Aku melihat ada duri besar bewarna hitam keunguan menancap didada dikelima pria tersebut lalu darah pun mengalir sedikit demi sedikit di baju besi mereka. Kana mundur sambil melihat mereka yang merintih kesakitan dan dia hampr terjatuh karena lemas. Aku pun menangkapnya dan memeluknya dengan erat.
“Sekarang atau tidak sama sekali.” Dengan bergegas Riku naik ke batu besar tempat tadi dia bersembunyi, kemudian dia melafalkan mantra. Saat itu aku masih berlari mendekati Kana, aku bersiap mengeluarkan pedangku dan Rez beserta kawannya terlihat kaget namun mereka sigap juga dengan melakukan pertahanan. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang begitu cepat di sebelah kanan dan kiriku lalu… Aku melihat ada duri besar bewarna hitam keunguan menancap didada dikelima pria tersebut lalu darah pun mengalir sedikit demi sedikit di baju besi mereka. Kana mundur sambil melihat mereka yang merintih kesakitan dan dia hampr terjatuh karena lemas. Aku pun menangkapnya dan memeluknya dengan erat.
***
Sudah
dua jam aku dan Kana mengurung diri
dikamar sambil berpelukan. Aku menunduk dan Kana menenggelamkan kepalanya
didadaku. Aku masih kesal dengan kejadian tadi dan sepertinya Kana juga masih
syok. Aku tidak bisa berkata apa-apa, untuk menenangkannya aku hanya membelai
rambutnya.
“Maaf ya… “ kata Kana lirih setelah beberapa lama
kami terdiam.
“Bukan
salahmu,”
“Aku
yang mengajukan diri untuk jadi umpan,” aku diam saja. Kupeluk Kana lebih erat.
“Jangan lakukan itu lagi,” Kana mengangguk, tiba-tiba saja aku teringat
kacamata yang dipakai Kana,
“Oh
iya Kana, apakah matamu bermasalah? ”
Kana melepaskan pelukannya dan memandangku dengan heran, “Kenapa tidak memakai
kacamata saja?” Kana tersenyum simpul mendengar kata-kataku,
“Itu
kacamata mainan pemberian Sony,” katanya sambil tertawa kecil, ah… Akhirnya
bisa melihatnya tertawa kembali. ‘Lalu tadi yang mengepang rambutku adalah Kei dan yang menyuruhku memakai
kacamata adalah Ken ,”
“Kurasa
aku harus berterima kasih pada mereka.” Kataku sambil tersenyum. Setelah itu
kami memutuskan untuk keluar kamar. Mula-mula aku mengucapkan maaf pada Riku,
berterima kasih pada Kei dan Kei lalu aku pergi ke perpustakaan untuk
mengucapkan terima kasih pada Sony dan sedikit bertanya.
“Jauh-jauh
datang kemari hanya untuk mengucapkan terima kasih?” kata Sony sambil tersenyum
geli.
“Sebenarnya
aku mau bertanya sedikit. Aku yakin kamu memberikan kacamata itu ada
alasannya.”
“Dasar
prajurit memang harus pintar juga ya!” kata Sony sambil tertawa terbahak-bahak.
Lalu dia membersihkan kacamatanya dengan sapu tangan karena kotor terkena air
matanya yang keluar saat tertawa. Itu membuatku sedikit gemas karena lama
menunggu. “Awalnya Kana memang tertarik dengan kacamataku, lalu kuberikan saja
yang mainan karena mata dia masih normal. Aku masih ingat betul kata-kataku
saat aku memberikan kacamata itu ‘Nih, aku kasih kacamata mainan saja ya, aku
yakin jika kamu menyamar menggunakan ini identitasmu tidak ketahuan.’ Tapi
sepertinya Kana tidak mengerti dengan kata-kataku atau mungkin dia pura-pura
tidak tahu.”
“Aku
yakin dia tidak mengerti, dia terlalu
polos,” kataku sambil tersenyum geli, “Jadi kamu sudah tahu identitas Kana…
Siapa lagi di desa ini yang tahu?”
“Semua.”
“Semua??!”
pekikku kaget dan Sony hanya tertawa.
“Benar,
Kana sama sekali tidak sadar ya. Dari awal kami sudah tahu asal-usulnya. Nenek
Kana tinggal disini dan membuka tempat pengobatan juga. Dia sangat baik seperti
Kana. Dia sendiri yang membeberkan identitas sebenarnya karena jika dia mati
dia akan senang bisa bertemu suaminya dan jika hiduppun dia tetap akan
menyembuhkan orang-orang. Lalu ketika orang tua Kana meninggal dan Kana tinggal
disini, aku dan seluruh warga sini sangat senang, tak ada alasan untuk memusuhi
Kana dan keluarganya.” Aku terharu mendengar kata-kata Sony, lalu aku sedikit
membungkukkan badanku.
“Terima
kasih,”
“Kami berterima kasih juga kepada Kana,”
“Bolehkah
aku mengatakannya kepada Kana?”
“Tentu
saja,” kata Sony sambil tersenyum.
***
Kana
menangis haru mendengar semua perkataanku sewaktu aku berbincang dengan Sony.
Sambil mengusap air matanya Kana berucap pelan,
“Tapi
aku tidak bisa dilindungi oleh mereka terus…”
“Apa
kita akan pergi?” Tanya Ken polos.
“Tapi
jika kak Kana pergi tidak ada lagi tempat pengobatan disini, “ kata Kei. Air
mata Kana masih menetes, lalu Kana menghapusnya dengan tangannya.
“Kalau mereka aku ajari, aku yakin mereka dapat membuat tempat pengobatan baru.” Berpergian memang hal biasa untukku, tapi entah kenapa aku merasa enggan meninggalkan desa ini, walaupun aku yakin suatu saat aku akan kembali kesini. Apakah ini yang disebut nyaman? Kenapa rasanya berbeda ketika berada di tempat kelahiranku? Aku melihat buku besar dan tua yang berada di kantong plastik. Itu adalah pemberian Sony, aku terngiang kembali percakapanku dengan Sony saat aku pait untuk kembali kerumah Kana.
“Kalau mereka aku ajari, aku yakin mereka dapat membuat tempat pengobatan baru.” Berpergian memang hal biasa untukku, tapi entah kenapa aku merasa enggan meninggalkan desa ini, walaupun aku yakin suatu saat aku akan kembali kesini. Apakah ini yang disebut nyaman? Kenapa rasanya berbeda ketika berada di tempat kelahiranku? Aku melihat buku besar dan tua yang berada di kantong plastik. Itu adalah pemberian Sony, aku terngiang kembali percakapanku dengan Sony saat aku pait untuk kembali kerumah Kana.
“Kenapa
kamu kasih ke aku?” tanyaku saat itu.
“Buku
ini membuat perpustakaanku menjadi sempit tahu,” katanya sambil tertawa.
“Tapi
…” Sony pun langsung memaksaku untuk memegang buku itu.
“Ambil
saja, aku yakin kamu akan lebih membutuhkannya daripada aku.” Kata Sony dengan
nada yang sangat serius dan tidak biasa dia ucapkan.
“Terima
kasih…”
***
Udara
dingin menusuk dan tetesan air menambah seram gua itu. Apalagi gua itu kini
tidak kosong, terdapat 5 pemuda yang mati didalamnya. Namun salah satu diantara
mereka seperti berusaha bergerak namun
hanya jari jemarinya yang bergerak…
VI
Penduduk
desa melepas kepergian kami terutama Kana dengan sedih. Ini adalah saat yang
paling berat untuk kami karena harus kehilangan tempat tinggal dan penduduk
yang mau menerima kami semua apa adanya. Kana sudah menjelaskan kepada penduduk dan Kana memberikan catatan
pengobatan kepada Sony.
***
Menurut
informasiku dulu, Gegana menguasai 8 kota dari 15 kota bagian Selatan.
Sedangkan bagian utara dikuasai bersama oleh beberapa Klan. Sehingga kota di
Utara merupakan kota yang damai karena mereka selalu menghindari perang dan
lebih mengutamakan bermusyawarah. Karena itulah kami memutuskan untuk pergi ke
Utara untuk menghindari Gegana dan tentu saja menghindari Ketua.
“Bukan
hanya itu, kota Mage juga ada di Utara.” Kata Riku.
“Kita
bisa tinggal disana?” Tanya Kei polos.
“Mungkin
bisa tapi susah, mereka pasti menolak kedatangan orang biasa.” Jawab Riku
sambil melirik melihatku. Aku tahu kata-kata itu pasti menunjuk ke aku.
“Orang
biasa juga boleh kok, yang penting ada mage atau healer yang meminta.” Kata
Kana berusaha membelaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Tapi untuk sementara kita akan ke Kota Lagonda” kataku. Kami berlima berjalan melewati hutan. Hutan disini merupakan perbatasan suatu kota atau desa tapi biasanya hutan sebagai perbatasan dikota lebih ditata seperti jalannya yang sudah cukup mulus dengan sudah jarangnya batuan. Pohonnya pun tidak selebat yang sebagai perbatasan di desa. Yang lebih penting lagi biasanya terdapat warung ataupun tempat mangkal kendaraan umum yang sudah menggunakan mesin maupun dengan hewan. Kami memutuskan untuk berjalan kaki,tentu saja dengan bantuan sihir Riku dan Kana sehingga kami bisa mempercepat jalan kami tanpa rasa capek. Tapi ternyata sihir juga ada batasnya, setelah 4 jam kami berjalan Kana dan Kei sudah tidak kuat berjalan. Akhirnya kami pun naik kendaraan umum dan tepat tengah hari kami sampai di Kota Lagonda.
***
Tujuan
pertama saat sampai di Kota Lagonda adalah mencari tempat penginapan yang
murah. Karena dulu aku pernah ke Kota ini jadi tidak sulit bagiku untuk
menemukan penginapan yang murah. Kami hanya memesan 1 kamar dengan kamar mandi,
dapur tanpa kasur hanya tikar tapi cukup luas untuk kami berlima tentu saja
dengan harga yang cukup murah yaitu seharga 50 gold (1 gold Rp 1000) perhari. Setelah
memesan kamar, aku dan Riku memutuskan untuk mencari kerja, walaupun kami masih
punya banyak tabungan tapi kita harus tetap mencari uang. Awalnya Kana menyuruh
kami untuk tidak mencari kerja dulu karena baru saja sampai, tapi aku tidak mau
Kana memikirkan uang yang semakin
menipis. Dan akhirnya Kana mengerti.
“Kamu
mau cari kerja apa?” Tanya Riku kepadaku sambil melihat-lihat keatas gedung.
“Biasanya
di papan pengumuman ada selembaran lowongan kerja…” Bruk! Tiba-tiba saja Riku
menabrak seorang gadis berambut coklat yang dikepang dua dengan topi
dikepalanya. Dan kardus yang dibawa gadis itu terjatuh dan beberapa kertas
kecil keluar dari kardus itu.
“Maaf…”
Riku segera mengambil kertas yang tercecer di jalan dan memasukkannya kembali
ke kardus, akupun membantunya juga.
“Tidak,
aku yang seharusnya minta maaf. Aku terburu-buru sehingga tidak melihat jalan…”
kata gadis itu.
“Jika
ada yang bisa aku bantu…” aku belum selesai mengatakannya tetapi gadis itu sudah
memandangku dengan mata berbinar-binar.
“Ikutlah
denganku maka kalian bisa membantuku,” kata gadis itu riang. Dia pun berlari,
aku dan Riku hanya mengikutinya dengan heran. Kami berlari mengikutinya sambil
mengira-ngira apa yang akan kami lakukan. Tempat yang aku lewati makin lama
makin ramai dan sampai akhirnya kami tiba disebuah tenda kecil. Gadis itu
mengambil sesuatu dibalik kursi didalam tenda dan memberikannya kepadaku lalu
Riku.
“Pakai
topi dan rompi tiu sekarang.” Perintah gadis itu dan herannya aku dan Riku mau
saja menuruti perintahnya. “Berikan karcis ini keorang yang sudah mengantre
didepan. Satu karcis satu orang, jangan lupa ambil uangnya, ingat ya!” Lalu
kami didorong keluar dari tenda, aku sedikit terkejut ketika diluar itu
terdapat banyak orang yang mengantre sambil membawa uang digenggamannya. Dan
aku pun mengerti pekerjaan apa yang harus aku lakukan.
Tiga
jam karcis yang ada dikardus ludes tanpa sisa. Aku menyeka keringatku sambil
berpikir, sebenarnya itu karcis apa? Kemudian aku melihat gadis itu datang
mendekati kami sambil tersenyum-senyum.
“Terima
kasih ya, kalian hebat. Ini uang sebagai imbalannya,” aku diberi uang oleh
gadis itu sebesar 150 gold dan sepertinya Riku juga sama.
“Terima
kasih… ngomong-ngomong yang tadi itu tiket apa?” tanyaku.
“Kamu
tidak tahu?!” Dia terkejut kemudian tak lama kemudian dia memasang wajah
cemberut. “Aku tidak menyangka, sepertinya… um…” Gadis itu melihat Riku yang
berwajah datar-datar saja kemudian melihatku yang masih penasaran. “Itu… Karcis
konser” kata gadis itu sambil tertawa dibuat-buat. “Konser dengan penyanyi yang
sangat terkenal, aku tidak menyangka kalian begitu ketinggalan jaman.” Aku
hanya tersenyum mendengar ejekannya dan Riku hanya diam saja sambil menguap.
“Penyany
siapa namanya?” tanyaku lagi.
“Sena.”
Katanya bersemangat.
“Oh…”
tentu saja oh maksutku adalah tidak tahu.
“Sebenranya
aku tidak menyangka saat aku menabrak dia, kukira kalian pura-pura tidak tahu
siapa aku, ternyata kalian memang tidak tahu.” Gadis itu pun tertawa lagi.
“Kamu
mengatakan itu untuk memberitahu kami kalau kamu adalah Sena kan.” Kata Riku
datar.Gadis itu berhenti tertawa, seperti baru menyadari perkataanya, dia
langsung menutup mulutnya.
“Benar
juga ya… Hehe…” kata dia sambil menggaruk kepalanya. “Kalau begitu beritahu
nama kalian biar adil!”
“Aku
Kaze, dia Riku. Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya…”
“Besok
kalian datang lagi kesini jam 6 pagi ya! Aku masih membutuhkan kalian!” kata
Sena sambil melambaikan tangannya kearah kami.
***
Aku
menceritakan semua kejadian
tadi pada Kana saat aku dan Riku sudah berada di penginapan. Dengan seksama
Kana mendengarkanku sambil menaruh makan malam di meja. Setelah certitaku
selesai Kana pun tersenyum.
“Selamat ya kalian dapat pekerjaan,”
“Tapi hanya dua hari dan jika besok kita tetap
mendapatkan uang segitu, kita berlima hanya bisa makan selama seminggu ini.”
Kata Riku sambil memasukkan nasi kemulutnya.
“Makanya cari kerja lagi, jangan malas!” seru Len
bersemangat. Riku pun memandangi anak itu dengan sebal.Aku pun tertawa
melihatnya.
Setelah Kei dan Ken tidur , aku, Kana dan Riku
berdiskusi. Kami berdiskusi tentang pembagian uang dan berapa lama lagi kami
tinggal di penginapan ini. Akhirnya kami sepakat untuk tinggal 2 hari lagi dan
untuk uang aku memberikan 100 gold ke Kana untuk makan selama beberapa hari,
begitu juga dengan Riku.Setelah berdiskusi Kana pun tertidur, sedangkan Riku
pamit untuk keluar.
“Kemana?” tanyaku sambil menaruh selimut di badan Kana.
“Ikut saja kalau kamu mau.” Karena aku penasaran, aku pun
mengikuti Riku. Kota di malam hari cukup sepi dan untungnya tidak segelap di
desa tempat Kana karena banyak lampu penerangan dan juga lampu-lampu toko. Aku
dan Riku pun tiba di toko senjata.
“Membeli senjata? Untuk apa?” tanyaku.
“Senjataku hilang kan karena kamu.” Kata Riku bergurau,
aku hanya tertawa kecil, aku jadi teringat saat aku menangkis serangan Riku
kemudian sabitnya terlepas dari tangannya, sejak saat itu Riku tidak
mengambilnya lagi.
“Tapi kan kamu...” Aku terdiam sejenak, kemudian aku
melihat sekelilingku, ada beberapa orang di jalan, akhirnya aku tidak
melanjutkan perkataanku.
“Aku tetap membutuhkannya. Memakai senjata tidak
membutuhkan banyak energi.” Kata Riku seperti tahu apa yang akan aku katakan tadi.
Dia pun membeli sabit besar tapi enteng menurutku dan sabit itu ujungnya bisa
ditekuk sehingga jika ditutup dengan kain sabit itu terlihat seperti tongkat
biasa. Riku memberikan uang 50 gold kepada penjual senjata dan aku sedikit
terkejut.
“Kamu pakai uang itu hanya untuk membeli senjata?”
“Itu uangku, terserah mau aku pakai apa saja.” Aku
terdiam, lalu aku dan Riku keluar dari toko. Tapi Riku tidak berjalan melewati
jalan ke penginapan,
“Kemana lagi?”
“Ikut saja.” Dengan agak sebal akhirnya aku mengikuti
Riku juga. Kami pun terus berjalan,ku lihat Riku menengokkan kepalanya kekanan
dan kekiri, lalu dia mulai berbicara.
“Aku ini bekerja sebagai mata-mata,” bisik Riku.
“Hah?”
“Aku bekerja di kota Mage, tugasku adalah mencari
penjahat kemudian aku harus menagkapnya dan dengan sihirku aku mengirimnya
kekota Mage.Gajinya besar loh, 1 penjahat kacangan sekitar 250 gold. Sedangkan
1 penjahat yang sulit ditaklukan bisa mencapai 5.000 gold.” Aku
terbengong-bengong. 5.000 gold itu uang yang sangaaat banyak. “Makanya aku mengajakmu
kesini karena kamu pasti tertarik.” Kata Riku sambil tersenyum. Aku pun
menggangguk karena itu pekerjaan yang cukup mudah dengan gaji yang menggiurkan.
“Jadi disekitar sini ada penjahat yang mau kamu tangkap?”
“Yup,”
“Kamu tahu darimana?”
“Tentu saja dengan sihir, bodoh. Aku biasanya sudah
dikirim pesan sihir oleh perusahaan.”
“Oh iya, jadi selama kamu tinggal di rumah Kana, kamu
juga bekerja itu?”
“Jarang sih, karena didesa tidak ada penjahat maka harus
pergi kekota dulu.”
“Jadi... Sebenarnya uangmu masih banyak kan...?” kataku
sambil menyipitkan mataku dan melirik kearah Riku. Riku hanya tersenyum dengan
raut bersalah.
“Kamu tidak ingat? Biasanya aku disuruh Kana untuk
membeli sesuatu ditoko kan? Terkadang uang dari Kana lebih banyak aku kembalikan
ke Kana karena seperempatnya pakai uangku.”kata Riku membela diri. “Kalau
semuanya aku yang bayar, Kana pasti curiga.”
“Iya tak apa,” kataku sambil tersenyum, “Yang penting
kita harus selalu menolong Kana,Tapi... kenapa harus menyembunyikan
itu dari Kana?”
“Untuk apa? Minta bantuan? Aku hanya memberitahu pada
sesorang yang bisa bertarung. Aku juga takut kalau Kana melarang, memangnya
kita mau makan batu? ”
“Iya aku mengerti, Kana memang seperti itu... “
Dan sampailah kami
disuatu gang buntu yang sempit dan penuh sampah, tapi didindingnya terdapat
jendela yang agak tinggi, didalam jendela itu terdengar suara musik yang
ajep-ajep.
“Disana
ada dua orang penjahat.Kamu tahu letak titik tubuh agar orang jadi tidak bisa
bergerak?” bisik Riku.
“Iya
aku tahu,”
“Kalau
untuk membuat orang pingsan?”
“Iya
tahu,”
“Bagus,
kamu memang prajurit yang handal. Gunakan itu pada mereka, sebaiknya jangan
gunakan kekerasan tapi kalau mereka melawan, kamu boleh melakukannya.”
“Baik,
aku mengerti.”
Lalu,
Riku naik keatas jendela dengan sekali tolakan dikakinya. Dengan cepat Riku
menerobos jendela sehingga kaca jendela pun pecah. Kedua penjahat itu kaget dan
segera menodongkan pistol kearah Riku.
“Mau
apa kamu?” Tanya seorang diantara mereka. Yang ditanya pun tersenyum licik.
Kemudian Riku melepas sarung sabitnya dan munculah sabit yang yang terlihat
tajam dan menyilaukan. Aku yang saat itu sedang dibelakang penjahat.langsung
saja menotok punggung kedua penjahat itu sehingga mereka tidak bisa bergerak.
Mereka pun terkejut dan menjerit-jerit, sayangnya mereka tidak bisa bergerak.
Lalu Riku mengucapkan mantra dan mereka berdua menghilang, dan ditangan Riku
muncul segepok uang.
“Gampangkan?”
Tanya Riku sambil memperlihatkan uang itu kepadaku.
“Iya…
Omong-omong kenapa tadi kamu sok keren bergaya seperti itu.”
“Bergaya
keren itu wajar.” Riku menghitung uang tersebut, kemudian dia tersenyum. “Lihat
kita dapat 600 gold.Lebih besar daripada gaji yang diberikan Sena. Ini 300
untukmu 300 untukku, adil kan? ”
“Terima
kasih,” aku menerima uang itu dan memasukkannya ke kantongku. “Tapi kita tetap
akan bekerja di tempat Sena kan?”
“Tentu
saja, walaupun sebenarnya aku malas.”
***
“Kaze,
bangun Kaze,” sayup-sayup aku mendengar suara Kana, aku berusaha membuka mataku
dan kini aku melihat Kana dihadapanku. “Nanti kamu telat loh, ayo sarapan.”
Kata Kana lagi, aku duduk dan mengucek mataku. Aku melihat Riku sedang sarapan
dengan wajah yang mengantuk lalu aku melihat Kei dan Ken masih tertidur.
Enaknya menjadi anak kecil, pikirku.Kemudian aku melihat Kana sedang mengucir
rambutnya. Mata kami pun bertemu,
“Aku
mau mandi, Kaze jangan tidur lagi ya…” kata Kana sambil tersenyum manis. Aku
melirik ke meja makan yang diatasnya sudah terdapat beberapa makanan. Perutku
jadi terasa lapar.
Setelah
sarapan dan mandi, aku dan Riku pergi bekerja. Kami berjalan menuju tenda yang
kemarin.Suasananya sangat ramai, ketika aku sampai ditenda itu, tempat itu
sangat sesak penuh dengan orang. Aku melihat ditenda ada seorang gadis tapi
bukan Sena, dia
sedang merapikan kardus-kardus. Ketika gadis itu melihat kami dengan topi dan
rompi, dia pun tersenyum.
“Akhirnya
kalian datang, cepatlah masuk. Penonton sudah tidak sabar.” Kata gadis itu,
lalu gadis itu memberikan instruksi kepada kami untuk menyobek karcis yang
diberikan penonton. Tapi kita harus menyobek dengan tepat dan cepat.Yang satu
bagian aku harus menaruhnnya di kardus, dan yang satunya lagi aku berikan lagi ke penonton. Pintu gerbang dibuka,
berduyung-duyung penonton memasuki gerbang sambil memberikan karcis kepadaku
atau Riku. Jujur saja ini pekerjaan yang memusingkan. Terkadang aku juga
kasihan melihat mereka terhimpit dan diantaranya juga ada yang pingsan. Jika
sudah ada yang pingsan, langsung saja aku membawanya kedalam tenda karena aku
takut mereka terinjak. Sistem keamanan disini pun sangat jelek. Hanya ada
sedikit penjaga, sehingga tidak semua orang yang pingsan bisa keluar dari tenda
ini.
“Ada
orang penting datang.” Kata Riku
yang sedang duduk santai dikursi, aku tidak mengerti awalnya, tapi ketika
melihat siapa yang datang, aku pun terdiam. Ketua Senu dan 9 orang prajuritnya
datang dengan santai. Tanpa ada rasa terkejut atau apa, Ketua memberikan !0 karcis padaku. Aku mengambilnya, merobeknya dan memberikannya ke Ketua. Lalu aku
menyadari, karcis yang ketua Senua pegang adalah karcis VIP. Kulihat Ketua
menyuruh prajuritnya untuk masuk duluan. Kemudian Ketua menatapku sambil
tersenyum,
“Kaze, mau menolongku?” Ketua sedang merogoh saku
celananya kemudian dia mengeluarkan uang 100 gold dan memberikannya kepadaku.
“Tugasmu sudah selesai kan? Tolong belikan aku 1 rujak sayur dan 1 es teh ya?”
Aku terdiam sejenak, aku hanya memandangnya dengan heran.
“Bukankah yang tadi kamu membawa prajurit? Kenapa tidak
menyuruh mereka saja?” tanyku, sungguh aku belum pernah berkata ketus ke Ketua.
“Mereka baru pernah datang kesini, jadi aku tidak bisa
menyuruh mereka.” Tiba-tiba Ketua langsung menaruh uangnya di tanganku,
kemudian dia pergi sambil melambaikan tangannya. “Aku duduk di depan sendiri paling
kanan.” Teriaknya. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Pikirku sambil
meremas uangnya dengan gemas. Tapi kemudian aku menaruhnya di saku celanaku.
“Ada orang penting bagimu datang,”kata Riku santai tanpa
bergerak dari kursinya. Aku menoleh dan aku melihat Kei, Ken dan... Kana?
Alamak dia berbeda dari biasanya,dia tidak menggunakan penutup kepala seperti
biasa. Kali ini rambutnya dikepang kecil dikanan dan kirinya. Sisanya dia
gerai, aku suka penampilan barunya. Seperti tahu aku sedang memndang Kana, Kana
menunduk malu dengan wajah memerah.
“Kak Riku... Kak Kaze...!” Seru Kei ceria, dia
melompat-lompat mendekati aku dan Riku, tapi dia terus melompat-lompat sampai
pintu masuk konser.
“Hei, kamu belum membeli karcis.” Kata Riku yang langsung
berdiri dari duduknya kemudian mendekati Kei.
“Aku tidak bisa melihat konsernya...” Kata Kei sedih,
kemudian Riku menggendongnya dan menaruh Kei di punggungnya.
“Sekarang?”
“Iya kelihatan!
Terima kasih kak!” kata Kei sambil tersenyum. Melihat senyumnya, samar-samar
Riku seperti pernah melihat senyumnya, tapi siapa? Ken pun rewel minta gendong,
lalu aku menyuruhnya untuk naik ke punggungku. Aku,Kei dan Ken berjalan
memdekati Riku dan Kei.
“Iya?” kemudian dia mengambil seuatu dari kantong plastik
yang dia bawa,ternyata itu adalah es teh.
“Kamu pasti lelah, makanya aku membelikanmu ini.” Kata
Kana sambil tersenyum.
“Hei, kamu tidak boleh boros.”
“Tenang saja, tadi aku menjual beberapa racikan obat yang aku buat. Harganya lumayan tinggi kalau dijual disini,” kata Kana sambil memberikan es teh lainya yang masih di plastik ke Riku dan memberikan permen ke Ken. Lalu es teh punyaku masih dipegang Kana, “Biar aku yang pegang es tehmu,” kata Kana sambil tersenyum simpul. Dengan agak malu-malu aku memasukkan sedotan kemulutku, lalu aku meghisap tehnya. Segar... Sambil minum, aku melihat konser Sena berjalan dengan meriah. Panggungnya tidak besar, tapi cukup bagus karena dihias dengan hiasan bunga. Aku melihat Sena, aku agak menyipitkan mataku bukan karena silau atau mataku min, tapi karena rambut Sena yang berbeda dengan waktu aku pertama kali bertemu, rambutnya kini masih dikucir 2 namun bewarna pink dan bergelombang. Untuk baju dan hiasannya sih... agak aneh tapi memang pas dengan tema panggung. Rambutnya dikucir dengan jepit yang kanan berbentuk kupu-kupu dan yang kiri berbentuk bunga. Bagaimana kalau Kana yang memakai baju seperti itu ya? Aku melirik ke arah Kana yang dengan sabar menunggu aku meminum tehku dan aku mulai berpikir yang macam-macam. Tidak sepertiku, Kei dan Riku justru begitu serius melihat konser itu. Bukan menikmati, tapi mereka merasa bahwa konser itu bukan sekedar konser.
“Tenang saja, tadi aku menjual beberapa racikan obat yang aku buat. Harganya lumayan tinggi kalau dijual disini,” kata Kana sambil memberikan es teh lainya yang masih di plastik ke Riku dan memberikan permen ke Ken. Lalu es teh punyaku masih dipegang Kana, “Biar aku yang pegang es tehmu,” kata Kana sambil tersenyum simpul. Dengan agak malu-malu aku memasukkan sedotan kemulutku, lalu aku meghisap tehnya. Segar... Sambil minum, aku melihat konser Sena berjalan dengan meriah. Panggungnya tidak besar, tapi cukup bagus karena dihias dengan hiasan bunga. Aku melihat Sena, aku agak menyipitkan mataku bukan karena silau atau mataku min, tapi karena rambut Sena yang berbeda dengan waktu aku pertama kali bertemu, rambutnya kini masih dikucir 2 namun bewarna pink dan bergelombang. Untuk baju dan hiasannya sih... agak aneh tapi memang pas dengan tema panggung. Rambutnya dikucir dengan jepit yang kanan berbentuk kupu-kupu dan yang kiri berbentuk bunga. Bagaimana kalau Kana yang memakai baju seperti itu ya? Aku melirik ke arah Kana yang dengan sabar menunggu aku meminum tehku dan aku mulai berpikir yang macam-macam. Tidak sepertiku, Kei dan Riku justru begitu serius melihat konser itu. Bukan menikmati, tapi mereka merasa bahwa konser itu bukan sekedar konser.
Ketika aku melihat es teh yang aku minum, aku jadi
teringat pesanan Ketua. Aku melepas sedotan yang ada dimulutku, lalu aku
menurunkan Ken yang ada dipunggungku, kemudian aku minta ijin ke Kana,
“Kana, aku beli rujak dulu ya, tadi ada yang minta tolong
untuk dibelikan.”Aku langsung lari walaupun aku yakin Kana pasti mau bertanya
lebih lanjut. Kana memandangku yang sudah berlalu dengan heran. Lalu dia
bertanya kepada Riku.
“Kamu tahu Kaze beli rujak buat siapa?”
“Seorang laki-laki yang bersama 9 prajurit.” Jawab Riku
tanpa mengalihkan perhatiannya pada konser itu.
“Siapa dia?” tanya Kana penasaran.
“Aku juga tidak tahu, yang pasti tingkahnya dia seorang
yang dihormati.” Kana terdiam, dia mencoba berpikir. Siapa orang yang dihormati
Kaze? Ibunya? Ibu Kaze pastilah perempuan dan dia sudah meninggal. Ayah? Kaze
tidak punya. Teman? Tapi bukankah Kaze adalah prajurit tertinggi, pasti mereka
yang menghormati Kaze. Ataukah...? Kana
menundukan kepalanya dengan lesu. 15 menit berselang, aku sudah membeli rujak
dan es teh. Aku langsung berlari menuju tempat duduk Ketua, aku melihat Ketua
tersenyum padaku. Aku memberikan pesanannya dan uang kembalian. Tapi saat aku
mau mengembalikan uang 80 gold yang aku pegang, Ketua menolak dengan halus.
“Untukmu,” aku diam saja. Sambil sedikit membungkuk aku
langsung keluar dari tempat penonton. Aku berjalan kearah pintu masuk, yang aku
lihat sekarang hanya ada Riku disana.
“Loh mana Kana, Kei dan Ken?” tanyaku kepadanya.
“Pulang.” Jawab Riku singkat sambil masih terus melihat
konser itu. Aku sedikit kecewa, padahal aku yakin tadi masih melihat Kana saat
aku sudah kembali kesini, lalu aku melihat Riku lagi.
“Hei!” Aku menepuk tanganku didepan mata Kaze, dan dia
pun terkejut.
“Apa?” katanya gusar,
“Serius sekali. Naksir ya?”tanyaku sambil tersenyum
nakal. Kulihat wajah Riku sedikit memerah dan dia kaget dengan pertanyaanku.
“Engga! Lagipula dia masih bocah! Aku serius melihat
konser itu karena aku merasa ada yang janggal dengan konser itu!” Bentak Riku,
untungnya suaranya tetap kalah dengan suara lagu dan nyanyian Sena. Lalu aku
melihat gadis yang aku temui tadi pagi datang menghampiri kami.
“Tidak pamit dulu dengan Sena?” tanyaku menggoda Riku
saat kami sedang berjalan ke penginapan.
“Tidak perlu.” Kata Riku sambil membuang mukanya dariku,
aku tertawa ngakak melihatnya. Kami sampai di penginapan,disana aku melihat ibu
penjaga penginapan sedang duduk di kursi dekat tempat check in dan check out.
Aku jadi kepikiran untuk membayar sewa ruangan hari ini. Aku mendekati Ibu
penginapan, aku mengeluarkan uang yang diberi Ketua tadi, saat aku akan
membayarnya, aku melihat ada tangan yang juga sedang memegang uang mendahuluiku
untuk membayar.Aku merasa tidak asing dengan tangan yang halus itu, saat aku
melihatnya ternyata dia memang Kana.
“Jangan,” katanya pelan, walaupun pelan tetap saja Ibu
penginapan dan Riku melihat kami berdua dengan terkejut.
“Aku tadi sudah dapat gaji, jadi aku saja...”
“Aku tidak mau menggunakan uang dari orang yang sudah
mengincar ‘barang berharga’ itu.” Aku pun terhenyak, Kana mengetahuinya! Aku
melirik kearah Riku dan saat Riku sudah membalikkan badannya! “Aku
mengetahuinya sendiri,” kata Kana seperti sedang membela Riku. “Kembalikan uang
itu atau kamu buang saja, tapi jangan gunakan untuk membayar yang berhubungan
denganku.” Kana langsung pergi meninggalkanku. Aku memutuskan untuk tidak
pulang malam ini, bukan karena aku tidak mau bertemu Kana, tapi karena aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan kepadanya. Aku memang bodoh, kenapa aku
mau saja menerima suruhan Ketua. Riku pun ikut denganku, dia merasa dialah
penyebab pertengkaran ini. Aku sendiri sudah memaafkan Riku, dia sendiri tidak
tahu apa-apa mengenai itu. Lalu untuk menghabiskan malam ini pertama aku
membeli baju dan celana baru, baju yang aku pakai ini pemberian Ketua, sudah seharusnya aku menggantinya.. Baju yang aku beli bewarna hitam begitu juga
dengan celananya. Harga semuanya 120 gold. Kemudian aku mencari tempat
penginapan Ketua, gampang saja aku menemukannya karena prajurit disana banyak
yang mengenaliku. Dan sampailah aku di tempat Ketua,
“Senang melihatmu Kaze, rujak yang tadi kamu beli enak
sekali dan juga es tehnya...” Aku mengeluarkan sekantung plastik yang berisi
uang 480 gold. Itu semua adalah uang yang diberikan Ketua sewaktu aku
ditugaskan mencari kristal ditambah uang yang tadi siang. Ketua memandangku
dengan heran, “Apa itu?”
“Semua uang pemberianmu.” Aku menaruhnya didepan pintu,
lalu aku mebalikan badanku, “ aku keluar dari Gegana dan tidak akan kembali.”
Kataku tegas tidak bisa ditawar lagi, saat aku akan membuka pintu, sebilah
pedang dengan cepat menancap di pintu. Kulihat Ketua sekarang sudah berada
didekatku sambil membawa pedang itu.
“Apa sebenarnya mau mu?” kata Ketua dengan nada marah,
baru kali ini aku melihat Ketua Senu yang selalu lembut berkata dengan nada
sedemikian. Tapi aku tidak takut, aku sudah memilih jalanku, tidak ada seorang
pun yang bisa menghentikanku.
***
Malam
ini aku bekerja dengan keras seperti akan menghukum badanku sendiri. Aku
mengalahkan beberapa penjahat kacangan dengan Riku dan kita berdua mendapatkan
1450 gold. Tapi aku ingin sekali mengalahkan penjahat kuat yang ada di kota
ini, tapi Riku selalu saja mencegahku.
“Untuk
apa mengalahkan 1 penjahat yang kita bisa saja dibunuh olehnya, bukankah lebih
baik mengalahkan 20 penjahat kacangan tapi kita baik-baik saja?” kata Riku
ketika untuk kesekian kalinya aku meminta Riku menunjukan penjahat terkuat
dikota ini.
“Tapi
aku ingin mengalahkannya!” kataku sengit.
“Kita
berdua saja belum tentu bisa mengalahkannya.”
“Aku sendirian cukup,” dengan cepat pukulan Riku mendarat
ke pipiku. Aku tersungkur ke tanah, pipiku menjadi panas dan sedikit sakit.
Riku merenggut kerah bajuku dan memandangku dengan marah.
“Kamu hanya ingin melukai dirimu sendiri! Apa kamu ingin
membuat Kana lebih sedih lagi?!” bentak Riku, aku diam saja. Memang itu yang
aku inginkan, melukai diri sendiri karena diriku hanya bisa membuat Kana sedih.
Tapi memang benar jika aku melakukan itu, Kana pasti akan lebih sedih lagi.
Riku melepas kerah bajuku dan aku tertunduk lemas sambil menundukan kepalaku.
“5000 gold...” gumamku,
“ha?”
“Aku mau kembali ke penginapan jika aku mendapatkan 5000
gold lagi... Terserah kamu memilih penjahat level apa, yang penting aku bisa
memberi Kana 5000 gold...” Aku mengangkat wajahku melihat Riku, kulihat Riku
tersenyum dan dia menarik tanganku untuk berdiri. Akhirnya aku memulai
pekerjaanku kembali. Riku memilih penjahat level menengah. Memang cukup sulit
apalagi jika penjahatnya lebih dari 1, badanku pun semakin penuh luka walaupun
lukanya tidak parah.Dan tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi dan aku
pribadi berhasil mendapatkan 6500 gold.
Suasana penginapan saat pagi cukup sepi, hanya beberapa
orang yang keluar masuk kamar. Aku dan Riku berjalan mendekati kamar kami, aku
sampai di depan kamar lalu aku mebuka pintu. Entah kenapa aku merasa deg-degan
dan benar saja disana ada Kana yang sedang... Aku merasa terharu melihatnya.
Kana sedang tertidur di meja makan, aku melihat ada beberapa makanan juga di
meja. Beberapa makanan itu masih utuh, mungkin Kei dan Ken tidak mau
memakannya. Aku yakin makanan itu sisa tadi malam, karena saat aku pegang
makanan itu sudah dingin. Aku melihat Riku mengambil makan dan dengan kodenya
jarinya yang menujuk ke luar dia mengatakan, “Aku akan makan diluar.” Aku hanya
tersenyum. Aku duduk disebelah Kana , mungkin dia merasa ada seseorang yang
duduk disampingnya kemudian dia menjadi terbangun, dia langsung terkejut
melihatku.
“Kaze...” kata Kana dengan mata berkaca-kaca, dia
memandangku terutama bajuku yang robek dan beberapa luka kecil di wajahku.
“Kaze, kamu kenapa?” kata Kana agak panik, dia lalu melihat makanan yang
tersaji di meja. “Maaf makanannya belum aku hangatkan, aku akan...” saat Kana
akan mengambil piring, aku lebih dahulu memegang tangannya. Aku memandangnya
denga perasaan bersalah.
“Maafkan aku... Aku sudah mengembalikan uang milik Ketua.
Aku juga bekerja sampai larut malam agar bisa mendapatkan uang lebih.” Aku
mengangkat kantung plastik berisi uang yang ada disebelahku. “Lihat, aku dapat
6500 gold,“ kataku sambil tersenyum tersenyum.
“Dan penuh luka.” Mata Kana mengeluarkan air mata, dia
mulai menangis. “Aku... Aku seharusnya... Tidak memarahimu... Membuatmu j-jadi
terluka... M-Maaf... Maafkan aku...” Aku memluk Kana, mataku pun mulai
berkaca-kaca.
“Seharusnya aku memberitahumu dulu sehingga tidak
membuatmu sampai tertidur di meja makan.” Aku membiarkan air mata Kana
membasahi bajuku. Aku mencium rambut Kana kemudian
membelainya dengan lembut.
***
VII
Keesokan harinya kami memutuskan untuk segera melanjutkan
perjalanan menuju ke kota Mage. Setelah membereskan seluruh barang, kami semua
berjalan kaki menuju perbatasan. Rencana kami setelah kami sampai perbatasan
barulah kami menggunakan kendaraan umum. Sayangnya ada sesuatu terjadi, saat kami
semua sedang berjalan, Aku melihat wajah Kana yang agak pucat
“Kana,
kamu sakit?” tanyaku cemas.
“Eh…
Tidak kok… “ Kata Kana agak gugup.
“Tapi
wajahmu pucat,” aku yakin Kana menyembunyikan sesuatu.
“Mungkin
kak Kana haus?” Tanya Ken.
“Udaranya
panas sih, “ kata Kei.
“Duduk
dulu di sana,“ kata Riku sambil menunjuk sebuah rumah kosong yang agak kotor
dengan koran-koran yang berserakan di tanah. Aku menuntun Kana dari samping, kemudian aku mebantunya
untuk duduk.
“Maaf ya... aku jadi menghambat perjalanan...”
“Kamu ngomong apa sih, tentu saja tidak. Jangan
memaksakan diri, kalu sakit ya bilang saja.” Kataku sambil mengipasi Kana.
“Kamu jaga sini saja,” katanya agak keras. Jadilah aku
hanya memandangi mereka walaupun aku juga ingin membantu Riku. Terlihat gadis
itu berusaha untuk bangun, lalu dari tangannya muncul tali dan dia melemparkan
ke pemuda yang tadi membuatnya terjatuh. Tali itu menjerat kaki pemuda itu, dan
membuat dia agak sulit untuk berlari. Dengan cekatan gadis itu menarik tali
tersebut sambil bernyanyi 1 lirik lagu lalu munculah petir dari tali yang
dipegang gadis itu menyalur sampai tali yang ada di kaki pemuda itu. Pemuda itu
menjerit kesakitan dan akhirnya pingsan. Aku melongo melihatnya, jangan-jangan
gadis itu... Sedangkan pemuda yang memgang tas melihat kebelakang dengan wajah
ketakutan. Lalu dia terjatuh karena dia merasa didepannya ada sesuatu, saat
melihat kedepan Riku sudah tegak dihadapannya. Riku menotok bagian bahu pemuda
itu kemudian dia pingsan, Riku pun mengambil tas yang dipegang pemuda itu. Saat
Riku akan mengembalikan tas kepada gadis, Riku terpetanjat karena gadis itu
adalah
“Sena?” kata Riku dengan nada yang teramat terkejut.
“Riku?” kata Sena sama kagetnya, “Sedang apa kamu
disini?”
“Harusnya aku dulu yang berkata seperti itu,” jwab Riku
sambil memberikan tas pada Sena.
“Terima kasih ya! Tas ini isinya berharga sekali,“ kata
Sena sambil memeluk tasnya dan tersenyum. “Mereka ini merepotkan sekali, apa
aku harus meninggalkan mereka disini biar jadi daging panggang?”
“Serahkan padaku,” Riku mengucapkan mantra, dan kedua
pemuda yang pingsan itu menghilang. Betapa kagetnya Sena kemudian,
“I-itu k-kamu m-ma-mage?” Tanya Sena
gelagapan.
“iya,”
“Hebat!!!”
teriak Sena sambil berjingkratan.
“Bukannya
kamu sendiri juga,”
“Kalau
aku adalah sorcerer,” kata Sena sambil tersenyum.
“Nah
kamu lebih hebat dari aku,”
“Kata
siapa Sorcerer lebih tinggi dari mage? Sekarang ini jaman sudah maju. Untuk
menjadi mage itu sekarang tidak sulit.” Riku mendengarnya sambil melongo,
sedangkan Sena menjentikan jarinya. “Aku juga tidak perlu mengucapkan mantra
untuk mengeluarkan sihir, tapi aku mengganti mantra itu dengan nyanyian agar
lebih mudah ingat.”
“Aku
tidak tahu mengenai pendidikan sihir sekarang.”
“Tentu
saja! Kamu kuno sih,” kata Sena lalu tertawa terbahak-bahak.
“Ternyata
penyihir sekarang lebih malas karena tidak mau menghafal mantra.” Kata Riku tak
mau kalah, Sena cemberut.
“U-uh
kamu menyebalkan.”
“Kamu
sudah aman sekarang, teman-temanku sudah pada menunggu. Aku duluan ya,” kata
Riku sambil melambaikan tangannya ke Sena, tapi Sena mencegahnya.
“Aku
mau kenalan dengan temanmu. Apa Kaze juga ada di sana?”
Aku melihat Sena dan Riku berjalan
mendekatiku, aku melambaikan tanganku pada mereka berdua.
“Sena
rupanya, kamu tidak apa-apa kan?” sapaku.
“Aku
baik-baik saja.” Kata Sena sambil tersenyum, kulihat Sena melongok ke arah
belakangku, sepertinya dia melihat Kei, Ken dan Kana dengan sangat seksama.
Kemudian dia kembali melihatku sambil menyipitkan matanya. “Jadi, dia istri dan
anak-anakmu?” Aku terbelalak mendengarnya, ngomong apa sih dia.
“Dia
bukan istriku, dan juga bukan anakku. Aku belum punya istri dan anak! Yang
gadis bernama Kana, dia temanku. Dan yang kembar itu Kei dan Ken, mereka semua
temanku.” Kataku menahan malu,
“Hoo…
Teman? Tapi sepertinya pacarmu sedang memikirkan sesuatu.”
“Aku
belum pacaran dengan Kana, Kana katakanlah sesuatu.” Kataku sambil menoleh ke
arah Kana. . Kana diam saja sambil melihat selembar koran yang ada di
tangannya. Kei dan Ken juga tidak memperhatikan kedatangan Sena. Mereka seperti
sedang menghibur Kana, aku jadi khawatir.
“Kana
kenapa?” tanyaku kepada entah Kei, Ken atau Kana tapi mereka semua diam saja.
Hanya Ken yang menoleh ke arahku sambil memberikan selembar koran yang persis
seperti dipegang Kana. Aku melihatnya dan aku sangat terkejut dengan isi di
dalamnya. DESA DIBAKAR TIDAK ADA YANG SELAMAT dan desa itu adalah Desa tempat
Kana tinggal, desa yang baru 4 hari kami tinggal. Aku melihat Kana yang masih
mematung dengan kondisi yang sama, aku langsung menyambar selembar koran yang
ada ditangan Kana dan aku mengangkat wajah Kana. Tetes air mata menyentuh
lembut ke telapak tanganku, tatapan mata Kana kosong namun matanya tak hentinya
mengeluarkan air mata. Aku tidak mampu untuk berkata, aku sedih mengetahui desa
itu dibakar tapi aku lebih sedih lagi karena melihat Kana begini, aku tidak
bisa melakukan apa-apa lalu aku memeluk Kana dengan erat.
“Kaze…”
kata Kana lirih hampr tidak terdengar.
“Iya
Kana?” kataku sambil membersihkan air mata Kana.
“Tolong…
Bawa aku kesana…”
“Tapi
Kana, kamu”
“Kumohon…”
Kana mengiba padaku dan matanya mulai berair lagi, aku tidak bisa menolaknya
lagi.
***
Aku
terus memegang tangan Kana saat kami semua termasuk Sena datang ke desa ini.
Kami kembali ke desa ini dengan menggunakan kendaraan sehingga tidak
membutuhkan waktu lama, tidak selama waktu kami berangkat ke kota. Kembalinya
aku ke desa ini membuatku sangat sedih, tidak ada lagi desa yang indah,
bersih,tentram kini desa itu hanya menyisakan puing-puing rumah dan mayat.
Sebenarnya aku sudah biasa melihat desa atau kota sehabis perang atau sehabis
dibakar. Rumah hangus dan banyak mayat, tapi ketika melihat desa ini, desa yang
penuh dengan warga-warga yang sangat baik denganku terutama ke Kana kini
hancur. Hatiku sangat perih dan sedih. Aku terus menggenggam erat tangan Kana
sambil mengikuti Kana. Kana berjalan sambil melihat sekelilingnya, dan
sampailah aku dan Kana di depan perpustakaan. Bangunannya masih kokoh berdiri
walaupun ada beberapa bagian yang sudah rusak. Aku melihat ada mayat yang
terlungkup didepan pintu perpustakaan. Aku menahan nafas ketika melihatnya,
lalu Kana melepas tanganku dan mendekat ke arah mayat Sony. Aku mengikuti Kana,
ku lihat Kana duduk di samping Sony dan tetes demi tetes air mata mengalir
jatuh ke tangan Sony. Mataku mulai panas melihatnya, aku sedih melihat Kana.
Lalu mataku tertuju pada selembar kain bewarna merah dengan gambar cahaya
kuning putih di tengahnya. Itu adalah bendera Gegana, aku merasa sangat marah
melihatnya langsung saja aku menginjaknya. Tiba-tiba Kana menjerit, aku dan
yang lainnya terkejut karena Kana belum pernah seperti ini sebelumnya. Aku
berusaha menenangkannya tapi Kana malah memukulku. Akhirnya aku memeluknya agar
dia diam, tapi usahaku sia-sia, Kana malah meronta dan berusaha melepas
pelukanku.
“Kana
tenanglah,” kataku sambil menahan rontaan Kana. Sayangnya Kana seperti tidak
mendengarku, dia terus menangis, menjerit dan meronta.
“Kaze,
totok Kana.” Kata Riku,
“Tidak
perlu,” jawabku, lalu aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku dan Kana
terjatuh dengan posisi aku dibawah, rasanya cukup sakit. Aku merintih kesakitan, aku merasa tangan Kana menyentuh
pipiku, ketika aku melihatnya, Kana sedang memandangku dengan sedih.
“Maaf...” katanya pilu,
“Kamu tidak perlu minta maaf lagi.” Kataku sambil
tersenyum.
***
Kami memutuskan untuk secepatnya pergi ke Utara dengan
menggunakan mobil sewa,
“Ke utara itu mau ke kota mana?” tanya Sena yang entah
kenapa dia jadi mengikuti kami, walaupun begitu dia cukup berguna karena selalu
menghibur Kana ketika Kana terlihat sedih atau mengajaknya bicara ketika Kana
melamun.
“Kota Mage kan, Riku?” tanyaku kepada Riku yang sedang
mengendarai mobil.
“Haaa... Untuk apa ke sana? Di sana membosankan!” kata
Sena,
“Kami tidak minta pendapatmu, omong-omong kenapa kamu
mengikuti kami terus,” kata Riku jutek.
“Kana suka bunga kan? Kita ke Kota Limaran saja? Di sana banyaaaak sekali bunga, hampir
semua bunga ada di sana!” kata Sena tanpa menggubris omongan
Riku.
“Aku
suka bunga.” Kata Kana berusaha tersenyum,
“:Nah
ayo kita ke kota Limaran!” kata Sena bersemangat sambil bersorak disambut Kei
dan Ken, aku pun ikut bersorak dan Riku hanya ngedumel.
***
Menuju
Kota Limaran membutuhkan waktu 3 hari, cukup melelahkan tapi menyenangkan. Aku
merasa hubunganku dengan Kana jauh lebih intim dari sebelumnya, aku selalu
disamping Kana di saat Kana sedih maupun senang. Dan aku pun merasa hubungan
Riku dan Sena semakin akrab walaupun mereka lebih sering saling mengejek
daripada memuji. Kami berhenti di Kota Limaran tepatnya di gerbang kota.
Penjaga gerbang dengan sigap mengecek apakah ada barang yang mencurigakan atau
tidak. Aku dan Kana keluar dari mobil, udara luar sangat segar ditambah dengan
udara sepoi-sepoi.
“Kaze,
lihat di sana!” Seru Kana sambil menunjuk taman bunga yang tidak jauh dari
tempat kami berada. Kana menarik tanganku dan aku mengikuti Kana.
“Mau
kemana?” Tanya Ken pada kami,
“Ke
taman bunga, kalau sudah selesai kalian ikut kesana juga ya.” Kata Kana.
Akhirnya kami berdua sampai di taman bunga yang sangat luas, taman ini berisi
banyak sekali macam-macam bunga. Kana bersorak gembira, aku senang melihat Kana
kembali bersemangat. Aku memegang pundak Kana, aku ingin kita selalu bersama
dan bahagia. Tak lama kemudian Riku,
Kei, Ken dan Sena datang ke taman ini. Ken dan Kei saling berlarian, Sena dan
Riku menkmati udara segar yang menyerbak di taman ini.
“Uh…
Aku iri melihat Kaze dan Kana,” kata Sena.
“Kenapa?”
Tanya Riku sambil menguap.
“Mereka
sangat mesra! apa kamu selama ini tidak merasa iri? Kamu lebih lama bersama
mereka daripada aku kan, apa kamu tidak merasa?”
“Biasa
saja.”
“Apa
kamu tidak ingin seperti mereka?” Tanya Sena agak malu dan wajahnya menjadi
agak merah.
“Bagaimana
denganmu?”
“Aku
dulu pernah seperti itu, tapi sekarang aku sudah putus.” Hei aku duluan yang
tanya!”
“Aku
belum pernah merasakan, saat aku akan merasakan aku malah sudah tidak bisa menggapainya
lagi. “ kata Riku datar. Sena diam setelahnya, tapi diam-diam terus
memperhatikan wajah Riku. Riku yang merasa di perhatikan berusaha untuk tidak
bertemu mata dengan Sena, entah kenapa Riku merasa wajahnya agak panas.
Setelah
puas melihat bunga, kami memutuskan untuk menginap di sebuah apartemen karena
aku berpikir di kota ini cukup damai dan yang pasti Kana menyukai tempat ini.
“Aku
ingin tinggal disini paling tidak sebulan,” kata Kana kepadaku, aku pun
menyanggupi. Dan kami memilih apartemen yang murah tapi juga cukup untuk kami
berenam, harganya 800 gold perbulan. Setelah itu Aku membantu menaruh bawaan
kami ke apartemen. Sambil mengambil barang dari mobil, aku melihat selembaran
lowongan kerja di depan pintu apartemen, ada banyak lowongan kerja di tulis di
sana, sayangnya aku tidak boleh mengambil selembaran itu, setelah aku menaruh
semua barang dari mobil
ke apartemen, aku menanyakan hal itu pada Kana. Aku dan Kana segera melihat
selembaran itu, Kana melihat dengan bersemangat dengan cepat dia menunjuk pada suatu pekerjaan yang sama sekali tidak ada di
pikiranku,
“Ayo kita jadi guru.” Kata Kana sambil tersenyum,
“Tapi aku belum pernah...”
“Kamu cukup dekat dengan Kei dan Ken kan? Ayo kita coba
dulu, lagipula di sini di tuliskan membutuhkan 2 orang guru
pengganti, 1 guru kesenian
dan 1 guru olahraga. Aku yakin kamu bisa menjadi guru olahraga.” Kata Kana
menyela perkataanku. “Aku juga ingin bekerja bareng denganmu...” lanjut Kana
sambil menunduk, aku tersenyum simpul. Akhirnya aku menyerah juga.
“Baik, ayo kita coba besok.”dan pada malam hari setelah
makan malam kami semua mendiskusikan tentang pekerjaan yang akan kami lakukan
di kota ini.
“Aku sudah di terima sebagai penjaga toko bunga dan
aksesoris lalu malamnya aku akan menyanyi di sebuah restoran.“ Kata Sena
bersemangat.
“Aku sebagai penjaga gerbang.” Kata Riku,
“Sangat pas untuk Riku,” kata Ken disambut oleh Sena lalu
Riku menjewer mereka semua dengan gemas.
“Kalian berdua juga cocok jadi guru,” kata Kei menimpali.
“Tapi kita mungkin akan jarang berkumpul karena sibuk ya...” lanjut Kei sedih.
Aku juga berpikir begitu. Riku dan Sena bisa bekerja hingga malam sedangkan aku
dan Kana bekerja di siang hari, mungkin agak sulit bagi kami membagi waktu
untuk berkumpul bersama.
“Tenang saja Kei, Minggu tokonya tutup jadi aku bisa
bermain bersamamu.” Kata Sena berusaha menyemangati Kei begitu juga aku, Kana,
Riku dan Ken.
“Kami tetap akan berusaha membuat waktu kosong untuk
berkumpul, jadi tenang saja” kataku sambil tersenyum.
***
Jam 6.30 aku dan Kana sampai di SMP Limaran 1, di sinilah
Sekolah yang membutuhkan guru. Jujur saja aku sedikit nervous karena ini
pertama kalinya aku mendaftar jadi guru.
Kana menggandeng tanganku dengan lembut, dan itu membuatku sedikit santai.
Kami
berjalan melihat-lihat gedung lalu aku melihat suatu ruangan yang di atasnya
tertulis “Ruang Guru.”. Kami pun memutuskan untuk memasuki ruang itu, aku
membuka pintunya,
“Selamat
pagi,” kataku. Aku melihat seisi ruangan ini dengan seksama, tempatnya agak
kecil, dengan sekitar 10 lebih meja dengan kursinya, di mejanya penuh dengan
buku dan kertas,dan di sana hanya ada beberapa guru yang sudah sampai di
sekolah.
“Pagi,
ada apa ya?” kata lelaki tua setengah baya padaku.
“Kami
mau mendaftar menjadi guru, tempatnya di mana ya?”kata Kana.
“Oh…”
tampak wajah lelaki itu berubah menjadi cerah, “Ibu Eva, ada yang mau mendaftar
menjadi guru!” kata lelaki itu bersemangat kepada ibu gendut yang agak jauh
dari tempat kami. Ibu yang dipanggil Ibu Eva itu langsung datang dengan
tergopoh-gopoh.
“Halo,
saya adalah Ibu Eva. Kepala sekolah di sini, saya senang akhirnya ada yang mau
mendaftar menjadi guru di sini.”
“Saya
Kaze, dia Kana. Kami berdua ingin menjadi guru pengganti.”
“Sepertinya
masih ada seragam guru sisa, pak tolong berikan seragam guru yang ada di kardus
di gudang.”
“Baik
bu,” kata lelaki tadi dan dia langsung pergi.
“Maaf
ya tunggu sebentar, silahkan kalian berdua duduk dulu.” Ibu Eva pergi dengan
tergopoh-gopoh lagi. Aku dan Kana saling berpandangan. Tak lama kemudian, pak
tua tadi datang dengan membawa 2 kantong plastik transparan dengan baju di
dalamnya.
“Yang
ini buat mbak Kana yang ini buat mas Kaze, silahkan di coba. Oh iya di sana ada
wc. Ganti di sana ya.” Kata pak tua itu sambil menunjuk ke arah wc. Aku dan
Kana menuju ke sana tentu saja dengan wc yang berbeda. Aku mengganti bajuku
dengan segera. Setelah memakainya, aku merasa baju ini sangat pas untukku,
tidak kekecilan dan tidak kebesaran. Aku keluar dari wc lalu aku menunggu Kana
yang belum selesai ganti baju, tak lama kemudian Kana muncul dengan seragam
gurunya. Aku terpana sesaat.
“Bagaimana?”
Tanya Kana malu-malu. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol.
“Kamu
pakai baju apa saja terlihat bagus.” Pujiku, Kana menundukan kepalanya tersipu
malu.
“Kamu
juga cocok,”kata Kana memandangku dengan wajahnya yang kemerahan, aku jadi malu
di buatnya. Kemudian, aku dan Kana kembali ke ruang guru, saat kami sudah
sampai sana, Ibu Eva muncul dengan 2 orang guru wanita yang satu masih muda
dan yang sudah agak tua.
“Saya
Neta,” kata guru yang agak tua, “saya guru olahraga, saya akan membimbing anda
yang mau menjadi guru olahraga hari ini.”
“Saya
Eli,” kata guru yang muda, “saya guru biologi, saya akan membantu membimbing
guru kesenian.”
“Nah
selamat bekerja ya!” kata Ibu Eva bersemangat.
Aku dan Ibu Neta pergi ke lapangan, sedangkan
Kana dan Ibu Eli ke ruang kesenian. Ibu Neta memberikan informasi yang cukup
berguna untukku, dia juga menceritakan tentang guru olahraga yang lama.
“Dia
sangat tekun dalam mengajar muridnya, kemudian dia cuti untuk bulan madu dengan
istrinya. Saya tidak bisa megajar semua kelas di sekolah ini, sebenarnya
sekolah ini juga kekurangan guru, mungkin kamu bisa menjadi guru tetap di
sini.” Aku hanya tersenyum mendengarnya,
“Kalau
guru tetap… Mungkin aku harus berdiskusi dulu dengan Kana,” jawabku.
“Oh
iya, aku jadi ingat, guru olahraga itu istrinya adalah guru kesenian, kalian
benar-benar pasangan yang mirip.”
“Tapi
aku belum menikahi Kana,” kami berdua pun tertawa, lalu tibalah saatnya untuk
aku mengajar. Aku mengajar kelas 1 SMP, kemudian aku memperkenalkan diriku
kepada muridku. Saat aku sedang memperkenalkan diriku, aku mendengar beberapa
murid perempuan berbisik-bisik mengenaiku,
“Uwa…
Ganteng ya,” kata salah satu murid perempuan yang membicarakanku, aku hanya
tertawa dalam hati. Kemudian aku mulai mengajar, aku hanya sebentar berbicara
di depan mereka karena lebih banyak praktik.
“Kerjamu
lumayan, kamu sudah bisa tanpa harus di tunggu. Aku tinggal ya, kalau ada
apa-apa tanya saja.” Ibu Neta menepuk punggungku kemudian dia berlalu.
Pelajaran kali ini adalah lompat tinggi, untuk yang murid laki-laki mereka
hampir semuanya bisa melakukannya, tapi ketika murid perempuan banyak yang
merenggek padaku,
“Pak,
aku gak bisa.” Kata salah satu murid perempuan di sambut oleh temannya yang
lain,
“Sebisamu
saja,” tapi dia terus merenggek untuk tidak melakukan lompat tinggi, untungnya
saat itu Ibu Neta datang dan aku pun lega.
Bel
istirahat berbunyi, aku pergi menuju kantin sekolah. Bukan tanpa alas an aku
kesana tapi karena akusudah berjanji dengan Kana untuk menemuinya di sana. Aku
duduk di kursi paling pojok sambil melamun, lalu ada 3 murid perempuan yang
tadi aku ajar mendekat ke arahku, salah satunya adalah yang tadi merenggek
kepadaku saat olahraga. Entah kenapa aku melihat mereka jadi teringat 3 teman
Kana yang ada di desa…
“Pak
Kaze, sendirian?” katanya sambil tersenyum, sedangkan 2 temannya
tertawa-tertawa kecil di belakangnya. Tiba-tiba aku melihat Kana yang tidak
jauh dariku seperti sedang mencari sesuatu, mungkin dia mencariku,
“Kana!
Aku di sini!” Seruku sambil melambaikan tangan padanya, Kana pun mendengarku
dan dia berlari sambil tersenyum ke arahku. Ketiga muridku terutama yang tadi
merenggek sedikit terkejut karena seruanku dan kedatangan Kana, kemudian murid
yang tadi merenggek tersenyum kikuk padaku,
“Kami
duluan ya, pak.” Katanya, lalu mereka langsung ngacir. Kana melihat ketiga
murid itu dan murid yang satu pun melihat Kana dengan kikuk.
“Muridmu?”
Tanya Kana.
“Iya,
kalaun kamu telat sedikit saja pasti aku sudah di rebut.” Godaku ke Kana. Kana
hanya cemberut. Aku tertawa melihatnya, “Maaf maaf, sini duduk,” kataku sambil
menarik tangan Kana untuk duduk di sampingku, lalu aku dan Kana ngobrol tentang
pengalaman kita hari ini, aku ngobrol sambil makan roti yang aku beli di
kantin.
“Mungkin
aku harus bangun lebih pagi untuk membawa bekal.” Kata Kana,
“Jangan
terlalu di paksakan ya. Omong-omong nanti kamu selesai ngajar jam berapa?”
“Sekitar
jam 1an,” kata Kana sedih. “Kalau Kaze 2 jam lagi selesai kan?”
“Iya,
tapi tenang saja aku akan menunggu kok,”
“Jangan,
nanti terlalu lama, kamu pulang dulu saja,”
“Kalau
begitu nanti aku mau melihat Sena dan Riku bekerja sehabis itu aku menjeputmu,
oke?” Kana pun menggangguk.
***
Aku
memutuskan untuk melihat apa yang sedang dilakukan Riku dan Sena saat bekerja,
pertama-tama aku menemui Riku. Riku bekerja sebagai penjaga gerbang, aku
melihat hari ini sedang banyak wisatawan yang sedang berkunjung ke kota ini
jadi banyak mobil yang harus di periksa. Sehingga aku tidak bisa terlalu banyak
ngobrol dengan Riku. Lalu aku pergi ke toko bunga dan aksesoris tempat ena
bekerja.
“Selamat
pagi, oh Kaze toh.” Kata Sena seperti biasa selalu riang. “Mau beli? Di sini
banyak aksesoris yang cocok untuk Kana loh,” aku hanya tersenyum mendengar
kelakarnya. Kami berdua pun ngobrol tentang pekerjaan masing-masing. Lalu
pemilik toko ini muncul,
“Selamat
pagi, teman Sena?” kata wanita muda pemilik toko itu ramah.
“Iya,
kebetulan saya baru pulang kerja.”
“Nama
saya Lili, saya pemilik toko ini. Sena sangat rajin membantu toko ini.” Katanya
lembut, Sena pun tertawa dengan bangga.
“Ayo
Kaze beli dong, jauh-jauh datang ke sini tak beli apa-apa. Belilah sesuatu
untuk Kana.”
“Jaraknya
ga jauh kok.”
“Pokoknya
harus beli!”
“Iya-iya,
aku lihat-lihat dulu, apa semua pengunjungmu selalu di paksa seperti ini?” Aku melihat-lihat
semua barang yang di jual di sini, ada cincin, kalung, gelang, lalu bunga
mainan dan asli di jual juga di sini. Aku bingung memilihnya,
“Menurut
kamu yang cocok untuk Kana yang mana?” tanyaku ke Sena.
“Loh
kok tanya aku, kamu kan pacarnya.”
“Tapi
kurasa Kana suka semuanya…”
“Sini
biar aku bantu untuk memilihnya,” kata Lili, “seperti apa sifat pacarmu?”
“Itu…
Dia pemalu, gampang gugup tapi dia begitu cekatan ketika ada orang yang
membutuhkan pertolongannya. Dan…” Aku sangat mencintainya… kataku yang ini
dalam hati,
“Dan
anda sangat mencintainya?” kata Lili sambil tersenyum, aku terkejut karena dia
seperti bisa membaca pikiranku. Lili pun tertawa kecil, lalu dia mencari
sesuatu di dalam lemari kecil yang ada di sebelahnya dan dia mengeluarkan kotak
kecil dari dalam lemari.
“Kurasa
yang ini cocok untuk pacarmu dan kamu juga,” Lili membuka kotak itu, ternyata
di dalamnya terdapat cincin yang bewarna hitam dan pink.
“Uwa
itu bagus sekali, kenapa itu di simpan mbak?” Tanya Sena.
“Dulu
cincin ini pernah menjadi tren 5 tahun lalu, tapi karena aku memproduksinya
terlalu banyak sehingga banyak orang yang bosan, jadi aku simpan saja untuk
hadiah. Dan sekarang cincin ini tinggal dua pasang.
“Nah,
Kaze, kenapa kamu tidak melamar pacarmu?” Tanya Lili.
“A…”
Aku gugup mendengar pertanyaan itu. “Menikah maksutmu?”
“Tentu
saja menikah, masa melamar pekerjaan?” canda Sena.
“Apa
kamu tidak ingin menikah?” Tanya Lili lagi.
“B-Bukan
begitu… Apa kamu yakin Kana mencintaiku juga?”
“Aku
yakin 100%” Seru Sena bersemangat. “Kamu tahu apa saja yang dia obrolkan saat
aku dengan Kana? Dia pasti membicarakanmu sampai aku bosan!” Mendengar
perkataan Sena aku jadi agak malu,
“Tapi
aku baru 1 hari bekerja… Tidak sopan untuk minta cuti kan?”
“Melamarlah
dulu, kamu bisa menikah bulan depan, kamu tahu? Bulan depan ada libur nasional
selama 3 hari, kamu bisa memanfaatkannya.” Aku berpikir sejenak, lalu aku
memandang Lili dengan heran.
“Kenapa
kamu begitu baik?”
“Aku
adalah healer,membuat healer lain bahagia adalah tugasku,” katanya sambil
tersenyum. Aku terperanjat lalu aku melihat Sena yang hanya tersenyum-senyum
sendiri. “Aku tahu kalau Sena adalah Sorcerer, sehingga dia menceritakan
tentang teman-temannya termasuk hubunganmu dengan pacarmu.” Aku melotot ke arah
Sena, Sena pun menahan tawanya. “Nah
ambilah ini, pacarmu pasti senang.”
“Terima
kasih,” kataku tersendat sambil mengambil kotak kecil itu di tangannya. “Aku
akan menjaga Kana dan membahagiakannya.”
***
VIII
Jam
sudah menunjukan pukul 13.00, murid-murid SMP berlarian keluar dari sekolah
untuk segera pulang atau bermain. Aku menunggu Kana di depan ruangannya. Tak
lama kemudian Kana muncul sambil membawa beberapa buku di tangannya. Aku
menyapa Kana lalu aku membantu membawakan bukunya. Aku tidak begitu peduli
dengan murid-murid yang melihat kami berdua. Aku dan Kana berjalan menuju ruang guru. Kami pamit pulang pada
semua guru lalu kami pun pulang,
“Kana
apa kamu lapar?” tanyaku saat kami berdua berjalan untuk ke apartemen.
“Tidak,
tapi sebaiknya kita beli makan untuk Kei dan Ken. Mereka pasti menunggu kita,”
“Anu…
Kana.” Kataku sambil memegang tangan Kana. Aku merasa sedikit gugup.
“Iya?”
kata Kana agak terkejut.
“M-Maukah
kamu menemaniku dulu ke suatu tempat? Aku ingin kita berdua dulu” kataku agak
gugup, aku merasa payah sekali.
“T-Tentu,”
kata Kana jadi ikutan gugup. Tanpa melepas tangan Kana, aku membawa Kana ke
taman bunga. Sampai di taman bunga, aku memutuskan untuk duduk di dekat pohon
agar bisa berteduh dari teriknya matahari.
“Kana,
apa kamu diberitahu kalau kita mungkin diangkat jadi guru tetap?” kataku
memulai pembicaraan, aku berusaha ngobrol dengan wajar.
“Iya
sempat, aku senang kalau kita jadi guru tetap.” Kata Kana sudah tidak gugup.
“Bagus
lah, kamu juga sepertinya begitu menyukai kota ini.”
“Hehe,
kamu tahu Kaze? Ternyata ada beberapa guru di sana merupakan healer, kata
mereka kota ini tidak membeda-bedakan antara healer ataupun manusia biasa.
Mereka tetap akur,” kata Kana sambil
tersenyum.
“Jadi…
Kamu lebih suka kota ini daripada aku ya?” kataku agak kaku, sebenarnya aku
malu mengatakan yang seperti ini. Kana pun terkejut sesuai dugaanku.
“Tentu
saja aku juga suka kamu, tapi sukanya beda. Duh gimana ya menjelaskannya.” Kata
Kana dengan wajah merah,
“Kana…
Apakah kamu mencintaiku?” kataku malu.
“…Tentu…
“
“Kana…”
Aku berdiri dari dudukku kemudian aku menganggkat tangan Kana agar Kana berdiri
juga. “Aku sayang dan juga mencintaimu.” Aku mengeluarkan kotak kecil yang aku
taruh di saku celanaku. Aku berlutut kemudian aku membuka kotak itu di hadapan
Kana,
“Kana,
maukah kamu menikah denganku?” tanyaku dengan serius. Kana terkejut sesaat,
kemudian matanya mulai berkaca-kaca. Kana pun tersenyum dan mengangguk.
***
Seperti
saran Lili, Aku dan Kana menikah bulan depan. Dengan bantuan guru-guru akhirnya
kami memutuskan untuk menikah di gedung SMP Limaran 1. Aku bekerja keras demi
pernikahanku, paginya aku menjadi guru. Malamnya aku mencari penjahat bersama
Riku. Aku begitu beruntung memiliki teman-teman yang baik hati. Sebulan berlalu
dengan cepat. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Kana, walaupun deg-degan
Pernikahanku berjalan dengan mulus. Setelah pernikahan, aku dan Kana pindah
kamar walaupun tetap 1 apartemen dengan kamar kami yang dulu. Aku memilih kamar
apartemen yang lebih kecil daripada kamar Sena, Riku, Kei dan Ken. Harganya 500
gold, bukan tanpa alasan kami berdua pindah kamar. Tentu saja karena kami
sekarang sudah menikah.
Setahun
berlalu dengan cepat, hari-hariku begitu menyenangkan karena Kana selalu di
sampingku. Dan sekarang aku dan Kana mempunyai seorang jagoan baru, Kyou Fuu
atau yang biasa kami panggil dengan Kyou, dia adalah anak laki-lakiku yang
lincah. Umurnya baru satu tahun tapi dia sudah bisa berlari dengan cepat
walaupun dia sendiri masih belum lancar berbicara. Kana harus ekstra hati-hati
karena Kyou sering lari dan tidak memperhatikan jalan. Karena itu juga Kana
jadi lebih memperhatikan Kyou daripadaku, biasanya kalau sudah seperti itu aku
akan pura-pura ngambek dan aku baru akan berhenti ngambek kalau Kana sudah
memberikan sesuatu padaku. Sesuatu yang aku maksud bukan benda tapi dalam
bentuk pelayanan dari Kana, hehe.
***
Tengah
malam merupakan waktu Kyou di beri ASI, biasanya Kyou rewel pada jam 12 malam. Karena Kana
sudah terbiasa, sering kali Kana yang bangun lebih dulu sebelum Kyou rewel. Tapi
tidak untuk hari ini, aku yang biasanya bangun karena tangisan Kyou atau di
bangunkan Kana, malah sekarang aku bangun duluan. Jam sudah menunjukkan pukul
01.30 tapi baik Kana maupun Kyou belum bangun juga, akhirnya aku pun
membangunkan Kana. Aku
merapatkan badanku ke sebelah Kana,
“Kana, saatnya Kyou mimi susu.” Bisikku di telinga Kana,
Kana hanya menggerakan matanya sesaat tapi kemudian dengkurnya kembali teratur.
“Kana, Kana” aku memegang pipi Kana yang lembut sambil menarik-narik pipinya.
Tapi Kana tidak bangun juga, dengan gemas kucium telinga dan leher Kana itu
salah satu dari beberapa trikku untuk membangunkan Kana. Kana menggeliat
kegelian, perlahan Kana pun terbangun dengan wajah memerah.
“Kenapa, Kaze?” tanyanya dengan nada ngantuk.
“Waktunya Kyou mimi susu, apa harus aku yang
mengambilnya?” godaku, wajah Kana memerah. Kana mengucek matanya perlahan,
kemudian dia berjalan menuju kasur Kyou.
“Mimi dulu ya Kyou,” kata Kana kepada Kyou, diangkatnya
Kyou perlahan, seperti sudah tahu akan di beri ASI, dengan cepat Kyou membuka
matanya. Kana pun menyusui Kyou sambil menimang-nimangnya. Setelah Kyou
kenyang, Kyou kembali tidur dengan pulas. Perlahan Kana menaruh Kyou di kasurnya
kemudian Kana berjalan menuju ranjang kami. Aku tersenyum-senyum melihat Kana
dan parasnya pun kembali memerah.
“Kaze juga mau?” kata Kana seperti tahu keinginanku,
“Tentu saja!” kataku bersemangat, Kana pun memelukku.
Biasanya yang menyenangkan justru terasa cepat kan? Tapi
tidak dengan hari ini aku merasa malam ini begitu menyenangkan tapi terasa
begitu lama.Aku ingin seperti ini terus... Setelah aku memadu kasih dengan
Kana, aku menyenderkan kepalaku di dadanya. Empuk dan nyaman itulah yang aku
rasakan.
“Kaze... Dingin... ” bisik Kana sambil membelai rambutku.
Aku membetulkan pakaian Kana kemudian aku naikkan selimutnya.
“Sudah?” Aku kembali menyenderkan kepalaku di dadanya
kemudian memeluknya.
“Sudah... Ayo kita tidur...”
***
Aku
membuka mataku dengan berat, kenapa aku jadi tidur menelungkup? Aku meraba
kasur di dibawahku. Kenapa ranjangnya menjadi keras dan dingin? Perlahan
kesadaranku mulai menyeruak, ternyata aku tidur di lantai. Tapi kenapa?
Bukankah seharusnya aku tidur di ranjang dengan Kana… Kana? Aku tersentak,
dimana Kana? Aku menoleh kesekelilingku, kamarku menjadi sangat berantakan
lantainya kotor, selimut yang jatuh ke lantai dan kaca pun pecah. Saat aku akan
berdiri, aku merasa punggungku terasa sangat sakit. Aku meraba punggungku dan
ternyata memang ada sesuatu yang menancap di punggungku. Aku pun menariknya, dan
itu adalah anak panah yang beracun. Apa yang terjadi? Aku melihat
kesekelilingku, dimana Kana? Dimana Kyou? Aku berusaha untuk berdiri, lalu aku
merasa kepalaku terasa sakit…
“Kaze!
Tidaaakk…!” Aku tersentak kaget, badanku menggigil. Akhirnya aku mengingat
kejadian malam tadi walaupun belum sepenuhnya. Sejenak aku melupakan rasa
sakitku. Aku membuka kamarku dan aku pun melihat apartemen yang biasanya rapi
ini menjadi sangat berantakan. Lalu aku melihat Sena yang sedang menyembuhkan
Kei dan Ken.
“Kalian…
Kenapa?” tanyaku kepada mereka,
“Aku
baik-baik saja.” Kata Sena sambil tersenyum, padahal aku yakin Sena sedang
terluka karena lengan dan punggungnya
penuh dengan darah. “Maaf aku tidak bisa menyelamatkan Kana, prajurit itu
pecundang semua, masa menyerang dari belakang!”
“Kak
Sena melakukan ini untuk melindungi kami juga…” kata Kei sambil menangis.
“Itu
salahku karena menyerang prajurit itu, kalau tidak Kak Sena tidak akan
terluka.” kata Ken menangis juga.
“Hei,
Aku sorcerer hebat bisa menyembuhkan diriku sendiri kok. Nah Kaze, tolong cari
Riku juga ya,”
“Jangan
memaksakan diri,” kataku.
“Kamu
juga.” Kata Sena dengan nada serius. Aku pun berlari keluar dari apartemen, aku
harap Kana belum pergi terlalu jauh. Kota yang indah indah kini berubah menjadi
sangat kotor, berantakan dan juga terdapat beberapa orang pingsan atau mungkin
sudah mati yang bergelimpangan di jalan. Lalu aku melihat Riku yang sedang berusaha berdiri dengan darah hampir di
sekujur tubuhnya. Aku pun mendekatinya dan membantunya untuk berdiri.
Beberapa orang dengan kasar membuka pintu kamar. Dengan
tidak sopan mereka merusak perabotan kamar. Aku berusaha meninju mereka karena
aku tidak akan sempat jika harus mengambil pedang dulu. Tiba-tiba kaca pecah
disusul dengan teriakan Kana. Saat aku akan melindungi Kana, aku merasa
punggungku di tusuk sesuatu. Kana di jambak rambutnya oleh salah satu dari
orang tersebut sehingga tanda healer di dahinya pun terlihat.
“Dia healer, bawa dia.” Kata orang itu. Aku berusaha
menarik badan Kana namun ternyata masih ada 1 orang lagi di belakangku, dia memukul
kepalaku sehingga aku terjatuh dari ranjang, namun aku tidak peduli, aku
berusaha menggapai badan Kana. Sungguh aku tidak ingin badan Kana di sentuh
oleh tangan-tangan prajurit yang kotor itu.
“Kaze!
Tidaaakk…!” pekik Kana, dan aku menyadari aku lengah. Sekali lagi kepalaku di
pukul oleh orang yang di belakangku, dan samar-samar aku melihat Kana di bius
oleh prajurit itu sebelum aku benar-benar pingsan.
Aku
meneteskan air mata, dan aku meremas rambutku. Aku ingat semua kejadian itu. Aku
ingin membunuh semua prajurit itu terutama Ketua Senu!!
***
Aku menyembuhkan luka Sena dan Riku dengan obat cadangan
kepunyaan Kana, walaupun bat itu hanya bisa menyembuhkan 70%. Saat aku
menyembuhkan dan setelah aku selesai menyembuhkan semuanya tidak ada satu pun
dari kami yang bicara. Bahkan Sena dan Ken yang biasanya cerewet kini seperti
kehabisan kata-kata untuk di ungkapkan. Aku sendiri tidak mampu berkata
apa-apa, aku masih belum bisa menahan kesedihanku karena kehilangan 2 orang
yang sangat aku sayangi. Ketika aku mengingat Kana dan Kyou,
mataku mulai berair kembali.
“Ayo
kita pergi ke Kota Mage,” kata Riku membuyarkan lamunanku, “Kita bisa mencari
bala bantuan dan yang pasti kita bisa meningkatkan kekuatan kita di sana.”
Lanjut Riku lagi. Dan kami semua setuju.
Dari
Kota Lagonda menuju Kota Mage membutuhkan waktu 3 hari dengan menggunakan mobil,
sebenarnya dekat hanya saja jalan menuju kota Mage sangat tidak bersahabat.
“Hei,
Kaze.” Kata Sena membuyarkan lamunanku. Memang sejak tidak ada Kana aku jadi
lebih banyak melamun.
“Ya?”
“Kenapa
tidak jadi mage atau healer atau sorcerer saja?” Tanya Sena polos, tapi pertanyaan
itu membuat aku dan terutama Riku kaget. Riku yang sedang mengemudi pun sampai
tidak fokus sehingga mobil menjadi membelok ke luar jalan.
“Apa
maksutmu bertanya seperti itu?” Tanya Riku sambil menggerutu.
“Kok
kamu yang sewot! Aku kan tanya Kaze! Dengar ya Kaze, kamu ga akan menyesal
menjadi salah satu dari itu karena dengan sihir juga akan memudahkanmu untuk
mencari Kana dan Kyou, aku pernah di ajari sihir “Search” tapi itu hanya bisa
di gunakan oleh orang yang kehilangan kepunyaannya yang berharga.“
“Sena
kamu tidak boleh berkata seperti itu, tidak sopan tahu.” Kata Riku.
“Apapun
akan aku lakukan untuk menemukan Kana dan Kyou, aku terima menjadi salah satu
dari itu.”
“Horeee!
Sekarang kita semua adalah penyihir!” Kata Sena bersorak, Kei dan Ken pun
ikut-ikutan. Riku hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu
akan mendapat beban lebih, Kaze”
“Tidak
apa-apa jika itu bisa menyelamatkan Kyou dan Kana.”
Untuk
hal itu aku mempersiapkan diriku dengan membaca buku yang dulu di beri Sony.
Untungnya masih kusimpan baik-baik. Aku membaca buku itu dengan lebih detail
lagi daripada sebelum pertama kali aku membacanya atau lebih tepatnya 2 tahun
lalu. Setelah aku sampai Kota Mage, aku pun sudah siap dengan keputusanku.
IX
Jika
tidak ada Riku, kita semua pasti tersesat untuk masuk ke Kota Mage. Bagaimana
tidak, Kota ini di penuhi oleh hutan dengan pohon yang besar dan tanahnya pun
akar semua di tambah pula dengan kabut tebal. Tapi ketika kami sampai di
dalamnya, sungguh Kota yang sangat menakjubkan. Kota Mage sangat besar dan
sangat indah. Disini jalannya di tutup dengan keramik, bangunan-bangunannya
sangat megah, dan tanaman-tanaman pun sangat lengkap dan indah. Andai saja Kana
ada di sini…
“Kukira
kita akan di periksa dulu, tapi sepertinya tidak ya?” Tanya Ken kepada Riku.
“Tidak
perlu, karena ada aku pasti semua beres.” Kata Riku dengan nada sombong, Ken
pun hanya memandangnya dengan sebal.
“Tenang
saja Ken, secara otomatis kita semua sudah di periksa saat kita sampai di hutan
tadi. Karena yang bukan mage hanya Kaze, aku yakin mereka tahu kalo Kaze orang
baik.” Kata Sena menjelaskan. Kei dan Ken menggangguk.
“Uh…
Rahasiaku terbongkar deh.” Kata Riku, Ken pun mengejek Riku. Sena dan Kei
tertawa, sedangkan aku hanya tersenyum simpul.
“Sebaiknya
kita cepat ke rumah Penyembuh,” kata Riku seperti tahu kalau aku sudah tidak
sabar.
“Rumah
Penyembuh?” Tanya Kei.
“Ya
di sana bukan hanya untuk menyembuhkan orang saja, tetapi juga untuk yang ingin
menjadi mage ataupun ingin merubah menjadi manusia biasa.” Kata Sena
menjelaskan.
“Kahu
tahu banyak.” Puji Riku.
“Tentu
saja, aku dulu kan sekolah di sini.”
Kami
semua berjalan menuju Rumah Penyembuhan, namun tiba-tiba Riku, Kei dan Ken
terdiam. Mereka semua melihat ke arah yang sama yaitu seorang wanita berambut
ikal yang di ikat kuda. Seperti tahu sedang di lihat, wanita itu tertegun
sesaat namun kemudian dia tersenyum dan mendekat ke arah kami, Riku terbengong
melihatnya sedangkan Kei dan Ken meneteskan air mata.
Lalu
Kei dan Ken pun lari ke arah gadis itu,
“Mama!!”
Teriak mereka berbarengan. Aku dan Sena terkejut tapi yang lebih terkejut
adalah Riku, Riku mematung dengan mulut sedikit terbuka. Gadis itu memeluk Kei
dan Ken penuh haru, sambil masih memeluk Kei dan Ken, gadis itu melihat ke arah
Riku,
“Riku
Feng, kaukah itu?” Tanya gadis itu hati-hati. Riku mengejang, tapi kemudian dia
menundukan kepalanya.
“Catherine…”
Kata Riku tersendat.
Kami
memutuskan untuk pergi ke rumah makan dulu untuk mengobrol. Aku tidak menolak,
karena aku sendiri penasaran dengan gadis yang bernama Catherine. Benarkah itu
wanita yang dulu di sukai Riku lalu meninggal? Apakah itu berarti sihir
penghidup Riku berhasil sehingga Catherine hidup kembali?
“Sepertinya
aku memang hidup kembali.” Kata Catherine sambil tersenyum setelah menjawab
pertanyaan Riku yang pertanyaannya hampir sama dengan apa yang ada di
pikiranku. “Ketika sadar aku sudah ada di desa terpencil. Penduduk itu
merawatku dengan baik sehingga aku bisa ke Kota Mage.”
“Jadi
Kei dan Ken adalah anakmu dengan Ovan?” Tanya Riku tersendat dan raut wajahnya
pun sedikit keruh walaupun dia berusaha menutupi.
“Iya…
Mereka mirip aku kan?” tanya Catherine.
“Aku
tidak berpikir sejauh itu,” kata Riku tersenyum pedih.
“um...Bagaimana
denganmu Riku? Sena sangat manis ya, apakah kalian sudah pacaran?” Kata
Catherine mengalihkan pembicaraan, aku yakin dia tahu perasaan Riku jika
membicarakan mantan suami Catherine.
“Kata
siapa kita pacaran,” kata Riku mendahului Sena untuk protes.
“Aku
juga tidak mau sama orang kuno kayak dia kok,” kata Sena mengejek
Riku,”Catherine kan lebih cocok dengan om Feng, ya kan?” goda Sena, walaupun
begitu nada bicaranya tetap menyiratkan kepedihan, aku yakin Sena sendiri
menyukai Riku tapi bukan Sena namanya jika tidak mengejek Riku. Mendengar hal
itu Riku pun menjewer telinga Sena, Sena pun mengaduh. Catherine tersenyum
melihat kelakuan mereka.
“Bagaimana
denganmu Kaze? Punya pacar?”
“Aku
sudah mempunyai istri dan satu anak.” Kataku singkat.
“Tidak
membawanya untuk ke sini?” Tanya Catherine. Pertanyaan yang wajar, namun
membuatku pedih. “Maaf aku salah bicara ya…“ kata Catherine seperti memahami
perasaanku.
“Tidak
apa, aku ke sini karena untuk menyelamatkan mereka berdua. Mungkin dengan aku
menjadi mage akan mempermudahkanku.”
“Aku
bisa membantu,” kata Catherine, “Ayo kita pergi ke Rumah Penyembuh.”
***
Rumah
Penyembuh atau biasa disebut rumah sakit merupakan bangunan yang sangat megah
seperti hotel. Perawat dan dokter sangat ramah di sana tapi tidak di bagian
Pengubah. Yang menjaga adalah seorang kakek yang bukan main jutek wajahnya.
Mungkin karena jarang ada yang mau mengubah sehingga gajinya kecil. Karena ada
Riku, proses administrasi pun lebih mudah dan tidak di bonusi dengan wajah
masam perawat-perawatnya.
“Jadi
kamu yang ingin menjadi mage?” Tanya dokter kakek itu.
“Iya,”
jawabku singkat.
“Kamu
tidak bisa menjadi mage, untuk saat ini” aku tersentak kaget mendengar
perkataannya.
“Kenapa?”
Tanyaku,
“Mengubah
itu membutuhkan waktu yang lama. Fisik dan mental harus kuat. Dan sayangnya
kamu…” Dokter itu memandangku dengan tajam, “Kamu sedang banyak pikiran, akan
repot nantinya jika sekarang kamu melakukannya.”
“Tapi
aku tidak punya banyak waktu!” kataku jengah.
“Dokter,
gunakan saja sihir hypno,” kata Riku.
Dokter itu memandang Riku lalu dia mengangkat bahu.
“Kamu
memang pantas mendapat gelar Warlock terbaik.” Puji dokter itu.
***
Sena
melihat ke sungai yang airnya sangat jernih, dia pun melihat refleksi wajahnya
yang terpantul di dalam air tersebut. Kenapa wajahnya begitu sedih? Padahal
Sena sudah tidak kesepian lagi, dia sudah mendapat teman-teman yang baik hati
yang selalu menemaninya di saat senang maupun susah. Teman-temannya yang dulu
hanyalah rekan kerja, mereka kerja karena ingin mendapat uang. Mereka tidak bisa
di ajak berbagi tidak seperti teman-teman Sena sekarang, tapi kenapa aku sedih?
Pikir Sena. Atau karena Sena tidak punya pacar? 4 tahun lalu Sena lah yang
memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan lebih memikirkan karirnya. Padahal
Sena sekarang masih lebih memilih jomblo daripada berhubungan dengan pria.
Pacarnya yang dulu sangat crewet, tidak suka jika Sena bekerja terus. Padahal
mau makan apa jika Sena tidak bekerja? Sena sendiri hidup sebatang kara. Tapi
ketika Sena bertemu Riku… Riku sangat berbeda dengan pacar lamanya, berbanding
180o . Riku sangat cuek dan sering mengejek Riku tidak seperti
pacarnya yang selalu memuji Sena walaupun over protective. Namun Catherine…
Sebenarnya Sena ingat pernah di ceritakan oleh Riku tentang Catherine. Orang
yaqng di sukai Riku sudah mati, wajar jika Sena tetap mendekati Riku. Tapi
ketika Catherine datang… Masih cintakah Riku pada Catherine? Sena merasa
hatinya sakit sekali. Riku pernah bercerita ke Sena bahwa dia pernah
menghidupkan Catherine kembali tapi Riku tidak tahu apakah Riku berhasil atau
tidak. Dan tidak salah kan jika Catherine ternyata hidup? Kalau begini jadinya
aku tidak akan mendekati Riku… Pikir Sena dengan wajah muram. Tiba-tiba Sena
merasa rambutnya yang di kucir 2 terasa di tarik dari belakang, Sena menoleh
kebelakang ternayata yang menariknya adalah Kei dan Ken.
“Kok
ngelamun?” Tanya Ken dengan ceria,
“Udah
puas ketemu mama?” Tanya Sena mengalihkan pembicaraan.
“Mama
sibuk membantu Kak Kaze, Kak Riku juga. Kami juga tidak boleh melihat Kak Kaze
yang mau di rubah, jadinya kita pergi saja,” kata Kei. Jadi Chaterine dan Riku
di sana… Pikir Sena dalam hati,
“Ngelamun
lagi,” kata Ken sambil menarik rambut Sena.
“Aduh
sakit!” Sena mengaduh lalu mencubit Ken, Ken pun tertawa, “Seharusnya kalian
jahili papa baru kalian,” kata Sena.
“”Papa
baru siapa?” Tanya Ken dan Kei berbarengan.
“Tentu
saja Riku!” kata Sena, Kei dan Ken saling berpandangan, beberapa detik kemudian
mereka tertawa.
“Riku
jadi…? Ha Ha Ha… Riku ga cocok sama mama!” kata Ken sambil masih tertawa,
“Kalau
Kak Riku jadi papa, kami mungkin takkan mengganggapnya begitu, “ kata Kei
sambil menahan tawa. Sena pun tersenyum simpul.
“Jadi
menurut kalian mama mu tak cocok dengan Riku?” Tanya Sena agak pelan supaya
tidak terdengar.
Aku
dan Kana melihat Riku, Sena, Kei, Ken dan Kyou. Lalu aku dan Kana bersama-sama
membunggkukkan badan,
“Sekarang
sudah saatnya…” Kata Kana lirih, Segera kupeluk Kyou terlebih dahulu kemudian
kucium dahi dan pipinya begitu juga Kana. Tiba-tiba Kyou mencium pipi kami
juga, aku dan Kana pun tersenyum bahagia. Lalu kuturunkan Kyou, aku melambaikan
tanganku pada semuanya kemudian aku dan Kana berbalik kugandeng tangan Kana dengan lembut. Kulihat
semuanya sedih dan menitikkan air mata kecuali Riku.
“Kak
Riku lebih pantas dengan Kak Sena,” kata Kei lalu tersenyum. Sena senang sekali
mendengarnya walaupun pendapat anak kecil memang tidak cocok untuk acuan namun
Sena seperti mendapat semangat baru.
***
Hembusan
angin membuat daun-daun menari, aku merasa rambutku yang pendek ini juga
menyambut hembusan angin tersebut. Tapi bukan hanya hembusan angin yang aku
rasakan, aku merasa ada seseorang menyentuh pipiku. Tangannya yang lembut
menyentuh kulit pipiku dengan lembut. Aku sudah tidak asing dengan sentuhan
yang membuatku selalu ketagihan ini dan selalu membuatku rindu. Aku membuka
mataku, dan kulihat Kana tersenyum di sebelahku.
“Kana…?”
kataku lirih, tanpa sadar air mata menyembul dari mataku. Dengan bernafsu aku
memeluk Kana. Kana memekik kaget karena aku memelukknya terlalu keras.
“Kaze…”
Suaranya yang lembut, sudah berapa lama aku tidak mendengar suaranya. Dan aku
tidak bisa menahan air mataku lagi, aku terisak sambil memeluk Kana, kuciumi
rambut, leher dan telinga Kana.
“Geli ah!” kata Kana sambil menarik rambutku.
“Jangan menolak,” kataku sambil cemberut.
“Tapi ada seorang lagi yang mau menemuimu.” Aku memandang Kana dengan heran. Sambil
tersenyum dia menunjukkan sesuatu di sebelahku, aku pun menoleh dan satu lagi
kejutan aku melihat Kyou berdiri di sebelahku.
“Papa.” Katanya sambil tersenyum. Aku pun memeluk Kyou
lalu menggendong dan mencium pipinya yang montok. Sudah lama sekali aku tidak
menggendongnya, dulu aku memang jarang sekali untuk memanjakkan Kyou. Karena
Kyou anak laki-laki, anak laki-laki tidak boleh manja. Tapi untuk sekarang ini
aku merasa sangat rindu padanya. Aku melihat Kyou yang sedang melihatku juga,
matanya mirip dengan Kana. Begitu juga dengan warna rambutnya yang hitam pekat.
Tapi
banyak yang mengatakan kalau
Kyou itu mirip denganku, padahal dia juga mirip Kana menurutku.
Waktu
berjalan cepat, setelah lelah mengobrol Kyou tidur di tengah-tengah aku dan
Kana. Aku membelai rambut Kyou perlahan.
“Kaze
juga mau tidur?” Tanya Kana. Aku menggeleng pelan.
“Aku
takut jika tidur kamu dan Kyou akan pergi…” kataku, lalu Kana memegang tanganku
dengan lembut dan kami saling berpandangan.
“Kita
tidak bisa di sini terus,“
“Apakah
ini hanya mimpi?” kataku sedih.
“Bisa
di bilang seperti itu, tapi ini adalah mimpi yang salin terhubung. Aku yakin
ada seorang yang mengeluarkan sihir ini untuk kita.”
“Iya
kau benar,tapi apakah kita bisa terhubug seperti ini terus?”
“Mungkin
akan susah. Membutuhkan energy yang banyak karena ini sihir tingkat tinggi.”
“Kalau
begitu, aku harus cepat kembali untuk menyelamatkanmu.” Kana memelukku, lalu aku mencium bibirnya
dengan lembut cukup lama dan itu membuatku mengantuk.
“Aku
sayang kamu, semoga kita bisa bertemu lagi…”
Aku
membuka mataku, kulihat di sana ada Riku, Catherine dan kakek tua itu. Jadi
sekarang aku kembali lagi di sini,
“Bagaimana?
Apa saja yang kamu lakukan dengan Kana?” Tanya Riku lalu dia tetawa.
“Tidak
banyak yang bisa ku lakukan, soalnya Kyou juga ada.” Aku dan Riku pun tertawa.
Sudah lama rasanya aku tidak tertawa.
“Nah
kalau sudah bisa tertawa seperti itu, ayo kita segera lakukan pengubahnya.”
Kemudian
aku di suruh duduk di lantai tepat di tengah gambar lingkaran yag ada di
lantai. Kakek tua itu duduk agak jauh denganku namun tepat di depanku.
Catherine dan Riku duduk di lantai juga namun berjauhan juga. Dilihat-lihat
mereka duduk seperti itu menjadi seperti bentuk segitiga.
“Ayo
kita mulai,” kata kakek itu.
“Lalu
apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu diam saja,pejamkan matamu.” Kata
Catherine. Aku pun memejamkan mataku. Aku mendengar kakek itu mengatakan
sesuatu yang tidak jelas. Mungkin itu mantranya, kemudian Catherine dan Riku
pun juga membacakan mantra tersebut. Entah kenapa walaupun aku memejamkan mata,
aku merasa ada cahaya yang tetap masuk ke mataku. Cahaya putih kekuningan yang
menyilaukan. Mantra yang di ucapkan mereka bertiga semakin keras. Tiba-tiba aku
merasa ada suara ledakan yang sangat dekat denganku. Tidak behitu keras namun
membuatku kaget dan akhirnya aku pun membuka mataku. Aku melihat Kakek tua itu
berkeringat, sedangkan Catherine menundukan kepalanya dengan lemas dan Riku
membersihkan keringatnya sambil memandangku dengan heran.
“Apa aku sudah jadi mage?” Riku berjalan
mendekatiku kemudian dia duduk di sebelahku lalu menjambak rambut depanku lalu
telunjuknya di tempelkannya pada dahiku. “Apa yang kamu…”
“Dasar kamu memang bodoh ya, apa kamu
tidak tahu kalau kamu adalah keturunan mage?” mendengar kata Riku sontak saja
membuatku kaget.
“Ha? Aku sudah mage?”
“Kamu adalah keturunan mage entah ibu
atau ayahmu tapi kemudian orang tua mu menyegel kekuatan itu sehingga tidak
bisa di gunakan lagi.” Kata Riku.
“Bukan mage, tapi mungkin Warlock atau
Sorcerer atau Cardinal. Yang bisa menyegel kekuatan hanyalah penyihir kelas
atas.” Kata Catherine.
“Aku tidak tahu… Ibu tidak pernah
mengatakannya…” kataku lalu menunduk. “Jadi apa aku bisa membuka segel itu?”
“Tenang saja aku akan membantu” jawab
Catherine sambil tersenyum. Kemudian dia melirik kea rah Riku yang juga
tersenyum ke arahku sambil mengangkat bahu.
“Jadi aku tidak di butuhkan lagi?” Tanya
kakek tua itu.
“Masih-masih…” jawab Riku Riku sambil
mengagguk.
Untuk membuka segel ini Riku, Catherine
dan Kakek tidak perlu duduk dengan cara seperti tadi. Aku hanya di suruh
berdiri berhadapan dengan kakek itu sambil membaca sebuah mantra. Aku tidak
perlu menghapal, karena aku di pinjami buku yang sudah tertulis mantra di
dalamnya.
“Pelan-pelan saja,” kata Kakek itu.
Setelah semua persiapan selelsai, aku mulai membaca mantra itu. Tulisannya
jelas namun susah untuk di baca. Saat aku sudah membaca seperempat halaman, aku
merasa ada cahaya tipis yang menyelimuti badanku, rasanya hangat. Ketika aku
membaca setengah halaman cahaya itu semakin besar dan semakin panas. Aku
mencoba untuk terus membaca mantranya, sedikit lagi… sedikit lagi selesai…
***
“Kamu
tahu, setelah Rez pulang sendirian dari tugasnya dia jadi agak gila ya?”
Truk
bergerak di jalan yang berbatuan sehingga membuat getaran yang keras. Beberapa
roti yang di tumpuk di dalam truk pun terjatuh, salah satu roti terjatuh di
kepala Kyou dan itu membuatnya terbangun. Dengan masih mengantuk dia mengambil
benda yang ada di atas dahinya.
“Mam,”
kata Kyou. Lalu dia mencoba memakan roti itu tapi tidak bisa di makannya, tentu
saja karena masih ada plastik di luarnya. Kyou berusaha menggigit plastiknya
tapi tidak bisa karena dia belum punya gigi. Tanpa putus asa dia menarik-narik
plastik itu hinya robek. Kyou pun mencium di dalamnya berbau wangi. Dengan
bersemangat dia membuka plastiknya lebih lebar lalu memakan roti yang di
dalamnya dengan pelan karena dia harus melumatkan rotinya terlebih dahulu di
mulut hingga halus. Kyou melihat-lihat benda yang sama di setiap sisinya tapi
bukan hanya roti. Di sana pun ada banyak botol minum yang menumpuk di sebelah
roti. Kyou mencoba mengambil satu, tinggi botol itu hampir setengah dari
tingginya, kemudian Kyou mengamati botol tersebut. Dia teringat dulu ayahnya
pernah membuka botol yang seperti ini dengan cara di putar tutupnya. Kyou
memberdirikan botol tersebut lalu dengan kedua tangannya dia membuka tutup
botol itu. Tutupnya pun terbuka, Kyou merasa senang. Langsung saja Kyou meminum
air di dalam botol tersebut. Truk bergoyang sedikit karena jalanan tidak rata
dan itu membuat air yang di minum Kyou sedikit tumpah mengenai bajunya tapi
Kyou tidak peduli. Setelah meminum seperempat air dari botol tersebut, dia
merasa kangen dengan susu ibunya. Tapi Kyou tahu, dia tidak mungkin bisa
mendapatkannya sekarang. Ibunya pergi, di tarik orang. Ayahnya yang biasanya
kuat pun tidak berdaya menolong ibunya. Ayah di dorong lalu di pukul kepalanya,
lalu ibu di tarik orang. Kyou berusaha mengikuti ibunya tapi langkah lelaki itu
sangat cepat. Ibu di dorong ke sebuah truk lalu truk itu berjalan. Kyou tidak
sempat untuk masuk karena itu Kyou masuk ke truk yang ada di belakangnya dan
tanpa sadar Kyou tertidur. Tapi tadi Kyou melihat ayah dan ibunya di sisinya,
di suatu tempat yang bewarna putih, mereka berpelukan lalu mengobrol. Kyou
ingin mendengar semua obrolannya tapi Kyou tidak kuat dengan kantuknya lalu
Kyou tidur ditengah antara ibu dan ayahnya, setelah bangun Kyou pun kembali di
truk ini. Yang ada di pikiran Kyou sekarang adalah memukul orang yang menyeret
ibunya kemudian membawa ibunya pulang. Kyou melihat ke arah roti tadi. Apakah
ibu dan ayah sekarang lapar? Pikir Kyou. Lalu dia mengambil sebuah plastik
hitam yang tidak terpakai kemudian memasukkan dua roti ke dalamnya. Tiba-tiba
truk yang di tumpangi Kyou berhenti. Kyou melihat ke jendela truk, di sana
hanya ada banyak pohon. Lalu Kyou keluar dari truk dan mencari truk yang di
naiki ibunya. Kyou pun tertegun ketika melihat di sana ternyata ada gua yang
sangat besar, lalu Kyou tersadar dia harus cepat ke truk yang di naiki ibu.
Kyou masih ingat sekali truk itu lalu dia langsung melompat masuk ke dalamnya.
Sayang truk itu sudah kosong, Kyou merasa kecewa. Lalu dia turun dari truk dan
melihat gua itu lagi. Mungkin ibu di sana... Tanpa berpikir panjang Kyou masuk
ke gua tersebut. Namun tiba-tiba ada tongkat yang menghalangi jalannya.
“He…
Anak kecil?” kata seorang prajurit yang menjaga gua tersebut. “Kenapa ada anak
kecil di sini?”
“Mungkin
dia tahanan yang tertinggal?” kata Prajurit yang di sebelahnya.
“Adek
sedang apa di sini?” Tanya prajurit itu ke Kyou.
“Ibu…”
kata Kyou dengan wajah sedih sambil memegang erat plastik yang berisi roti itu.
“Mengharukan
sekali, ada anak yang mencari makan untuk ibunya.” Kata prajurit yang di
sebelahnya sambil menangis haru. Tiba-tiba terdengar bunyi pedang tertancap
dengan keras dan itu membuat Kyou dan prajurit-prajurit konyol itu kaget.
“Hei
sedang apa kalian?! Cepat kerja!” kata Rez dengan marah.
“Baik,
pak.” Kata Prajurit itu berbarengan.Setelah Rez, kedua prajurit itu bisa
bernafas lega.
“Bukan hanya gila, pekerjaan bawahannya yang
baik dan benar pun semua di marahi! Dia sangat galak dan gila, benar gak dek?”
Tanya Prajurit itu kepada Kyou tapi Kyou sudah pergi…
Kyou
terus berlari memasuki gua yang panjang itu, bukan hanya panjang, gua itu juga
gelap. Tapi kemudian Kyou melihat ada pintu yang bercahaya. Kyou terus berlari
sambil berharap untuk segera bertemu ibunya. Tapi setelah Kyou berada di dalam
pintu itu harapannya ternyata tidak terkabul karena di sana tidak ada ibunya.
Semua yang ada di tempat itu berpakaian sama dengan orang yang tadi di temuinya
di depan gua. Beberapa orang yang sibuk di dalam ruangan tersebut terkejut
dengan kedatangan Kyou.
“Ada
anak kecil di sini!”
“Tangkap
saja.”
Prajurit-prajurit
itu datang mendekati Kyou untuk menangkapnya. Sebenarnya Kyou merasa takut di
kelilingi orang-orang yang menyeramkan itu. Tapi Kyou berusaha berani, dia
teringat kata-kata ayahnya yang selalu mengatakan agar Kyou berani, lalu cahaya
kecil muncul di dahi Kyou…
***
X
01Aku
membuka mataku, badanku masih terasa panas walaupun sudah tidak sepanas tadi
walaupun begitu aku merasa badanku ini terasa lebih ringan daripada biasanya.
Aku melihat kakek itu di bantu berdiri oleh Catherine dan Riku.
“Sekarang
kekuatanmu sudah terbuka…” kata Kakek letih,
“Kakek
baik-baik saja?,” tanyaku.
“Jangan
pedulikan aku, coba kamu gunakan sihirmu di lantai ini. Pikirkan sihir apa
saja. Gunakan tanganmu untuk mengelurakannya” Aku melihat lantai yang ada di
bawahku lalu aku buka telapak tanganku dan… Wuss… Keluar api kecil dari jariku
yang kemudian api itu turun ke lantai.
“Hebat
Kaze, walaupun belum terlalu hebat.” Kata Riku.
“Hebatnya
Warlock tidak perlu menghafal mantra yang panjang, cukup membayangkan saja
sudah keluar sihirnya.” Kata Catherine.
“Tapi
bukankah Riku sendiri Sorcerer? Kenapa Riku masih suka membaca mantra?”
tanyaku.
“Itu
karena aku sudah terbiasa membaca mantra. Jujur saja aku malah tidak bisa
mengeluarkan sihir jika hanya membayangkan saja.” Jawab Riku. Lalu Catherine
mendekatiku kemudian memberikan sebuah cermin kecil. “Mau lihat tanda yang ada
di dahimu?” Aku mengambil cermin itu kemudian melihat dahiku. Aku terpana
melihatnya, tanda ini berbeda dengan milik Kana. Jika Kana berbentuk +, aku
berbentuk x walaupun warnanya sama, bewarna
perak. Aku memegang tanda di dahiku. Kana… Aku pasti akan menyelamatkanmu…
“Nah,
satu lagi hadiah untukmu.” Kakek itu melemparkan sesuatu kepadaku dan aku pun
menangkapnya, sebuah tongkat tapi juga seperti panah. “Dengan itu kamu bisa
menggunkan sihir dengan tepat sasaran, oh iya tapi jika menggunakan panahnya
kamu harus memakai ini.” Kakek itu melemparkan 1 ikat anak panah ke arahku dan
aku menangkapnya lagi.
“Terima
kasih banyak, aku tidak tahu harus membalas apa…”
“Bunuh
saja orang yang menculik healer. Itu saja cukup.”
“Baik,
sekali lagi terima kasih…” Kataku sambil menundukkan kepalaku. Lalu aku menoleh
ke arah Riku. “Sebaiknya kita cepat pergi,”
“Akan
aku panggil Sena, Kei dan Ken.” Kata Riku.
“Aku
juga ikut,” kata Catherine setelah Riku pergi memanggil yang lainnya.
“Apakah
kamu akan mengingat masa indahmu dengan Riku?” kataku sedikit menggoda.
Catherine menggeleng.
“Tidak… Aku hanya ingin membantumu dan juga
melindungi anak-anakku. Lagipula, gadis itu lebih pantas untuk Riku.” Kata
Catherine lalu tersenyum.
“Maksudmu
Sena?” Catherine hanya tersenyum lalu dia memandang langit-langit.
Setelah
semua berkumpul, Kakek itu memberikanku bantuan lagi yaitu memberikan kami
sebuah jubah anti sihir bukan hanya itu, kakek itu juga akan mengantarkan kami
semua langsung ke tempat Kana berada dengan sihirnya. Dan dalam sekejap kami
semua sampai di sebuah hutan yang lebat.
***
Tak
jauh dari hutan ini aku melihat ada sebuah gua dengan tebing di atasnya. Aku
merasa curiga dengan tempat itu, akhirnya kami memutuskan untuk ke sana. Sena
berjalan paling belakang di antara kami, padahal sudah beberapa kali Catherine
mengajaknya untuk berjalan bersama tapi ujung-ujungnya Sena berjalan paling
akhir lagi. Dari raut wajahnya terlihat sedih, mungkin karena Riku lebih banyak
berbincang dengan Catherine daripada dengan Sena. Sebenarnya perbincangan Riku
juga wajar saja, tidak mesra dan Riku juga hanya sebentar berbicang dengan
Catherine, aku pikir Sena terlalu cemburu atau mungkin dia sebenarnya sedang
memikirkan hal yang lain. Untungnya Ken selalu di sebelah Sena, dia seperti
ingin menghibur Sena. Sedangkan Kei lebih sering di sebelahku daripada dengan
ibunya walaupun seringkali Kei tertinggal karena langkahku yang panjang dan
cepat dia selalu berusaha di sebelahku. Aku sendiri sedang tidak dalam mood
yang bagus. Kenapa kakek itu tidak langsung mengirimkan kami ke tepat Kana
berada tanpa harus berjalan seperti ini?
Tapi seharusnya aku berterima kasih karena bagaimanapun juga ini sudah
dekat dengan tempat Kana. Kenapa aku jadi kesal begini ya? Apa karena sekarang
aku menjadi warlock? Aku menghela nafas panjang.
Akhirnya
kami sampai di luar hutan dan di sana aku melihat puluhan prajurit gegana.
Dengan terkejut mereka melihat ke arah kami.
“Siapa
kalian?!” Bentak salah satu prajurit itu. Saat aku akan menjawabnya tiba-tiba
ada seseorang dengan cepat berlari ke depan prajurit itu, ternayata itu Sena.
“Hei,
apa kalian mengenaliku?” Kata Sena sambil mengedipkan sebelah matanya.
Prajurit-prajurit itu pun terpana, mereka saling berbisik satu sama lain.
“
Bukankah itu Sena penyanyi yang terkenal itu?” kata salah satu dari prajurit
itu.
“Senang
rasanya kalian mengenaliku, untuk ucapan terima kasih aku akan menyanyikan lagu
untuk kalian.” Sena mengeluarkan mics-nya dan dia mulai bernyanyi. Lalu ketika
nada lagu mulai cepat, Sena berpose dengan tangan kanan memegang mic dekat
dengan mulutnya dan tangan kirinya di angkat sambil memegang mic yang satunya lalu munculah petir yang
menyambar ke semua prajurit itu. Lalu dengan cukup gesit Sena mulai memukul,
menendang dan mencekik prajurit itu satu persatu. Aku mulai mengeluarkan
pedangku dari sarungnya tapi Sena mencegah.
“Jangan!
Biar aku saja yang menghabisi mereka. Aku yakin di dalam sana masih banyak
prajurit lain. Jadi simpan dulu kekuatan kalian.” Kata Sena. Karena Sena
berkata seperti itu, aku kembali memasukkan pedangku ke sarung.
“Tapi
jika kami membantu akan lebih cepat!” sanggah Riku. Sena pun tersenyum.
“Sebaiknya
kalian cepat masuk saja. Jangan remehkan aku.” Tanpa basa-basi aku berlari
untuk masuk ke gua tapi tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mendekat
dengan refleksku aku menangkis serangan itu dengan Staffbow-ku. Ternyata yang
menyerangku adalah… Rez?
“Kamu
masih cepat seperti dulu, Kaze.” Kata Rez dengan senyum liciknya. Penampilan
dia sangat berantakan, rambutnya acak-acakan dan wajahnya pun kotor. Padahal
aku tahu sekali dulu dia adalah prajurit yang paling bersih di Gegana.
“Senang
melihatmu masih hidup.” Kataku cuek.
“Senang?
Senang?!! Apa kamu tidak ingat dengan kelakuan temanmu yang mau membunuhku?!”
Teriak Rez seperti orang gila. Kamu memang pantas mendapatkannya… kataku dalam
hati dan aku merasa muak ketika aku mengingat kejadian itu saat Rez menyentuh
Kana… Aku menggenggam tanganku dengan gemas.
“Sepertinya
racunnya hanya mengenai otakmu bukan jantungmu. Nah kenapa aku tidak sekalian
saja membunuhmu?” Kata Riku lalu dia mengeluarkan sabit dari kain yang
membungkusnya dan langsung menyerang Rez. Tapi Rez berhasil menangkis
serangannya.
“Menarik,
menarik sekali! Aku siap meladenimu dan kalian semua. Hei prajurit bodoh!
Bangun! Dan tangkap mereka!” Para prajurit yang sudah loyo karena serangan Sena
dengan sigap langsung berdiri.
“Biar
aku saja yang bertarung melawan orang gila itu.” Kata Riku sambil menepuk
bahuku lalu tersenyum.
“Apa?
Aku juga harus bertarung dengannya. Aku masih kesal saat dia menyentuh Kana!”
“Nah,
kenapa tidak kalian berdua saja yang bertarung dengannya? Biar prajurit ini
yang kami lawan.” Kata Catherine menengahi lalu dengan sihirnya dari tangan
Catherine muncul cahaya dan air bah pun muncul. Aku dan Riku mengangguk lalu
kami langsung menyerang Rez bersama-sama.
“Wow!
Kalian berdua curang ya. Baiklah kalau begitu, aku juga akan mengkeroyok
kalian!” Tiba-tiba muncul 5 orang prajurit yang langsung menyerang kami. Aku
melawan mereka dengan pedangku. Aku melakukan kombinasi dengan Riku yaitu aku
menyerang mereka dalam jarak dekat dan Riku dengan sihir jaraj jauhnya. 2
prajurit berhasil kami singkirkan, lalu Riku mulai melafalkan mantra dan duri
yang bercahaya hitam keunguan mulai bermunculan dari tangan Riku. Dengan lihai
Rez menghindar serangan itu sehingga hanya prajuritnya saja yang terkena sihir
duri tersebut.
“Serangan
yang sama tidak akan mempan kepadaku!” Teriak Rez dengan bangga. Tapi aku dan
Riku tersenyum, Rez yang masih bangga akan dirinya sambil tertawa tidak
menyadari bahwa aku mulai mendekat ke arahnya. Ketika Rez sudah puas dengan
tawanya sudah terlambat bagi dia untuk menghindar karena aku sudah di
sampingnya sambil menempelkan pedangku di lehernya.
“Fire”. Kataku lalu dari pedangku muncul
api dan langsung menyambar Rez. Rez langsung lari tunggang langgang dan
berguling-guling di tanah untuk menghilangkan api-ku. Setelah apinya hilang dia
udah kehilangan banyak tenaganya namun dia berusaha untuk tetap berdiri. Aku
memasukkan pedangku ke sarung dan aku bersiap menyerangnya dengan panahku.
Dengan terengah-engah Rez menatapku dengan nanar.
“Jadi
sekarang ketua Gegana adalah mage… oh bukan maksutku mantan ketua Gegana.” Kata
dia tersenyum sinis, aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Memang
aku adalah mantan ketua Gegana tapi aku bukan kamu yang menggunakan bawahan
untuk tameng hidup. Nah selamat tinggal…” Aku melepaskan anak panah dan Cras…!
Anak panah tertancap ke prajurit yang di sebelah Rez tepat pada saat Riku
menancapkan kuku tangan monsternya ke punggung Rez. Rez dan prajuritnya pun
ambruk. Aku dan Riku saling tersenyum.
“Kenapa
kamu jarang memakai tanganmu itu?” tanyaku.
“Capek
tau, lagipula jarak serangnya pendek. Nah, mana ucapan terima kasih mu?” Kata
Riku lalu menggunakan sarung tangannya kembali.
“Terima
kasih, tapi kita harus memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau
belum.” Aku dan Riku pun tertawa. Lalu Sena, Catherine, Kei dan Ken mendekati
kami. Mereka juga sudah mengalahkan prajurit-prajurit lainnya.
“Ayo
kita masuk!” seru Kei dan Ken. Dan kami pun segera memasuki gua yang sudah di
depan kami.
Kami
pun berjalan menyusuri lorong yang cukup panjang dan di ujungnya ada pintu. Aku
melihat pintu itu sudah terbuka, saat aku melihat ke dalamnya ternayata di
dalamnya penuh dengan mayat prajurit. Mereka semua … ratusan prajurit yang ada
di ruangan ini mati… Siapa yang melakukannya? Tiba-tiba aku mendengar suara
yang tak asing bagiku…itu…
“Ayah!”
suara itu… Aku melihat ke segala sudut ruangan dan mataku tertuju pada anak
kecil yang berdiri dengan gagahnya di tengah mayat-mayat tersebut.
“Kyou…”
Kataku rindu, aku segera berlari dan memeluk anak semata wayangku. Kyou
menangis di pelukanku, aku membelai rambutnya dan menciumnya. Entah sudah
berapa lama aku tidak memeluk Kyou, dulu aku tidak pernah memanjakan Kyou
dengan alasan karena Kyou anak laki-laki tidak boleh manja dan harus kuat. Tapi
ketika berpisah cukup lama aku merasa menyesal dulu tidak memanjakannya… “Kyou…
Apa kamu terluka?” tanyaku, Kyou hanya menggeleng. “Apa kamu yang mengalahkan
mereka?” Kyou mengannguk. Lalu Kyou mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik
lusuh yang ia bawa dengan erat. Ketika Kyou memperlihatkan isinya awalnya aku
merasa heran.“Roti?”
“Untuk
ayah.” Kata Kyou polos, aku terharu sekali mendengarnya, kubelai rambutnya
dengan rambut lalu tanpa sadar samar-samar aku melihat tanda di dahi Kyou. Dan
tanda itu tanda mage bukan tanda healer! Aku tersenyum lalu aku menepuk bahu
Kyou.
“Ayo
kita selamatkan ibumu, Kyou!” kataku semangat. Kyou pun mengangguk dengan
semangat juga. Lalu kami pun segera memasuki pintu selanjutnya.
Di
pintu ini para prajurit sudah siap menunggu kami, tapi prajurit ini bukan
prajurit manusia melainkan prajurit mesin dan jumlahnya lebih banyak dari
prajurit-prajurit yang di bunuh Kyou.
“Sebaiknya
kalian duluan saja, biar aku habisi mereka.” Kata Sena.
“Sena…”
kata Riku cemas.
“Tenang
saja aku akan membantu.” Kata Catherine sambil menepuk bahu Sena.
“Aku
sendiri bisa kok!” Kata Sena menyanggah.
“Jangan
begitu, mungkin senjata buatanku bisa membantumu.”
“Mama
paling pintar membuat senjata loh Kak Sena!” kata Ken bersemangat.
“Mama
aku mau lihat senjatanya,” kata Kei.
“Lihatnya
nanti ya, sebaiknya kalian cepat ke pintu selanjutnya.” Kata Catherine.
“Terima
kasih.” Kataku kepada Sena dan Catherine, lalu aku menggendong Kyou dan segera
berlari ke pintu selanjutnya dengan tangan kiriku menggendong Kyou dan tangan
kiriku memegang pedang untuk menyerang prajurit yang menghalangi jalanku.
“Mama
dan Kak Sena semoga berhasil!” Kata Kei,
“Jangan
kalah ya!” Kata Ken. Lalu mereka berdua berlari mengikutiku. Sedangkan Riku
melihat Sena dan Catherine dengan cemas, tapi Riku berusaha percaya kepada
mereka berdua lalu dia menghela nafas panjang.
“Hati-hati…”
Kata Riku lalu cepat-cepat dia berlari mengikuti sambil menyerang beberapa
prajurit. Dan sekarang tinggal Sena dan Catherine berdua di ruangan ini.
“Mari
kita berkerja sama,” kata Catherine sambil tersenyum. Sena hanya mengangguk
sambil tersenyum kecut. “Bernyanyilah saat aku akan menyerang mereka dengan
senjataku. Siap ya… 1… 2… 3… Ayo!” Catherine mengeluarkan sihir ‘tsunami’ yang dahsyat sehingga membuat
para prajurit mesin itu terdesak mundur dan sedikit mengalami kerusakan. Lalu
Catherine mengeluarkan senjatanya yaitu sepasang belati kecil di lengan kanan
dan kirinya. Dengan cepat Catherine
menyerang prajurit itu di bagian kabel-kabel. Sedangkan Sena menyanyikan lagu
yang mengeluarkan sihir ‘thunder’
sehingga prajurit mesin itu tidak bisa bergerak bebas. Sayangnya Sena hanya
focus pada prajurit yang di sekitar Catherine dan dia pun tidak melihat ketika
beberapa prajurit mendekat ke arahnya…
***
“Sebenarnya
Riku juga menyukaimu, dia memang tidak bisa mengatakan perasaanya…” Catherine
memegang tangan Sena. “Tolong jaga Kei… Ken dan Riku… Berbahagialah dengan
mereka terutama dengan Riku…”
Aku,
Kyou, Riku, Kei dan Ken tiba di pintu selanjutnya. Sama seperti pintu
sebelumnya, di sini prajurit-prajuritnya pun adalah mesin.
“Biar
kami yang lawan mereka!” Kata Kei dan Ken bersamaan. Aku dan Riku pun terkejut.
“Jangan
begitu! Kalian tidak mungkin bisa!” kata Riku khawatir.
“Bukankah
kalian healer? Kalian hanya bisa menyembuhkan saja kan?” tanyaku.
“Tenang
saja kami sudah mempersiapkan banyak sekali peluru.” Kata Kei sambil
mengacungkan jempolnya.
“Lagipula
kata siapa healer hanya bisa menyembuhkan? Kami juga bisa menggunakan sihir
penyerang.” Kata Ken.
“Kalau
begitu semangat berjuang.” Aku kembali berlari untuk ke pintu selanjutnya.
Sambil menyerang beberapa prajurit yang menghalangi jalanku.
“Aku
akan kembali secepatnya untuk membantu kalian.” Kata Riku lalu dia mengikutiku
dari belakang.
“Nah
Kei, ayo cepat selesaikan ini!” kata Ken
“Ayo!”
Kata Kei. Lalu mereka mulai mengeluarkan pistol yang ada di lengannya dan
menyerang mereka satu persatu.
***
Sampailah
kami di pintu selanjutnya, dan hanya tinggal kami bertiga. Agak berbeda dengan
prajurit sebelumnya, kali ini prajuritnya adalah manusia namun jumlahnya sama
seperti prajurit-prajurit mesin itu. Lalu Riku menepuk bahuku.
“Nah
biar aku saja yang melawan prajurit-prajurit bodoh ini.” Kata Riku.
“Sendirian?”
tanyaku cemas.
“Tentu
saja, aku sendiri lebih dari cukup. Sebaiknya kamu cepat ke pintu selanjutnya,
aku yakin Kana sudah dekat.”
“Hati-hati
ya,” kataku.
“Kamu
juga,” kata Riku. Lalu Aku dan Kyou yang masih kugendong segera berlari menuju
pintu selanjutnya. Hanya tinggal Riku sendirian di tempat ini. Riku pun dengan
cepat menyerang prajurit-prajurit dengan sabitnya namun dia juga sambil
mengucapkan mantra yang cukup panjang. Setelah Riku selesai membaca mantra,
tangan dan sabitnya pun mengeluarkan cahaya lalu sebuah ledakan pun muncul.
***
“Water beam!” Seru Catherine dan
mengarahkan sihirnya ke prajurit yang ada di belakang Sena. Sena pun terkejut
karena Catherine mengeluarkan sihirnya sangat dekat dengan dirinya, tapi ketika
Sena melihat prajurit yang sudah terkapar di belakangnya dia pun menghela
nafas.
“Kamu
mengagetkanku,” kata Sena sambil tersenyum.
“Maaf
ya, tapi kamu harus lebih berhati-hati.” Kata Catherine sambil memukul
prajurit-prajurit di sekitarnya.
“Riku
pernah bercerita tentangmu katanya kamu healer, tapi sepertinya dia salah.”
Kata Sena memulai pembicaraan sambil memukul prajurit juga dengan mics-nya.
“Dia
benar, aku memang healer lebih tepatnya Cardinal. Tapi setelah Riku
menghidupkanku kembali, aku mulai belajar lebih banyak tentang sihir
penyerang.”
“Berarti
kamu sekarang Sorcerer.”
“Iya
mungkin, tapi sihir penyerangku masih terbatas.”
“Sepertinya
kamu suka air.”
“Iya
begitulah, karena aku suka jadi menguasainya lebih gampang. Bagaimana denganmu?
Sihir air bagaimana lagunya?”
“Aku
suka semua sihir. Oke akan aku nyanyikan untukmu,” Sena berhenti memutuskan
kabel prajurit mesin lalu dia mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang ceria tapi
sedikit pelan. Perlahan tubuh Sena mulai bercahaya lalu semburan air pun mulai
keluar dari cahaya itu. Beberapa prajurit terdorong mundur karena air itu.
“Itu
lagu yang indah, teruslah bernyanyi aku akan menyembuhkan luka mu,” kata
Catherine lalu di tangannya muncul cahaya dan cahaya itu masuk ke tubuh Sena.
Menyembuhkan sesama penyihir memang sedikit sulit, beberapa kali Catherine
menghela nafas.
“Jangan
paksakan diri.” Kata Sena menghentikan nyanyinya.
“Terus
lah bernyanyi! Aku baik-baik saja.” Kata Catherine, akhirnya Sena melanjutkan
nyanyiannya tapi Sena sedikit tidak konsen karena khawatir tenaga Catherine
habis dan malah tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Baik Catherine maupun
Sena sama sekali tidak menyadari ketika salah satu prajurit mesin berhasil
bertahan dari serangan Sena dan sudah di belakang Catherine. Prajurit itu pun
mengeluarkan tinjunya, ketika Catherine sadar ada prajurit di belakangnya, dia
tidak bisa mengelak, tinju prajurit mesin tepat telak mengenai punggung
Catherine. Catherine tersungkur begitu juga dengan Sena yang ada di sebelahnya.
“Catherine!
Kamu baik-baik saja?” Pekik Sena,
“Jangan
khawatir…” Kata Catherine lirih sambil merintih. Tapi Sena tetap khawatir dan
dia lebih khawatir ketika punggung Catherine muncul air yang tidak bisa
berhenti. Sena melihat prajurit-prajurit sudah bisa bergerak dan mulai mendekat
ke arah Sena dan Catherine. Sena berpikir dia tidak mungkin bisa menyanyi untuk
menyerang mereka sambil melakukan penyembuhan. Akhirnya Sena memutuskan untuk
menggunakan mantra. Dengan sisa-sisa ingatan tentang mantra sihir, Sena mulai
melafalkan mantra pendek.
“Protect!” Seru Sena dan sebuah dinding
cahaya mulai membentuk lingakaran yang melindungi mereka berdua yang ada di
dalamnya. Sena pun melihat Catherine yang tubuhnya penuh dengan lelehan air.
Sena takut melihatnya, bukankah manusia itu jika terluka mengeluarkan darah?
Tapi kenapa ini air? Dan kenapa air ini terus mengucur? Tapi Sena berusaha
tenang dan kali ini Sena pun memutuskan untuk melafalkan mantra saja karena
lebih cepat.
“Aku
tidak tahu kamu bisa melafalkan mantra juga…” Kata Catherine sambil memaksakan
sepotong senyum.
“Bagaimana
pun juga dulu aku pernah belajar, walaupun aku lebih suka bernyanyi. Ah lupakan
tentang mantra! Sekarang aku akan menyembuhkanmu!” Saat Sena akan melafalkan
mantra, Catherine mencegahnya.
“Sena…
Percuma kamu menyembuhkanku, air ini tidak akan berhenti sampai badanku
lenyap.”
“A-Apa…
Apa maksutmu?”
“Aku
akan mati lagi.” Kata Catherine sambil tersenyum.
“Kenapa?”
Tanya Sena panik.
“Aku
dulu sudah pernah mati… ketika aku di hidupkan kembali oleh Riku, hanya nyawaku
yang kembali. Semua orang yang di hidupkan kembali biasanya tidak sekuat ketika
sebelum mati. Karena itu aku ke kota Mage untuk melatih badanku agar tidak
mudah hancur dan belajar sihir penyerang. Mungkin sekarang sudah akhir batas
dari tubuhku…”
“Tapi…
Kalau kamu sudah tahu begini kenapa harus ikut dengan kami?“ Sena mulai
menitikkan air matanya dan kali ini Sena melihat dengan jelas ketika badan
Catherine semakin lama semakin luntur dengan turunnya air yang ada di tubuhnya.
“Sena,
aku minta maaf karena membuatmu menderita. Riku hanya masa laluku…”
“Tidak!
Aku tidak merasa begitu! Riku saja yang bodoh!”
Badan
Catherine semakin lama semakin menghilang. Sena memegang tangan Catherine
dengan tersedu-sedu . Pada akhirnya tingal jubah milik Catherine yang tersisa.
Sena memegang jubah milik Catherine lalu dia pun menangis. Tapi Sena sadar, tak
ada gunanya untuk menangis.. Sena membersihkan air matanya lalu dia berdiri
sehingga membuat sihir protect-nya
hancur. Lalu Sena melihat prajurit-prajurit mesin itu dengan marah. Sena
memegang micsnya dengan kencang kemudian dia mulai melafalkan mantra yang cukup
panjang. Sebenarnya dia sendiri belum terlalu bisa dengan sihir yang akan
digunakannya sihir yang cukup berbahaya jika digunakan oleh penyihir kelas
menengah ke bawah. Tapi Sena tidak peduli, hanya sihir ini yang paling kuat
yang pernah dia pelajari di sekolahnya. Saat Sena telah usai melafalkan
mantranya, dia mengacungkan kedua tangannya keatas dan Sena pun berteriak.
“Meteor!!!”
***
Mayat-mayat
prajurit bergelimpangan di tanah dan darahnya pun sudah berceceran kemana-mana.
Namun Riku sama sekali tidak jijik karena dia memang sudah terbiasa dengan
pemandangan yang seperti itu. Dengan santainya dia melangkah ke pintu tempat
Kei dan Ken berada sambil mengembalikan tenaganya yaitu dengan menghirup udara
sebanyak-banyaknya. Awalnya Riku bingung memilih untuk membantu Kaze atau
membantu Kei-Ken. Tapi setelah di pikir ulang sebaiknya dia menolong Kei-Ken
dulu lalu Sena-Catherine baru membantu Kaze. Riku juga yakin Kaze bisa menanganinya
sendiri karena dia cukup kuat. Sampailah Riku ke ruangan tempat Kei dan Ken
bertarung. Riku melihat di sana ada beberapa prajurit mesin yang sudah mati
tapi daripada yang mati yang hidup masih sangat banyak. Dan Riku terkejut
ketika melihat prajurit-prajurit itu mengerumuni sesuatu. Mungkinkah Kei-Ken…
Agak panik Riku pun segera menyingkirkan para prajurit dengan menebasnya
menggunakan sabitnya. Akhirnya Riku pun bisa melihat sebuah cahaya bundar yang
di dalamnya terdapat Kei dan Ken.
“Hei
kalian berdua baik-baik saja?” Kata Riku lalu mengetuk cahaya tersebut. Sontak
Kei dan Ken pun terkejut bercampur
gembira, mereka memecahkan sihir protect-nya
lalu segera melompat memeluk Riku.
“Riku!” pekik Kei dengan gembira.
“Akhirnya kamu datang,” Kata Ken.
“He... Jadi hanya itu kemampuan kalian.” Ujar Riku
meledek.
“Kalau saja peluru kita tidak habis, kita pasti menang.”
Kata Ken lalu cemberut sambil menonjok pipi Riku.
“Kok aku malah di tonjok sih,”
“Ken
jangan nakal! Nanti Kak Riku gamau menolong kita!” Kata Kei dengan nada sedih
hampir menangis.
“Maaf
Kei… Riku nyebelin sih…”
“Sudah-sudah…
kalian berdua tenang saja, kalian di sini saja.” Riku melepas pelukan Kei-Ken
lalu dia berdiri dan melihat prajurit-prajurit mesin itu sambil menyeringai.
Dengan cepat Riku menyerang prajurit-prajurit mesin dengan sabitnya lalu dia
mulai mengcapkan mantra. Setelah selesai mengucapkan mantra, Riku segera
menggendong Kei dan Ken. Sambil menggendong mereka, Riku pun lari ke pintu
tempat Sena-Catherine sambil berucap.
“Hurricane.” Muncul angin topan yang
dahsyat merusak 1 ruangan itu beserta prajurit-prajurit yang ada di dalamnya.
Untungnya tepat di saat Riku, Kei dan Ken sudah berada di ruangan selanjutnya.
“Tadi
berbahaya sekali! Telat sedikit kita sudah jadi sate.” Kata Ken.
“Yang
penting semjua prajurit di sana sudah mati semua kan, nah cepat kalian berdua
turun. Berat tahu!” Kei dan Ken pun segera turun dari punggungnya. Lalu mereka
bertiga melihat seluruh isi ruangan ini, semua prajurit mesin sudah mati tapi
mereka tidak melihat dimana Sena dan Catherine berada karena yang terlihat
hanya badan prajurit mesin.
“Ah
itu mungkin Kak Sena!” Pekik Kei sambil menunjuk ke salah satu gadis yang
mungkin pingsan di tengah-tengah prajurit. Mereka bertiga pun segera lari ke
tempatnya. Dan benar saja, Sena memang pingsan dengan luka yang cukup parah,
rambutnya yang sudah tidak terkucir lagi dan jubahnya yang robek. Riku merasa
sangat bersalah ketika melihatnya karena tidak bisa melindunginya. Riku pun
memeluk Sena dengan sedih lalu Riku mulai mengeluarkan sihir Heal . Begitu juga dengan Kei dan Ken
yang segera menyembuhkan Sena.
“Omong-omong,
mama kemana ya?” Tanya Ken ke Kei berbisik. Entah karena Sena mendengar bisikan
Ken atau mungkin karena hal yang lainnya, Sena mulai menggerakkan jemarinya.
Perlahan namun pasti Sena membuka matanya. Baik Riku, Kei dan Ken pun senang
melihat Sena sudah siuman. Tapi ketika Sena sudah menyadari siapa saja yang ada
didekatnya, dia langsung mendorong Riku.
“Aku
memang tidak berguna…” kata Sena sambil memegang erat jubah Catherine yang ada
di bawahnya.
“Apa
maksutmu?” Tanya Riku cemas, dia masih menyembuhkan luka Sena.
“Cukup
untuk penyembuhannya…” Kata Sena lirih, dia lalu mencoba untuk berdiri, saat
Riku mau membantunya Sena mengelak. “Aku bisa sendiri…” Kata Sena sambil
menyingkirkan tangan Riku yang memegang lengannya.
“
Kamu kenapa?” Tanya Riku heran. Ketika di tanya seperti itu mata Sena mulai
berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk menyembunyikannya. Walaupun begitu Riku
sudah melihatnya, belum sempat Riku bertanya tiba-tiba Sena terjatuh ketika
akan berjalan. Riku, Kei dan Ken pun langsung membantu Sena.
“Kak
Sena patah tulang…” Kata Kei saat dia memegang kaki Sena.
“Aku
memang bodoh, begini saja sudah patah tulang…” Kata Sena dengan nada datar.
“Sena!”
Pekik Riku kaget karena mendengar perkataan Sena yang tidak wajar itu, tapi
justru Sena melihat Riku dengan tatapan marah.
“Apa?!
Kamu juga seharusnya lebih memikirkan orang yang sudah kamu hidupkan! Melindunginya!
Dan jangan membuat dia harus sekelompok dengan orang lemah sepertiku!” Bentak
Sena. Riku, Kei dan Ken pun kaget dengan bentakan Sena. Dan di antara ketiga
orang itu yang mengerti maksut Sena hanya Riku. Riku terdiam mendengar
perkataan Sena sedangkan Kei dan ken terdiam karena takut dengan bentakan Sena.
Riku melihat benda yang daritadi digenggam Sena ternyata itu memang jubah milik
Catherine. Riku pun merasa sangat sedih,
“Jadi
untuk kedua kalinya aku tidak bisa melindunginya…” Kata Riku lesu. Dia melihat
ke arah Kei dan Ken yang masih keheranan, lalu Riku duduk di sebelah mereka dan
memeluknya. “Ucapkan selamat tinggal pada mama-mu, Kei, Ken” kata Riku pelan.
Kei dan Kei termenung sesaat, seperti sedang memahami perkataan Riku. “Kei…
Ken… Mama-mu sudah di surga…” Mendengar kata-kata Riku kali ini, Kei dan Ken
pun langsung menangis. Di peluknya kedua anak kecil itu dengan erat oleh Riku.
Sedangkan Sena menundukkan kepalanya untuk menahan air matanya. Riku melihat Sena dengan iba, Riku melepas
pelukan Kei dan Ken dan dia duduk menghadap Sena.
“Ini
bukan salahmu…”
“Kamu
seharusnya marah karena kamu tidak bisa melindungi orang yang kamu cintai!”
“Aku
tidak marah… Aku hanya menyesal… Apakah aku sudah tidak cinta lagi dengannya?”
kata Riku lalu menunduk.
“Jangan
tanya padaku…” kata Sena sedikit lunak namun masih menundukkan kepalanya. Riku
menatap Sena, lalu di pegang tangannya dengan lembut. Riku mulai menyembuhkan
Sena kembali. Tiba-tiba Sena menggenggam tangan Riku dan memeluknya. Sena pun
langsung menangis dengan keras di pelukan Riku.
***
Aku
berlari menyusuri lorong yang sangat panjang ini sambil menggendong Kyou. Entah
sudah berapa lama aku berlari untuk mencapai pintu selanjutnya. Cukup
melelahkan dan agak sedikit susah bernafas karena di lorong ini sama sekali
tidak ada lubang fentilasi.
“Ayah,
di sana ada pintu!” pekik Kyou dan memang benar di sana ada sebuah pintu.
“Semoga
ibumu ada di sana,” kataku sambil tersenyum dan berharap. Aku mempercepat
lariku dan akhirnya kami sampai di… Ruangan yang mengerikan… Ruangan ini tidak
sebagus ruangan yang sebelumnya, ruangan ini justru terlihat seperti ruang
dalam gua biasa namun lebih terang dan banyak ceceran darah. Aku memang sudah
sering melihat tempat yang mengerikan dan penuh darah tapi ketika mengingat
Kana yang ada di dalam sini… aku merasa sangat takut. “Ayo kita cari ibumu…”
kataku kepada Kyou sambil melihat isi ruangan dan menahan rasa takutku.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki seseorang, seseorang mendekati kami
dengan santai dan ternyata itu adalah Ketua Senu!
“Wah…
wah ada tamu rupanya…” Kata Ketua sambil tersenyum tanpa dosa.
“Kamu
kemanakan para healer?”
“Tenang
saja. Mereka semua aman di ruang sebelah kecuali healer yang memberontak…” kata
Ketua dengan santai, tapi entah kenapa aku merasa kakiku terasa dingin. “Sudah
lama kita tidak bertemu, sekarang bertemu kamu malah menyambutku dengan kasar.
Kemana sopan santunmu yang dulu?” Kata Ketua lalu dia melihat aku kemudian Kyou
dengan tajam. Lalu dia tersenyum, “Jadi dia anakmu? Cucuku?” Aku kaget
mendengar pertanyaan Ketua.
“Dia
anakku tapi bukan cucumu!” kataku sengit, apaan tuh mengaku-ngaku jadi kakek
dari Kyou. Ketua pun tersenyum kecut,
“Jadi
kamu memang tidak tahu siapa aku… Nama
asliku adalah Harikeen. Apakah Kaze tahu siapa aku?” Aku tersentak mendengarnya, aku tidak pernah lupa nama
itu. Nama yang selalu membuatku ingin bertemu orang itu dan membuatnya meminta
maaf pada Ibu. Aku menatap Ketua dengan bingung campur kesal.
“Apa maksudmu? Namamu adalah Senu!”
“Itu adalah nama samaranku, kamu tahu dengan nama asliku
aku tidak mungkin menjadi Ketua seperti sekarang. Duduklah, aku akan
menceritakan semuanya.” Aku diam saja, tidak mengikuti perintah atau saran dari
Ketua. Ketua pun hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan ceritanya.
“Istri pertamaku adalah seorang ratu dan dia adalah healer. Dari dulu aku
memang terobsesi untuk menikah dengan penyihir walaupun menikah dengan ratu di
luar rencanaku. Aku hidup berkecukupan tapi istriku tidak kunjung hamil. Karena
itulah aku berselingkuh dan selingkuhanku adalah ibumu, Kaze.” Ketua terdiam
sejenak. Aku tidak memandang wajah Ketua, rasanya sakit sekali karena itu Ibu
menjadi menderita. “Saat itu sangat jarang menemui mage apalagi seorang
warlock, karena itu aku berusaha mendekatinya, kami pun menikah diam-diam dan
kamu lahir. Sayangnya kamu lahir bukan sebagai warlock ataupun mage karena itu aku mejauhi ibu mu.
Lalu perselingkuhanku terdengar ke seluruh warga sampai ke istri pertamaku.
Mungkin karena itu lah dia terkena serangan jantung. Aku di usir dari istana,
dan kembali ke rumahmu dan ibu mu. Hanya di sanalah aku bisa berteduh, di beri
makan, dan di beri kekuatan oleh ibumu. Aku semakin kuat baik dengan sihir
ataupun tanpa sihir. Pihak kerajaan ternyata masih dendam kepadaku karena
itulah aku bertarung dengan kerajaan dan tanpa sadar 10 tahun sudah berlalu dan
aku sudah menjadi Ketua dari prajurit bekas kerajaan dan dapat menaklukan
kerajaan itu. Lalu ketika aku kembali ke rumahmu... Hanya kamu Kaze yang
tersisa...” Jadi
itulah kenapa Ketua memungutku dan terkadang menganakemaskan diriku… Aku kesal
bercampur iba tapi kebanyakan adalah kesalahan Ketua karena itu, aku tidak
mungkin mundur lagi. Aku menurunkan Kyou, lalu aku bersiap untuk mengambil
pedangku.
“Tetaplah
disini, jangan kemana-mana.” Kataku menasehati Kyou, Kyou mengangguk lalu aku melihat
Ketua. “Aku kesini untuk membunuh otak
dibalik penangkapan
healer dan karena kamu mengaku sebagai ayahku, aku akan membunuhmu karena sudah
membuat ibu menderita.” Kataku dingin.
“Aku
lah yang memimpin penangkapan healer, tapi aku beri saran sebaiknya Kaze tidak
membunuhku karena aku jauh lebih kuat dari dulu.”
“Aku
juga,” kataku dengan sinis.
“Berkat
para healer-healer itu sekarang aku jauh lebih kuat…” Deg! Aku merasa jantungku
berhenti sejenak, apakah itu maksudnya…
“Apa
itu berarti kamu membunuh semua healer?!” kataku pedih.
“Tidak-tidak
semua, ada seorang healer yang lebih memilih bertarung.” Apakah dia… apakah
dia… “Dia hanya mengeluarkan satu serangan dan cukup membuat hampir dari
seluruh prajurit yang ada diruangan healer terbunuh. “
“Bagaimana
ciri-cirinya…” tanyaku lesu.
“Cantik,
berambut panjang lalu….” Cras! Aku menghunuskan pedangku ke badan Ketua namun
hanya mengenai sedikit bajunya, ternayata Ketua cukup cepat juga. “Hei. Kenapa
tiba-tiba menyerang?”
“Dia
adalah istriku!!!” Sekali lagi aku menghunuskan pedangku namun tidak meneganai
Ketua lagi. Aku menyerang Ketua dengan membabi buta, aku merasa sangat marah
karenanya. “Kalau saja kamu tidak menangkap healer, Kana tidak akan…!”
Tiba-tiba tangan Ketua mulai bersinar dan sinar putih pun menghantam dengan
cepat ke perutku. Aku menabrak tebing yang sangat keras dan itu membuat
punggungku terasa sakit sekali.
“Ayah…”
kata Kyou cemas. Aku berusaha untuk berdiri, namun dengan cepat Ketua memukulku
dengan tangan kosong.
“Apa
kamu sudah menyerah? Kamu tidak mungkin bisa membunuhku.” Dan perkataan itu
membuatku merasa diremehkan. Aku menahan pukulan Ketua dengan pedangku dan
kutebaskan pedangku agar Ketua menjauh dariku, dengan segera aku mengganti
pedangku dengan panah dan aku pun melepaskan anak panah ke arah Ketua. “He…
Menggunakan senjata kuno?” Dengan mudah Ketua menghindar anak panahku dan aku
tersenyum, panah itu pun berbalik dan langsung mengenai punnggung Ketua.
“Jangan
remehkan panahku ini, panah ini lebih kuat dari pedangku .”
“Hehe,
ternyata kamu memang bertambah kuat.” Ketua melepas anah panah yang menancap di
punggungnya dan dia merasa nyeri, “Cih… Ternyata ada racunnya, baik lah karena
kamu sudah menggunakan 2 senjatamu maka aku pun akan mengeluarkan senjataku.”
Tangan Ketua mulai bersinar dan cahaya putih pun menyelimuti tangannya. “Aku
tidak akan segan lagi, Kaze.” Aku segera menjauh ketika Ketua mulai
menyerangku, tiba-tiba tangan Ketua mulai membentuk sebuah pistol dan pelurunya
dengan cepat mengikutiku. “Bagaimana senjataku ini? Bagus kan?” Aku menangkis peluru
dengan panahku lalu aku naik ke atas tebing dan melompat tepat di atas Ketua
sambil membayangkan api. Api muncul dari tongkatku dan membakar Ketua dengan
cepat. Aku mendarat di tanah dengan selamat, dan melihat Ketua yang sedang
tunggang langgang. Namun Ketua cukup pintar, dia pun langsung menggunakan
sihirnya untuk mengehentikkan api itu.
“Menggunakan
panah agar bisa mengeluarkan sihir? Aku baru tahu cara curang seperti itu.”
Kata Ketua agak terlihat kecapekan. Aku diam saja tidak menanggapi ucapan Ketua.
Ketua menghirup udara banyak-banyak dan langsung saja dia menyerangku dengan
tangannya yang kini berubah menjadi tombak. Aku menahannya dengan panahku,
tiba-tiba aku merasa punggung terasa sangat sakit, ternayata tangan Ketua yang
satunya lagi berubah menjadi pistol dan pelurunya sudah menghujam punggungku. Darah
segar muncul dari mulutku, tanpa ampun lagi tombak milik Ketua langsung
menghujam perutku tapi aku tahu Ketua menusukkan tombaknya di daerah yang
tumpul tapi tetap saja terasa sakit.
“Kenapa
menggunakan yang tumpul? Kalau aku mati maka semua rencana jahatmu tidak akan
ada yang mengetahui kan…” ujarku pelan.
“Aku
masih ingin bersenang-senang dengan sihir baruku,” Ketua tersenyum licik. Aku
memegang tombak Ketua lalu mematahkannya dengan mudah lalu kini giliranku untuk
menyerang Ketua dengan pedang dan panahku. Kali ini seranganku kebanyakan tepat
mengenai Ketua, aku akui karena Ketua kini tak secepat tadi. Namun aku baru
menyadari ternyata Ketua menahan seranganku sambil mengucapkan mantra. Sedikit
panik aku cepat-cepat memukul mulut Ketua agar dia berhenti mengucapkan mantra.
Sayangnya aku terlambat,dari tubuh Ketua muncul cahaya merah yang dengan cepat
membesar dan langsung membuatku terdorong dan lagi-lagi menabrak tebing kali
ini lebih menyakitkan dan darah segar muncul dari mulutku. Badanku terasa
lemas, namun aku mencoba untuk sedikit menyembuhkan lukaku. Terhuyung-huyung
aku mencoba untuk berdiri, aku melihat Ketua yang sedang di selimuti dengan
cahaya merah dan sebuah cahaya yang mirip anak panah tepat di atasnya. Ketika
melihat anak panah itu aku mengetahui Ketua mengarahkan anak panahnya itu
kemana dan aku merasa takut. Ketua bukan mengarahkan serangannya kepadaku tapi
kepada Kyou. Sejenak aku melupakan rasa sakitku, aku berlari mendekati Kyou.
Aku harus menyelamatkannya… Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi
lagi… Segera kupeluk Kyou dan serangan itu dengan cepat melesat menusuk
punggungku. Punggung terasa terkoyak, aku yakin punggungku kini penuh dengan
darah. Mulutku pun juga memuncratkan darah dan diantaranya mengenai pipi Kyou.
“Ayah…
Ayah…” Kata Kyou panik.
“Maaf
Kyou… Ayah baik… baik… saja…”kataku sambil berusaha tersenyum lalu membersihkan
darahku yang mengenai pipi Kyou. Kulihat Ketua kini sudah didekat kami dan kini
sedang memegang pedang dan panahku.
“Kamu
tidak bisa apa-apa tanpa senjata ini,” Ketua membuang pedangku ke sebelah kanan
dan panahku ke sebelah kiri, keduanya sama-sama jauh. Lalu Ketua mengarahkan
pedang ke arah kami.
“Menyeralah,
Kaze. Jika kamu menyerah kamu boleh ikut denganku lagi.”
“Terima
kasih… Tapi aku menolak…” Aku mengangkat tanganku mengarah ke Ketua lalu muncul
cahaya dari tanganku dan muncullah duri tipis yang langsung melesat menusuk
dada Ketua. Ketua kesakitan dan kaget bukan kepalang, karena aku yakin dia
belum mengetahui kalau aku sekarang adalah Warlock.
“Ka-Kau…”
kata Ketua dengan agak marah.
“Sekarang…
aku adalah Warlock… “ Kataku masih dalam posisi tidur, “Ibu sebenarnya juga
Warlock, sayangnya dia mengunci kekuatannya sendiri sehingga ketika aku lahir
pun kekuatanku terkunci.” Lanjutku.
“Begitu…
Kalau begitu, sekarang aku tidak ragu lagi untuk membunuhmu!!” Ketua menebas
pedangnya namun dia malah terlempar. Kenapa? Aku berusaha untuk bangkit dari
tidurku dan kini aku melihat bahwa Kyou membuat dinding cahaya!
“Aku
lindungi ayah!” Kata Kyou dengan bersemangat, melihatnya bersemangat aku merasa
sangat bangga dan rasa sakitku pun hilang. Aku berdiri dan memegang kepala
Kyou.
“Ayo
kita serang penjahat itu,” kataku sambil tersenyum. Kyou mengangguk.
***
Riku,
Sena, Kei dan Ken berlari menyusuri lorong yang sangat panjang. Mereka berusaha
cepat namun memang sulit untuk berlari dengan udara yang sedikit. Sena yang
tidak lari pun sudah beberapa kali pingsan untungnya dia sedang digendong Riku.
“Kei,
Ken apakah kalian baik-baik saja?” Tanya Riku terengah-engah.
“Kami
baik kok,” kata mereka berbarengan. Riku menengok Sena yang entah sedang tidur
atau pingsan. Tiba-tiba Sena membuka matanya sedikit, lalu dia melihat Riku
yang juga sedang melihatnya.
“Selamat
pagi, kamu baik-baik saja?” kata Riku tersenyum.
“Maaf
aku tadi pingsan lagi ya,”
“Tak
apa, lanjutkan saja tidurmu, kamu akan mengeluarkan tenaga lagi di pintu
berikutnya.” Sena tersenyum kecut mendengar perkataan Riku. Lalu dia melihat ke
langit-langit.
“Bau
hujan…” kata Sena lirih. Riku, Kei dan Ken menutup mata mencoba merasakan bau
hujan.
“Sepertinya
begitu, aku suka baunya.” Kata Kei.
“Aku
samar-samar mendengar hujan yang deras di luar. Aku jadi ingin hujan-hujanan”
Kata Ken disetujui Kei.
“Nah
ayo kita cepat bantu Kaze dan Kyou sehabis itu kita bisa hujan-hujanan
bersama.” Kata Riku dan disoraki oleh Kei dan Ken. Mereka melihat ada cahaya
yang tidak jauh dari mereka, mereka pun mempercepat larinya. Sampailah mereka
di ruangan yang mirip gua dan penuh darah dan disana ada Kyou dan Kaze yang
sedang bertarung melawan seseorang. Kombinasi Kaze dan Kyou menghasilkan sebuah
sihir yang sangat menakjubkan.
“Kyou
itu mage?” Kata Kei terkejut.
“Ya…
Karena Kaze sendiri sebenarnya adalah Warlock. “ ujar Riku sambil tersenyum.
***
Hujan
turun dengan deras diruangan ini, aku baru tahu kalau ternyata ruangan ini
tidak ada atapnya. Walaupun kami kehujanan, aku dan Kyou tetap bersemangat
melawan Ketua. Aku mengeluarkan api yang kugabung dengan angin sedangkan Kyou
mengeluarkan es yang juga digabungnya
dengan angin dan ternyata elemen yang bertolak belakang itu menghasilkan
sesuatu sihir yang menakjubkan. Mati-matian Ketua menahan serangan kami,
walaupun Ketua mengeluarkan sihir pelindung, sihirnya mudah pecah karena tidak
kuat menahan sihir kami. Tiba-tiba dari tangan Ketua muncul asap putih dan
merah asap itu pun terus meneyelimuti hingga ke tubuh Ketua. Karena itu
serangan aku dan Kyou pun tidak mempan lagi terhadapnya. Melihat asap itu aku
jadi teringat, aku tahu apa yang Ketua akan lakukan. Asap itu pertanda bahwa
Ketua akan mengeluarkan sihir yang berbahaya. Dari buku yang diberi Sony, aku
mengetahui bahwa asap itu muncul ketika seseorang akan mengeluarkan sihir yang
berbahaya bagi yang terkena maupun dirinya sendiri. Sihir itu tidak bisa
dihentikkan dan tidak bisa dihindar.
“A...ku pernah menggunakannya... Saat... N-nenekku
dibunuh... Waktu itu... Aku takut sekali... Aku tidak bisa berbuat apa-apa...
Saat tentara-tentara itu mendekatiku... A-aku menggunakan sihir itu... Bukan hanya
satu orang yang kubunuh...Aku membunuh semua tentara itu...”
Aku teringat kata-kata Kana dulu, mungkinkah sihir itu bisa membunuh kita semua
yang ada disini? Aku menggenggam tanganku dengan erat lalu aku berjongkok
dihadapan Kyou,
“Kyou…
jadilah anak yang kuat… baik hati dan selalu menolong orang lain ya…” Aku
memeluk Kyou dan mencium dahinya, “Maaf ya mungkin ayah tidak bisa menemanimu
lagi, hiduplah bahagia dan jangan merepotkan Sena dan Riku ya…” Kyou
mengangguk. “Larilah ke tempat mereka, bilang Riku untuk membuat sihir
pelindung yang tebal.” Tanpa basa-basi lagi, kudorong Kyou agar cepat beralri
menuju Riku dan yang lainnya. Saat Kyou sampai didekat mereka dia pun pilang,
“Kata
ayah buat sihil pelindung yang tebal,” Riku pun mengangguk.
“Ayo
Kei, Ken buat sihir pelindung yang tebal. Kerahkan seluruh kekuatan kalian
untuk melindungi kita bersama.” Kei dan Ken mengangguk, lalu mereka membuat
sihir pelindung yang mengelilingi mereka semua.
“Tunggu
dulu, bagaimana dengan Kaze?” kata Riku panik. Aku mengacungkan jempolku ke
arah mereka, lalu aku mengambil pedangku dan mengeluarkan sihir racun tingkat
tinggi yang sekarang menyelimuti pedangku, kemudian aku berjalan mendekati
Ketua.
“Jangan
Kaze! Jangan!!” pekik Riku. Lalu dia berlari mendekatiku sambil masih
menggendong Sena. Aku berbalik lalu kutepuk lengan Riku yang sudah disebelahku.
“Tolong
jaga Kyou, juga semuanya. Dan bahagiakan Sena,” kataku sambil tersenyum lalu
kutepuk juga tangan Sena. “Semoga kalian hidup bahagia,” Riku hanya menunduk
mendengarkanku sedangkan Sena menangis terisak-isak dipunggung Riku. Lalu aku
mendorong mereka semua dengan sihir anginku sehingga mereka kembali didekat
Kei, Ken dan Kyou. “Kei, Ken semoga kalian hidup bahagia!” teriakku sambil
melambaikan tanganku, mereka balas melambaikan tangan sambil meneteskan air
mata. Ketika aku melihat Kyou aku pun tersenyum kepadanya. Kyou membalas
senyumku dengan senyumannya yang mirip Kana. Dan terakhir aku melihat Ketua
yang masih akan mengeluarkan sihirnya. Baik ayah, ayo kita selesaikan ini.
Dengan sekali hentakan, aku meluncur mendekati Ketua kupegang pedangku dengan
erat siap untuk menghujam jantung Ketua. Aku mengerahkan seluruh tenagaku dan
sihirku yang semuanya berkumpul dipedangku. Dan Jleb!! Pedangku tepat menusuk
di bagian jantung Ketua dan sihirnya pun membludak dan menerjang bagai topan
yang sangat besar. Riku , Kei dan Ken membuat sihir perlindungan sayangnya itu
cepat rusak dan hanya bertahan beberapa detik sehingga mereka harus selalu
mengucapkan mantra agar sihirnya terus bertahan. Kyou pun mencoba menggunakan
sihir perlindungan dan itu cukup meringankan beban Riku, Kei dan Ken.
“Bagus,
Kyou! Terus ucapkan mantranya!” seru Riku.
“Kau
keren Kyou!” Kata Kei dan Ken berbarengan. Kyou pun tersipu.
“Jurus
ini berlagsung selama 30 menit, kalian semua bertahanlah…” kata Riku. Tiba-tiba
dinding pelindung itu semakin tebal dan cukup untuk bertahan selama beberapa
menit, Riku menoleh ke Sena dan memang dia lah yang melakukannya.
“Aku
sudah lebih baik,” kata Sena sambil tersenyum. Riku pun tersenyum lalu
dikecupnya bibir Sena dengan lembut. “Ayo kita berjuang bersama, untuk Kaze,
Kana dan Catherine… ” Kata Sena sambil tersipu. Mereka semua pun akhirnya bisa
bertahan selama 30 menit.
Hujan masih mengguyur seluruh
ruangan ini tanpa henti. Langit malam yang tampak kelam itu sungguh mirip
dengan keadaan ku yang masih memegang erat pedangku yang tercampur darahku dan
darah... ayahku…
“Aku
sudah membunuhnya Kana…” kataku pelan sambil melihat pria yang tergeletak di
hadapanku. Di depanku dengan bermandikan
darah dan tubuh yang terlihat pucat dan beku. “Maafkan aku, ayah…” entah kenapa
setelah aku mengatakan itu aku merasa bibir Ketua teruntai senyum simpul namun
penuh kedamaian. Apakah dia senang dipanggil ayah? Apakah dengan ini semua selesai?
Kupejamkan mataku sesaat, saat aku membuka mataku aku melihat ada sesuatu yang
bercahaya hingga di bahuku. Dan itu adalah kupu-kupu? Lama- lama kupu – kupu itu terus bertambah ,
bertambah dan bertambah. Seketika hujan pun reda dan aku mengetahui sumber
munculnya kupu – kupu itu Ku lihat dia… Istriku… Kana… Dia berdiri di depanku
sambil tersenyum, senyuman yang selalu
membuat hatiku sejuk.
“Kana…”
Aku menitikkan air mataku, aku menunduk sambil menangis aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan.
“Kau
pasti lelah… Kau harus istirahat tapi mungkin kita harus berpisah dengan
semuanya…” Kana melihat ke semuanya terutama ke Kyou. Kyou yang mengetahui itu
ibunya langsung berlari dan melompat memeluk Kana.
“Ibu…”
“Kyou…”
“Tadi
Kyou bawa loti!” kata Kyou bersorak lalu dia memeriksa samping bajunya tapi
tidak ada roti yang dimaksud dan dia pun kecewa. “Yah… Lotinya hilang… Padahal
itu buat ibu…” Kana menitikkan air matanya lalu diciumnya pipi dan dahi Kyou.
“Terima
kasih ya, ibu sangat senang.” Diturunkannya anak semata wayangnya lalu Kana
beralih melihat Riku dan yang lainnya.
“Riku,
Sena, Kei dan Ken terima kasih semuanya. Tolong jaga Kyou… Maaf ya akan
merepotkan kalian...”
“Tidak
akan merepotkan, itu pasti akan menyenangkan!” kata Ken. Kei pun mengangguk, Kana
tersenyum melihatnya. Lalu aku dan Kana saling berpandangan, kemudian dia
memberikan tangannya kepadaku, kupegang tangannya dengan lembut.
“Terima
kasih atas bantuan kalian semua, aku titipkan Kyou pada kalian.” Kata kami
berbarengan.
“Tidak
perlu seperti itu, itulah gunannya teman.” Kata Sena haru.
Perlahan
aku dan Kana berjalan sambil sesekali menengok kebelakang dan kami pun semakin
jauh dengan mereka. Aku sedih harus meninggalkan semuanya terutama Kyou tapi
aku sendiri sekarang hanya tinggal nyawa. Walaupun begitu aku sangat bahagia
akhirnya aku bisa pergi ketempat dimana tidak ada yang mengincar nyawa Kana dan
inilah jalanku…
***
XI
Sena
membersihkan debu yang menempel di pigura yang ada didinding, foto
pernikahannya dan foto liburan bersama keluarga. Sekarang benar-benar damai!
Pikir Sena bahagia, tapi ada sesuatu yang dia tidak suka di Kota Mage ini.
Sekarang Sena harus memulai karirnya dari nol. Bukan hanya di Kota Mage dia
tidak begitu banyak yang mengenalnya, banyak artis disini yang menggunakan
sihir untuk konser sehingga sulit untuk menembus pasar di Kota Mage. Sena duduk
dikursi ruang tamu lalu direnggakannya tubuhnya yang pegal karena habis
bersih-bersih. Kemudian dia melihat jam, Riku pasti pulang malam hari ini dia
sangat sibuk dengan pekerjaanya apalagi dengan gelar “Feng” dia selalu
dibutuhkan banyak orang. Sekarang Riku sangat terkenal malah sebenarnya dia
memang sudah terkenal dari dulu di kota ini. Gelar “Feng” memang jarang orang
untuk mendapatkannya dia harus bisa menjadi seorang sorcerer tingkat tinggi di
usia muda. Sena juga sorcerer tapi hanya abal-abal maksudnya sorcerer tingkat
rendah. Karena gelar itu pula Sena turut menjadi terkenal bukan karena nyanyiannya
namun karena dia adalah Nyonya Feng. Walaupun bangga karena prestasi suaminya,
Sena merasa ingin dikenal juga karena nyanyiannya. Tapi Sena bersyukur dengan
semua ini, dan sekarang dia juga punya anak tentu saja anak angkat. Kei, Ken
dan Kyou sekarang sudah sekolah, sekolah dengan tingkatan yang berbeda karena
Kei dan Ken berbeda umurnya dengan Kyou. Kei dan Ken sudah besar karena itu
juga dia sulit untuk menghilangkan kebisaan lama dengan memanggil Riku dan Sena
dengan sebutan “Kak”. Berbeda dengan Kyou, sekarang Kyou sudah bisa memanggil
Sena dengan “Mama” dan Riku dengan “Papa”. Akan berbeda artinya jika Kyou
memanggil “ayah-ibu” karena yang dimaksud adallah bukan mereka. Tiba-tiba mata
Sena tertuju pada sebuah buku diatas meja, mungkin itu buku milik Riku,pikir
Sena. Diambilnya buku itu lalu dibacanya dengan seksama. Ternyata isinya adalah
catatan kematian Mage dan Healer 5 tahun lalu hingga sekarang.Sena melihatnya
dengan cepat namun pada tahun ke 3 dia mulai membacanya dengan perlahan. Dan
dia pun menemukan 2 foto orang yang dikenalnya. Dilihatnya perlahan riwayat
keluarga 2 orang ini. Yang perempuan memiliki ayah seorang Warlock dan ibunya
adalah Cardinal. Oh aku baru tahu… Pikir Sena dalam hati. Kemudian yang
laki-laki ayahnya adalah manusia biasa sedangkan ibunya adalah Warlock. Jadi
karena itu tanpa dia sadari ternyata dia adalah Warlock. Sena tersenyum sedih
melihat kedua foto ini. Sekarang mereka berdua sudah bahagia didunia sana. Saat
Sena akan menutup bukunya, dia melihat ada sesuatu yang sama diriwayat keduanya
yaitu status menikah dan anak yang ditinggalkan … Kyou.
~Tamat~